Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Bea dan Cukai

Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Bea dan Cukai menjadi hal yang penting, mengingat bea cukai menjadi filter bagi peredaran barang import ilegal di Indonesia. Tercatat selama tahun 2022 telah dilakukan 1.321 penindakan Kepabeanan dan Cukai (Bea dan Cukai). Penindakan tersebut juga buah hasil operasi Barang Kena Cukai Ilegal, dimana selama 2022 telah dilakukan operasi pasar dan juga operasi gempur rokok ilegal yang menghasilkan sekitar 1.166 Surat Bukti Penindakan.[1] Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi terjadinya pelanggaran atau tindak pidana di bidang bea cukai terbilang cukup tinggi.

 

Berkaitan dengan pidana bea cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberikan kewenangan untuk menangani tindak pidana atau pelanggaran di bidang bea dan cukai. Kewenangan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (UU Bea) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai (UU Cukai). Berkaitan dengan kewenangannya, Penyidik yang berwenang dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana di bidang bea dan cukai diatur dalam Pasal 112 Ayat (1) UU Bea dan Pasal 63 Ayat (1) UU Cukai, sebagaimana kedua ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut:

‘Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.’

Dari ketentuan tersebut berarti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih memberikan kewenangan kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu untuk melaksanakan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang.

 

Kewenangan PPNS bea dan cukai diatur dalam Pasal 112 Ayat (2) UU Bea dan Pasal 63 Ayat (2) UU Cukai. Berdasar 2 (dua) ketentuan tersebut, tidak memiliki perbedaan yang siginifikan mengenai kewenangannya, Adapun kewenangan yang diberikan adalah sebagai berikut:

  1. menerima laporan atau keterangan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai
  2. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  3. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
  4. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai;
  5. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
  6. memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai;
  7. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut perundang-undangan dan pembukuan lainnya;
  8. mengambil sidik jari orang;
  9. menggeledah rumah tinggal, pakaian dan badan;
  10. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai;
  11. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai;
  12. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dipakai sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai;
  13. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  14. menyuruh berhenti seorang tersangka pelaku tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  15. menghentikan penyidikan;
  16. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang cukai menurut hukum yang bertanggung jawab.

 

Dengan mengacu pada ketentuan dalam KUHAP, maka PPNS dalam hal ini memiliki kewajiban untuk memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 112 Ayat (3) UU Bea dan Pasal 63 Ayat (3) UU Cukai. Lebih lanjut, UU Bea dan UU Cukai memberikan kewenangan kepada Menteri untuk meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan tindak pidana di Bidang Bea dan Cukai. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang bea dan cukai, hanya dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi Bea Masuk atau Cukai yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali nilai Bea Masuk atau Cukai yang tidak dan/atau kurang dibayar. [2] [3]

 

Selain 2 (dua) ketentuan di atas, juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Kepabeanan Dan Cukai (PP 55/1996). Ketentuan ini merupakan aturan pelaksana dari UU Bea dan UU Cukai. Tujuan dibentuknya aturan pelaksana ini adalah untuk menghadapi perkembangan dalam tindak pidana fiskal yang makin meningkat dari segi kuantitas maupun kualitasnya, sehingga diperlukan profesionalisme dalam penyidikan tindak pidana di bidang fiskal. PP 55/1996 mengatur lebih rinci terkait dengan pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang bea dan cukai. Ada beberapa ketentuan teknis yang diatur di antaranya sebagai berikut:

  1. PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang diangkat sebagai penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat (lI/b) atau yang disamakan dengan itu. (Pasal 2 PP 55/1996)
  2. Pemisahan pelaporan tindak pidana di bidang Bea dan Cukai antara PPNS dengan Penyidik Kepolisian (Pasal 3 PP 55/1996)
  3. Penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat perintah penyidikan dari atasan penyidik (Pasal 4 PP 55/1996)
  4. PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberitahukan dimulainya penyidikan da menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 5 PP 55/1996)
  5. Penghentian penyidikan oleh PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberitahukan kepada Penuntut Umum dan tembusannya disampaikan kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Pasal 6 PP 55/1996)

 

Selain ketentuan PP 55/1996 tersebut, juga terdapat Standar Operasional Prosedur Nomor 021 /SOP-BC/KPP MP A/2015 Tentang Penanganan Perkara Dengan Penyidikan yang diterbtikan pada tanggal 30 Juni 2015. Adanya ketentuan-ketentuan tersebut, diharapkan mampu menjadi acuan dalam penanganan perkara tindak pidana atau pelanggaran di bidang bea dan cukai. Akan tetapi, semakin berkembangnya teknologi dan informasi saat ini sudah seharusnya dilakukan pembaharuan hukum terhadap penanganan perkara tindak pidana di bidang bea dan cukai. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan secara komprehensif dan lebih optimal seperti halnya dengan penyidikan tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Catatan Kinerja Di Bidang Penindakan Sepanjang Tahun 2022, https://www.beacukai.go.id/berita/catatan-kinerja-dibidang-penindakan-sepanjang-2022.html

[2] Pasal 113 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

[3] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.