Perbedaan Penipuan dan Wanprestasi yang Dimulai dari Perjanjian

Perjanjian melahirkan suatu perikatan bagi para pihak yang membuatnya, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban seperti yang dijanjikan maka terdapat prestasi yang tidak dilaksanakan. Hal ini dengan sendirinya merugikan pihak lain yang haknya menjadi tidak terwujud. Tidak terwujudnya hak tersebut, dapat berupa adanya keadaan yang memaksa dan kelalaian yang disebabkan oleh salah satu pihak. Perkara adanya kelalaian dalam memenuhi prestasi dapat berujung pada gugatan wanprestasi atau bahkan tindak pidana penipuan.
Terdapat beberapa kasus yang seringkali terjadi mengenai penipuan yang prosesnya didahului dengan suatu perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini sebenarnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang suatu hal.[1] Merujuk pendapat Subekti yang menyebutkan bahwa:
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana orang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis
Perjanjian sebagaimana keabsahannya diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang membuatnya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam suatu perjanjian terkandung hubungan kontraktual, adanya jaminan kepastian pelaksanaan kontrak. Apabila tidak adanya suatu keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban, maka akan timbul suatu pelanggaran kepentingan atau hak dari salah satu pihak yang dikenal dengan wanprestasi. Wanprestasi sendiri diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya
Diketahui unsur-unsur wanprestasi adalah terdapatnya perjanjian oleh para pihak terlebih dahulu. Kemudian, terdapat pihak yang melanggar atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang sudah disepakati dan sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa wanprestasi adalah keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Wanprestasi harus didasari adanya suatu perjanjian, baik perjanjian tersebut dibuat secara lisan maupun tertulis, baik dalam bentuk perjanjian dibawah tangan maupun dalam akta otentik. Seseorang tidak dapat dinyatakan wanpretasi, jika ia tidak terikat dalam suatu hubungan perjanjian. Secara normatif, wanprestasi dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata, terdapat 3 (tiga) bentuk[2] yaitu sebagai berikut:
- Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
- Terlambat memenuhi prestasi dan
- Memenuhi prestasi secara tidak baik
Seseorang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila unsur-unsur yang telah diuraikan di atas telah terpenuhi. Dalam praktik pelaksanaan perjanjian, adakalanya perikatan yang mengikat masing-masing pihak dalam suatu perjanjian seringkali dilanggar oleh salah satu pihak. Salah satu sebab tidak tercapainya ikatan yang telah disepakati adalah karena adanya unsur penipuan. Mengenai penipuan diatur dalam ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penipuan dalam ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata menyatakan bahwa:
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh satu pihak, adalah sedemikian rupa hinga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Dalam hal penipuan, pihak yang ditipu memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu ada karena adanya daya tipu atau sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada maka kehendak tersebut juga tidak ada. Dalam hal penipuan, gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.[3]
Ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata, sama dengan Pasal 378 KUHP terkait dengan penipuan dalam hukum pidana yang menyebutkan bahwa:
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu maupun keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan bohong, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum penjara karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Berdasarkan hal tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana penipuan dalam Pasal 378 KUHP yaitu :
- Terdapat subyek hukum yang melakukan perbuatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
- Perbuatan tersebut dilakukan secara melawan hukum;
- Perbuatan melawan hukum yang dilakukan yaitu memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penipuan dilakukan atas niat;
- Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya, memberi hutang, atau menghapuskan piutang;
- Perbuatan demikian disebut dengan penipuan;
- Sanksi pidananya yaitu pidana penjara paling lama empat tahun;
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa mengenai unsur penipuan dalam ketentuan Pasal 378 KUHP ialah mengenai subjek hukum yakni individu yang berhadapan dengan kepentingan publik (negara), dikarenakan perbuatan tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum (lebih lanjut baca artikel kami berjudul Perbedaan antara Penipuan dengan Penggelapan). Pasal 1328 KUH Perdata merumuskan konsep penipuan dalam hubungan privat atau antar individu dengan individu. Sementara, dalam ketentuan Pasal 378 KUHP memberikan rumusan tindak pidana yang berhubungan dengan publik.
Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa terdapat ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara, yang berbunyi:
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. Perlu digaris bawahi yakni ‘ketidakmampuan’ yang nantinya harus dibuktikan benar atau tidak ketidakmampuannya tersebut. Namun, apabila terdapat petunjuk lainnya yang menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP, maka dapat dipidana. Selain itu, terdapat pula Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018 yang mana pada intinya menyebutkan:
Para Pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.Â
Berdasarkan kaidah tersebut, pada prinsipnya pihak yang tidak memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan melainkan wanprestasi yang masuk dalam ranah perdata. Namun, apabila perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan.
Perbedaan wanprestasi dengan penipuan dalam perjanjian adalah apabila seseorang tetap melakukan prestasi tetapi hanya mampu melakukan sebagian prestasinya dan tidak dapat melakukan seluruh prestasinya sesuai dengan perjanjian maka disebut dengan wanprestasi dan apabila seseorang tidak mempunyai niat sama sekali atau melarikan diri dari kewajibannya untuk memenuhi prestasinya sesuai dengan perjanjian, dengan cara tipu muslihat atau rangkaian kebohongan maka dapat dikatakan penipuan.
[1] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 63.
[2] Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan yang lahir dari Hubungan Kontraktual, Prenadamedia Group, Jakarta 2014, h. 1
[3] J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 350
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengangkatan Anak
Resensi Buku: Hukum Perusahaan dan Kepailitan Oleh H. Zaeni...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.