Peraturan Desa di Indonesia dan Hierarki Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Desa di Indonesia

Sistem pemerintahan di Indonesia membagi daerah menjadi daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota. Daerah provinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten dan kota-kota yang mana tiap-tiap kabupaten dan kota tersebut memiliki pemerintahannya sendiri. Sedangkan daerah kabupaten dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Desa menjadi struktur paling bawah di tataran pemerintahan Indonesia. Sebelumnya pemerintahan Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa), namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merubah beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU Desa. Pasal 117 Angka 1 UU Cipta Kerja mendefinisikan Desa sebagai berikut:

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dilihat dari definisi tersebut, Desa memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Artinya ini menunjukkan bahwa negara secara tidak langsung memberikan kewenangan kepada Desa untuk mengatur wilayahnya. Secara definitif, pemerintah mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas pemerintah meliputi seluruh organ kekuasaan di dalam negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahkan dalam arti luas ini Pemerintah diartikan sebagai pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga yang diserahi wewenang untuk mencapai tujuan negara. Dalam arti yang luas pemerintah itu sering disebut Regering. Tetapi dalam arti yang sempit pemerintah (yang disebut Bestuur) hanya menyangkut organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat ke daerah.[1]

Dalam hal ini, Desa merupakan eksekutif atau organ pemerintahan yang melaksanakan kebijakan yang diteruskan dari pusat ke provinsi lalu ke kabupaten dan terakhir ke Desa. Pasal 25 UU Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain. Salah satu kewenangan yang diberikan oleh UU Desa kepada Kepala Desa adalah kewenangan untuk menetapkan peraturan desa. Pasal 117 Angka 1 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa:

Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Peraturan desa merupakan salah satu dari 3 jenis peraturan di Desa. Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU No. 6 tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) dinyatakan bahwa jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa. sedangkan dalam pengajuan rancangan peraturan desa sendiri baik Kepala Desa maupun BPD berhak mengajukan rancangannya masing-masing untuk kemudian disepakati dan dijadikan sebagai peraturan desa yang sah dan mengikat.

Peraturan desa diatur secara lengkap sejak diberlakukannya UU Desa yang memposisikan peraturan desa sebagai produk hukum dan produk politik. Peraturan Desa merupakan instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan kewenangan Desa. Sehingga Peraturan Desa menurut UU Desa berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal kewenangan desa mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi desa. Sebagaimana kedudukan Desa yang berada di wilayah Kabupaten/Kota.[2]

Selain itu, perlu dicermati pengaturan Pasal 112 Ayat (1) UU Desa yang mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa berupa memberikan pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga perlu dilihat bahwa melalui pengaturan UU Desa.

 

Tata Cara Pembentukan Peraturan Desa

Pembentukan peraturan desa sendiri secara jelas tercantum dalam UU Desa, selain juga harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Materi muatan peraturan desa memuat kewenangan atribusi yang meliputi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.[3] Materi lainnya yaitu tentang kewenangan delegasi yang memerintahkan pembentukan peraturan desa antara lain:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2014);
  2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (pasal 79 ayat (3) UU No. 6 tahun 2014);
  3. Perubahan Rencana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (Pasal 120 PP No. 43 Tahun 2014);
  4. Perencanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan aset Desa dan tata ruang dalam pembangunan kawasan perdesaan (Pasal 125 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2014);
  5. Pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Des) (Pasal 88 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2014);
  6. Pembentukan lembaga kemasyarakatan Desa (Pasal 150 PP No. 43 Tahun 2014);
  7. Pembentukan Lembaga Adat Desa (Pasal 152 PP No. 43 Tahun 2014).

Adapun tata cara pembentukan peraturan Desa berdasarkan Pasal 69 UU Desa antara lain:

  1. Peraturan ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD;
  2. Rancangan peraturan desa dapat berupa anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa;
  3. Rancangan peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa begitu pula masyarakat desa berhak memberikan masukan terhadap rancangan tersebut;
  4. Rancangan peraturan desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi peraturan desa;
  5. Hasil evaluasi dari Bupati/Walikota paling lama dalam kurun waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya rancangan peraturan oleh Bupati/Walikota;
  6. Kepala Desa diberikan waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi;
  7. Apabila Bupati/Walikota tidak memberikan koreksi maka dengan sendirinya peraturan desa tersebut telah berlaku;
  8. Peraturan desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa oleh Sekretaris Desa;

Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Peraturan Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Desa sebagaimana dinyatakan Pasal 69 UU Desa yaitu sebagai berikut:

  1. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  2. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  3. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
  4. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
  5. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi, Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
  6. Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
  7. Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
  8. Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.
  9. Dalam pelaksanaan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.

 

Posisi Peraturan Desa dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Posisi peraturan desa sebelumnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa peraturan desa merupakan bagian dari Peraturan Daerah yang termasuk jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Namun terjadi perubahan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011) Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini mengacu pada Pasal 7 UU 12/2011 yang kemudian tentang peraturan desa diperjelas dalam Pasal 8 yang menyatakan bahwa:

“jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Sehingga peraturan desa menurut UU 12/2011 tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan namun merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam hierarki perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), tidak mengenal Peraturan Desa. Akan tetapi bukan berarti Peraturan Desa tidak dapat dibentuk. Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Perintah peraturan perundang-undangan atau berdasarkan kewenangan merupakan persyaratan yang menjadikan Peraturan desa tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam konsep negara hukum yang demokratis keberadaan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Desa dalam pembentukannya harus didasarkan pada beberapa asas. Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijk regelgeving), yaitu asas formal dan asas material.[4] Asas-asas ini lebih bersifat normatif, meskipun bukan norma hukum, karena pertimbangan etik yang masuk ke dalam ranah hukum. Pada prinsipnya asas pembentukan peraturan perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administration).

Mengenai teknik penyusunan Peraturan Desa, mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa (Permendagri 111/2014). Aturan ini mengatur beberapa ketentuan teknis yang harus diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Desa. Pasal 32 Permendagri 111/2014 mengisyaratkan bahwa teknik penyusunan Peraturan Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini artinya, pembentukan Peraturan Desa sama dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih lanjut, tata cara tata cara penyusunan Peraturan Desa diatur dalam Peraturan Bupati/Walikota. Sehingga dalam hal tersebut, pemerintah Desa diberikan pendampingan dalam penyusunan Peraturan Desa.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Peraturan Desa di Indonesia adalah produk hukum yang harus ditaati bagi seluruh masyarakat Desa. Di sisi lain Peraturan Desa tidaklah bisa dibentuk dengan sembarangan tanpa mentaati apa yang menjadi rambu-rambu pembentukan peraturan perundang-undangan.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H., & Rizky Pratama J, S.H

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Moh. Mahfud. MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UUI Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 74

[2] Jendi Taraja, dkk. Kedudukan Peraturan Desa dalam Sistem Hukum Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Patik: Jurnal Hukum, Vol. 8 (2), 2019, 97

[3] Pasal 22 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

[4] Hendry Maddick dan Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007, halaman 10

 

Baca Juga:

Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan

Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan

 

Tonton juga:

Hukum di Indonesia

Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia| Peraturan desa di Indonesia|Peraturan desa di Indonesia|Peraturan desa di Indonesia|Peraturan desa di Indonesia|Peraturan desa di Indonesia|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.