PENYANDANG DISABILITAS DAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan dan Penyandang Disabilitas
Salah satu prinsip yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945, adalah upaya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sepenggal kalimat tersebut dapat dimaknai dengan arti pendidikan itu sendiri yang merupakan suatu proses pewarisan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat dari satu generasi ke generasi yang lain.[1] Prinsip ini diwujudkan melalui pembentukan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam musyawarah perwakilan, dan yang terakhir yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Perhatian bangsa Indonesia terhadap pendidikan dibuktikan oleh tertuangnya pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.[2] Pasal ini menunjukkan bahwa setiap individu warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang sama. Selaras dengan ideologi bangsa Indonesia, tepatnya pada sila ke-5 Pancasila yang menggaungkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang menjadi manifestasi bahwa Indonesia menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), yang meliputi hak asasi di bidang pendidikan.
Semua orang, tidak terkecuali penyandang disabilitas, berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, selanjutnya disebut UU Penyandang Disabilitas, menyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, memiliki kesempatan yang setara untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan, serta menerima akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Pada tahun 2006, PBB menetapkan sebuah instrumen HAM internasional khusus yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas, yang disebut Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Secara umum, CRPD juga mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak atas pendidikan yang dijelaskan dalam Pasal 24 CRPD. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap negara anggota wajib mengakui hak penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan. Dengan tujuan mewujudkan hak ini tanpa adanya diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang setara, negara-negara anggota harus memastikan tersedianya sistem pendidikan inklusif di semua jenjang pendidikan.[3]
Penyandang Disabilitas dalam Kacamata Bangsa Indonesia
Di Indonesia, pergeseran persepsi disabilitas dari medis menuju pendekatan hak asasi manusia (HAM) sudahada sejak masa 1990-an. Pergeseran menuju pendekatan HAM, mempunyai pendekatan secara epistemologis.[4] Definisi Penyandang Disabilitas yakni setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.[5] Istilah disabilitas maupun difabel sendiri diadopsi dari kata different ability dalam bahasa Inggris. Different ability memiliki makna manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Kemudian istilah ini dipakai untuk menggantikan penyebutan penyandang cacat yang berkonotasi negatif memiliki kesan yang kurang baik didengar serta cenderung bersifat diskriminatif.[6]
Disabilitas tidak dapat dipandang sekadar sebagai problematika di bidang medis. Disabilitas merupakan suatu kondisi yang kompleks dengan timbulnya pola interaksi individu dengan masyarakat di lingkungan tempat ia menetap dan bersosialisasi. Kemudian, istilah penyandang disabilitas secara resmi digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat dan dicantumkan dalam dokumen kenegaraan melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dengan demikian, pemakaian istilah penyandang disabilitas dikonotasikan sebagai penyebutan yang memberi penghormatan dan penghargaan bagi penyandang disabilitas berikut disertai dengan hak-haknya.
Penyandang disabilitas bukan hanya orang yang memiliki keterbatasan fisik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas mengklasifikasikan penyandang disabilitas sebagai berikut:
- Penyandang Disabilitas Fisik
Disabilitas fisik berarti fungsi gerak yang terganggu. Penyebabnya dapat beragam, di antaranya lumpuh layu atau kaku, amputasi, paraplegia, akibat stroke, akibat kusta, cerebral palsy (CP), dan orang kecil.
- Penyandang Disabilitas Intelektual
Disabilitas intelektual berarti fungsi pikir yang terganggu yang disebabkan oleh kondisi tingkat kecerdasan tidak mencapai batas rata-rata. Penyandang disabilitas intelektual di antaranya orang-orang yang lambat belajar, mengalami disabilitas grahita, dan down syndrome.
- Penyandang Disabilitas Mental
Disabilitas mental adalah fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang terganggu. Disabilitas mental dapat terjadi dalam rupa:
- Psikososial seperti skizofrenia, depresi, anxietas atau kecemasan, bipolar, gangguan kepribadian; dan
- Disabilitas perkembangan yang berdampak pada kapasitas penyandang disabilitas tersebut dalam berinteraksi dan bersosialisasi, seperti autis dan hiperaktif.
- Penyandang Disabilitas Sensorik
Disabilitas sensorik berarti salah satu fungsi panca indra mengalami gangguan, seperti disabilitas rungu, disabilutas netra, emosi, dan/atau disabilitas wicara.
Beragam penyandang disabilitas tersebut dapat terjadi pada diri seseorang baik secara tunggal, secara ganda, maupun secara multi dengan jangka waktu relatif lama yang ditetapkan sesuai dengan undang-undang oleh tenaga medis.[7]
Perlindungan Hukum Disabilitas dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai payung dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga harus menjadi jaminan untuk mencapai kesejahteraan bersama, dengan prinsip “salus populi suprema lex” yang berarti kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi dalam negara. Selain itu, hukum juga berperan sebagai alat pembaruan dan pembangunan (agent of change) dalam konteks pembangunan nasional. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat (tool), tetapi juga sebagai instrumen (instrument) penting untuk mendorong pembaruan dan pembangunan masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, fungsi hukum tidak hanya sebatas memberikan kepastian dan ketertiban, melainkan juga harus berperan aktif sebagai sarana pembaruan sosial (law as a tool of social engineering) serta mendukung pembangunan nasional secara menyeluruh.[8]
Penyandang Disabilitas di Indoneisa memiliki perlindungan hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk memberikan hak yang setara dan adil bagi penyandang disabilitas, serta memastikan bahwa mereka dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya tanpa adanya diskriminasi.[9] Perlindungan hukum yang diberikan mencakup berbagai aspek, seperti hak hidup, hak bebas dari stigma, hingga hak pendidikan.
Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah telah menetapkan sembilan peraturan pelaksana yang terdiri dari tujuh Peraturan Pemerintah dan dua Peraturan Presiden yang terkait dengan penyandang disabilitas. Pengesahan peraturan-peraturan tersebut bertujuan untuk mengimplementasikan hak-hak yang telah diatur dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Beberapa peraturan pelaksana tersebut diantaranya adalah:[10]
- Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Pemukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas bidang Ketenagakerjaan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Presiden 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas.
Kesembilan peraturan turunan dari UU Penyandang Disabilitas tersebut disusun karena substansi yang terkandung dalam undang-undang ini lebih kompleks dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Peraturan ini menekankan bahwa pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus didasarkan pada penghormatan terhadap martabat, tanpa diskriminasi, serta menjamin kesamaan kesempatan dan kesetaraan. Selain itu, asas-asas lain yang mendukung terciptanya kesejahteraan penyandang disabilitas juga menjadi fokus utama dalam peraturan ini.[11]
Hak Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas
Hak penyandang disabilitas diatur dalam Bab III, dari Pasal 5 hingga Pasal 26. Di dalam CRPD ditegaskan kewajiban negara untuk merealisasikan hak yang termuat dalam CRPD melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas mengakomodir hak-hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, bahkan hak-hak yang belum diakomodir oleh CRPD telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Hak-hak penyandang disabilitas secara umum diantaranya adalah:[12]
- Hak Hidup
- Hak Bebas dari Stigma
- Hak Keadilan dan Perlindungan Hukum
- Hak Privasi
- Hak Politik
- Hak Keagamaan
- Hak Berekspresi, Berkomunikasi dan Memperoleh Informasi
- Hak Kewarganegaraan
- Hak Bebas dari Diskriminasi, Penelantaran, Penyiksaan dan Eksploitasi
- Hak Pendidikan
- Hak Pekerjaan
- Hak Kesehatan
- Hak Kebudayaan dan Pariwisata
- Hak Kesejahteraan Sosial
- Hak Pelayanan Publik
- Hak Hidup Secara Mandiri dan Dilibatkan Dalam Masyarakat
- Hak Kewirausahaan dan Koperasi
- Hak Aksesibilitas
- Hak Perlindungan dari Bencana
- Hak Habilitasi dan Rehabilitasi
- Hak Pendataan
- Hak Keolahragaan
Di antara berbagai hak yang dijamin bagi penyandang disabilitas, hak atas pendidikan menempati salah satu posisi yang penting karena menjadi pintu masuk untuk mewujudkan hak-hak lainnya. Untuk penyandang disabilitas, pendidikan juga diakui sebagai hak fundamental yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi. Pendidikan yang didapatkan tentu adalah pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus serta potensi kecerdasan atau bakat istimewa, untuk belajar bersama dalam lingkungan pendidikan yang sama dengan peserta didik lainnya. Pada pelaksanaannya, pendidikan inklusif di Indonesia dilaksanakan dengan tujuan untuk memenuhi amanat Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, serta ayat (2) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendidikan tersebut. Juga, memenuhi UU Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas, serta Pasal 51 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa anak dengan kecacatan secara fisik maupun mental memiliki peluang yang setara dan kesempatan mengakses pendidikan biasa dan luar biasa, dengan menurunkan jumlah peserta didik yang tinggal kelas dan putus sekolah.
Sekolah atau lembaga pendidikan yang menerapkan ideologi pendidikan inklusif harus memahami serta menanggapi kebutuhan beragam dari setiap siswa, dengan mengakomodasi berbagai gaya dan kecepatan belajar mereka, dan harus memberikan segala dukungan tambahan yang peserta didik penyandang disabilitas perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan.[13] Sekolah inklusif juga harus memperhatikan hak atas pendidikan yang inklusif dan aksesibel sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Hak ini menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat menempuh pendidikan yang berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan tanpa terkecuali.[14] Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan sarana penunjang, seperti fasilitas fisik yang ramah disabilitas, teknologi bantu, hingga tenaga pendidik yang kompeten dalam melayani kebutuhan khusus. Dengan demikian, hak atas pendidikan tidak hanya bersifat formal, tetapi diwujudkan melalui langkah nyata yang mendukung proses belajar yang setara bagi semua peserta didik.
Selain itu, pelajar dan mahasiswa penyandang disabilitas juga memiliki hak atas akomodasi yang wajar dalam lingkungan pendidikan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Akomodasi ini mencakup penyesuaian kurikulum, metode pengajaran, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kondisi disabilitas masing-masing individu. Lembaga pendidikan wajib menyediakan dukungan, seperti penggunaan braille, penyediaan juru bahasa isyarat, atau teknologi bantu lainnya.[15] Dengan penerapan akomodasi yang wajar, hambatan-hambatan yang selama ini membatasi partisipasi penyandang disabilitas dapat diminimalisir sehingga mereka dapat belajar secara optimal.
Lebih lanjut, prinsip yang mendasari penyelenggaraan pendidikan inklusif ialah kesadaran bahwa semua anak dan semua peserta didik harus mendapatkan peluang yang setara untuk belajar dan mereka berhak untuk diakomodasi kebutuhannya dengan tidak didiskriminasi atas apapun yang mendasari.[16] Hak ini memastikan mereka diperlakukan sama dengan peserta didik lain, termasuk dalam penerimaan, partisipasi dalam kegiatan belajar, maupun kesempatan memperoleh beasiswa. Selain itu, terdapat hak khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) atau satuan pendidikan khusus bagi mereka yang memerlukannya, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Di dalam undang-undang ini juga menjamin hak atas beasiswa, akses informasi pendidikan dalam format yang sesuai, serta perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi di lingkungan pendidikan. Keseluruhan hak ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana transfer ilmu, tetapi juga sebagai instrumen pemberdayaan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas.
Perbaikan yang Perlu Dilakukan Dalam Rangka Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas di Indonesia Dalam Bidang Pendidikan
Perbaikan yang perlu dilakukan dalam rangka perlindungan hukum penyandang disabilitas di bidang pendidikan sangat krusial, mengingat masih banyak kendala yang dihadapi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mengatur hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, namun implementasinya masih belum merata dan optimal di seluruh Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme pengawasan agar hak ini benar-benar terpenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pendidikan yang inklusif harus menjadi fokus utama untuk memastikan kesetaraan akses bagi semua kalangan.
Fasilitas pendidikan yang ramah disabilitas harus mendapat perhatian khusus dalam proses perbaikan ini. Sekolah-sekolah wajib menyediakan akses fisik, alat bantu belajar, dan fasilitas lain yang mendukung kebutuhan penyandang disabilitas agar mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Tanpa fasilitas yang memadai, hak dasar untuk belajar akan sulit diwujudkan secara optimal. Pemerintah dan pihak terkait harus memastikan standar fasilitas pendidikan inklusif terpenuhi di semua jenjang pendidikan. Selain itu, penyediaan pendidikan khusus yang berkualitas bagi penyandang disabilitas yang memerlukan penanganan berbeda harus diprioritaskan. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk pemenuhan akomodasi pendidikan yang layak dengan lebih mendasarkan pada pemetaan kebutuhan dan prioritas strategis.[17] Hal ini juga berperan dalam memperluas kesempatan pendidikan yang inklusif dan bermutu.
Perlindungan hukum juga harus meliputi upaya pencegahan diskriminasi dalam lingkungan pendidikan. Dalam upaya pencegahan diskriminasi kepada penyandang disabilitas, diperlukan sanksi tegas bagi pihak yang melakukan diskriminasi agar penyandang disabilitas merasa aman dan dihargai di sekolah. Evaluasi dan monitoring pelaksanaan pendidikan inklusif dan khusus juga tidak boleh luput dari perhatian dan harus dilakukan secara berkala. Keterlibatan aktif komunitas penyandang disabilitas dalam evaluasi ini akan memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan humanis. Proses evaluasi ini akan menjadi tulang punggung perbaikan dalam upaya pencegahan diskriminasi kepada peserta didik penyandang disabilitas.
Terakhir, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, serta organisasi penyandang disabilitas perlu diperkuat. Kolaborasi ini akan mempercepat penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan nyata penyandang disabilitas. Partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam perencanaan dan pengawasan program pendidikan harus difasilitasi penuh, sehingga kehadiran penyandang disabilitas tidak dipandang sebagai isu sosial yang cukup dibuatkan payung hukum tanpa dilaksanakan pemenuhan haknya.
Penulis: Nabilah Hanifatuzzakiyah, S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Daftar Pustaka
Almas Sjafrina & Dewi Anggraeni, Penguatan Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum dan Peraturan Perundang-Undangan Turunannya (Permendikbud dan Permenkes). Policy Brief, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2021.
Didi Tarsidi, Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Jenjang Pendidikan Tinggi (online), JASSI ANAKKU, Vol. 11, No. 2, 2012.
Hamsi Mansur, Pendidikan Inklusif Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua, Parama Publishing, Yogyakarta, 2019.
H.A.R Tilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, LIPI, Jakarta, 1991.
Imas Sholihah, Kebijakan Baru: Jaminan Pemenuhan Hak bagi Penyandang Disabilitas, Sosio Informa, Vol. 2, No. 2, 2016.
Karina, Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas di Kabupaten Lampung Utara, Skripsi diterbitkan sebagian, Kotabumi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kotabumi, 2020.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1995.
Slamet Thohari, Habis Sakti, Terbitlah Sakit: Berbagai Macam Konsepsi Difabel di Jawa (online), https://fteologi.uksw.edu/detail_post/news/seminar-nasional-disabilitas-oleh-senat-mahasiswa-fakultas-teologi, 2012.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5251.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2020. Tambahan Lembaran Negara No. 6473.
[1] H.A.R Tilaar. 1991. Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila. LIPI, Jakarta. Hlm 21.
[2] Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[3] Pasal 24 ayat (1) Convention on the Rights of Persons with Disabilities
[4] Slamet Thohari. Habis Sakti, Terbitlah Akit: Berbagai Macam Konsepsi Difabel di Jawa. Diskusi Salihara (online). diskusi-ygnormalygterabai-slametthohari-libre.pdf (27 Mei 2024).
[5] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
[6] Karina. 2020. Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas di Kabupaten Lampung Utara, Skripsi diterbitkan sebagian, Kotabumi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kotabumi. Hlm 23.
[7] Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
[8] Mochtar Kusumaatmadja. 1995. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung. Hlm 13
[9] Imas Sholihah. 2016. Kebijakan Baru: Jaminan Pemenuhan Hak bagi Penyandang Disabilitas. Sosio Informa, 2(2). Hlm 171
[10] Agus Sahbani. Mengintip 9 Aturan UU Penyandang Disabilitas. Berita Hukum Online (online). https://www.hukumonline.com/berita/a/mengintip-9-aturan-turunan-uu-penyandang-disabilitas-lt5fc7817a40ecb/
[11] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
[12] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
[13] Didi Tarsidi, op.cit. hlm 149
[14] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara 5871.
[15] Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2020. Tambahan Lembaran Negara Nomor 6473.
[16] Hamsi Mansur, Pendidikan Inklusif Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua, Parama Publishing, Yogyakarta, 2019, hlm 14
[17] Almas Sjafrina & Dewi Anggraeni. 2021. Penguatan Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum dan Peraturan Perundang-Undangan Turunannya (Permendikbud dan Permenkes). Policy Brief, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta. Hlm. 13.
Baca juga:
Akibat Hukum Apabila Anggota TNI Melakukan Tindakan Rasisme
Sekolah Rakyat, Upaya Pemerataan Pendidikan Menuju Indonesia Emas
Anggaran Pendidikan Dalam APBN dan APBD
Sistem Pendidikan Nasional Pasca 3 Putusan Mahkamah Konstitusi
Tonton juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.