Pembuktian Terbalik Dalam Hukum Pidana

Dalam Hukum Acara Pidana, pihak-pihak yang berperkara adalah Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan Terdakwa baik didampingi atau tidak didampingi oleh Penasehat Hukum. Penuntutan oleh Penuntut Umum wajib didasarkan pada alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebaliknya, apakah Terdakwa memiliki hak atau bahkan harus mengajukan pembuktian selain yang telah diajukan oleh Penuntut Umum untuk membuktikan dirinya tidak bersalah?
Menurut Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul “Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Hal inilah yang kemudian disebut dengan Pembuktian Terbalik. Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul “Understanding Evidence” berpendapat bahwa pengalokasian beban pembuktian berdasarkan pada Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas) atau juga Convenience.
“Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.
“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”
Dengan demikian, pembuktian terbalik adalah pembebanan bukti kepada terdakwa untuk membuktikan atau melawan bukti-bukti atau dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum.
Dalam sistem hukum di Indonesia asas pembuktian terbalik hanya diterapkan dalam Tindak Pidana Khusus yaitu Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Tindak Pidana Korupsi hal ini diatur dalam Pasal 37 jo. Pasal 12 B ayat (1) jo. Pasal 38A dan 38B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sedangkan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sistem Pembuktian Terbalik juga diterapkan dalam tindak pidana narkotika. Dalam tindak pidana narkotika dikenal adanya pembuktian dari pihak terdakwa terhadap asal-usul harta benda yang dimiliki. Ditegaskan bahwa dalam penyidikan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Hal ini juga berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanBadan Penyelenggara Jaminan Sosial Sebagai Syarat Fasilitas Publik
Webinar Pembuatan dan Pengajuan Gugatan

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.