Penyitaan Aset Perusahaan Tommy Soeharto oleh Satgas BLBI

Uraian Kasus

Pada tanggal 5 November 2021, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Salah satunya adalah aset berupa tanah dengan total luas 124 hektar yang berada di Kawasan Industri Mandala Putra, Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Adapun, aset yang berupa tanah tersebut bernilai sekitar Rp 600.000.000.000 (enam ratus miliar rupiah). Penyitaan tersebut ditengarai karena PT Timor Putra Nasional (PT TPN), yang merupakan perusahaan milik putra bungsu mendiang Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, masih memiliki utang kepada negara sebesar Rp 2.370.000.000.000 (dua triliun tiga ratus tujuh puluh miliar rupiah). Di mana, utang tersebut bermula saat PT TPN mendapat fasilitas berupa pinjaman dari Bank Bumi Daya, yang saat ini menjadi Bank Mandiri. Terhadap upaya penyitaan yang dilakukan Satgas BLBI tersebut lantas bagaimana hukum memandangnya?

Dasar Hukum Satgas BLBI

Satgas BLBI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Keppres No. 6 Tahun 2021) jo. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Keppres No. 6 Tahun 2021 (Keppres No. 16 Tahun 2021). Pasal 1 Keppres No. 16 Tahun 2021 mengatur bahwa Satgas BLBI ini dibentuk dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari pengelolaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Dalam Likuidasi termasuk BLBI maupun aset properti. Lebih lanjut lagi, Pasal 3 Keppres No. 16 Tahun 2021 mengatur bahwa Satgas BLBI bertujuan untuk melakukan
penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien, berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya di dalam atau di luar negeri, baik terhadap debitur, obligor, pemilik perusahaan serla ahli warisnya maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya, serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Penyelesaian Piutang Negara melalui PUPN

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240 Tahun 2016 Tentang Pengurusan Piutang Negara (Permenkeu No. 240 Tahun 2016) menegaskan bahwa piutang negara pada dasarnya diselesaikan terlebih dahulu secara sendiri oleh instansi pemerintah yang menyalurkan dana. Barulah kemudian apabila penyelesaian tersebut tidak berhasil instansi pemerintah wajib wajib menyerahkan pengurusan piutang negara kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dengan ketentuan bahwa penyaluran dana tersebut melalui pola channeling atau risk sharing.[1] Pola channeling maksudnya adalah penyaluran dana kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan, di mana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.[2] Sedangkan, pola risk sharing adalah penyaluran dana kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan, di mana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.[3]

Penyitaan Aset oleh Satgas BLBI

Proses penyitaan yang dilakukan oleh Satgas BLBI ini menggunakan mekanisme penyelesaian melalui PUPN. Mekanisme melalui PUPN ini merupakan instrumen hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 Tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Perppu No. 49 Tahun 1960). Adapun, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara mengatur bahwa PUPN dapat melaksanakan pengurusan apabila terdapat Piutang Negara yang berasal dari instansi pemerintah dan badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. In casu a quo, dasar perikatan PT TPN, yang merupakan perusahaan yang “dimiliki” oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, dengan Bank Bumi Daya (sekarang Bank Mandiri) dilandasi dengan adanya perjanjian kredit. Perlu diketahui juga bahwa mekanisme melalui PUPN ini merupakan instrumen hukum yang mengesampingkan hakikat bahwa segala sengketa perdata harus diputuskan oleh pengadilan.[4]

Lebih lanjut lagi, Pasal 168 ayat (1) Permenkeu No. 240 Tahun 2016 mengatur bahwa penyitaan dapat dilakukan terhadap harta kekayaan penanggung utang ataupun penjamin utang yang dilakukan oleh juru sita piutang negara berdasarkan surat perintah penyitaan. Pada ayat (2) Permenkeu No. 240 Tahun 2016 juga dijelaskan bahwa proses penyitaan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah, dikenal, dan tidak ada hubungan keluarga dengan juru sita piutang negara. Kemudian, setelah dilakukan penyitaan, juru sita piutang negara menuangkan proses penyitaan dalam berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh juru sita piutang negara, saksi-saksi, dan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang.

            Atas barang yang dilakukan penyitaan dan penanggung hutang tidak melunasi hutangnya, PUPN dapat menerbitkan surat perintah penjualan barang sitaan untuk dilakukan pelelangan terhadap barang yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 238 jo. Pasal 239 Permenkeu No. 240 Tahun 2016. Namun perlu diketahui bahwa barang sitaan tersebut juga dapat dijual tanpa melalui proses lelang dengan adanya permohonan dari penanggung hutang atau penjamin hutang selaku pemilik barang. Adapun, permohonan tersebut diajukan secara tertulis oleh penanggung hutang atau penjamin hutang dan dilampiri surat penawaran pembelian dari calon pembeli atau diajukan oleh calon pembeli dengan persetujuan penanggung hutang atau penjamin hutang. Proses penjualan tanpa melalui lelang tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 258 ayat (1) jo. ayat (2) Permenkeu No. 240 Tahun 2016.

[1] Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240 Tahun 2016 Tentang Pengurusan Piutang Negara.

[2] Pasal 1 butir 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240 Tahun 2016 Tentang Pengurusan Piutang Negara.

[3] Pasal 1 butir 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240 Tahun 2016 Tentang Pengurusan Piutang Negara.

[4] Penjelasan Pasal 10 Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 Tentang Panitya Urusan Piutang Negara.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.