Pentingnya Pendaftaran Warisan Tak Benda ‘Kebaya’ Kepada UNESCO dari Sudut Pandang Hukum

Beredar informasi bahwa Kebaya akan didaftarkan ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) oleh Malaysia, Singapura dan Thailand pada tahun 2023 mendatang. Dilansir Straits Times, negara-negara tersebut melakukan ini melalui upaya multinasional bersama.[1] Negara-negara tersebut telah melakukan pertemuan konsultasi mengenai pengajuan kebaya sebagai warisan budaya ke UNESCO. Untuk itu, UNESCO justru mendorong Indonesia agar ikut bergabung untuk bersama-sama mengajukan.[2]

Mengenai hal tersebut, jika menilik sejarah masuknya kebaya di Indonesia melalui jalur perdagangan rempah-rempah di nusantara sekitar abad 15. Dalam kamus Hobson-Jobson, dinyatakan bahwa Kebaya berasal dari bahasa Arab kaba ‘pakaian’, namun diperkenalkan melalui bahasa Portugis.[3] Berdasarkan asal usul kata Kebaya itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab, maka Kebaya sendiri erat kaitannya dengan budaya Arab. Seiring perkembangan waktu, Kebaya yang masuk ke Indonesia mulai berakulturasi dengan masyarakat lokal yang kemudian menyebar ke berbagai daerah, paling banyak di Jawa atau kerajaan Majapahit. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, Kebaya sendiri mengalami penyesuaian dengan gaya orang Belanda yang dengan ditambahkan renda di pinggir Kebaya atau yang sering disebut sebagai kebaya noni.

Terlepas dari mana sesungguhnya asal mula Kebaya, hal itu cukup membuktikan tentang peranan bangsa lain di dalam membesarkan dan memperbaiki budaya berpakaian bangsa Indonesia, khususnya di dalam memperbaiki busana wanita. Dari bentuk busana yang sekedar menutupi bagian alat vital dan dada ke bentuk pakaian yang mampu menutupi seluruh aurat.[4] Hal ini menunjukkan bahwa Kebaya itu sendiri tidak berasal dari Indonesia, terdapat proses sejarah yang dapat dilihat dari adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap gaya Kebaya dari waktu ke waktu. Bagi Indonesia sendiri, seharusnya dapat berkontribusi dalam proses pendaftaran Kebaya ke UNESCO guna melestarikan budaya kebaya.

Merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Ketua Bidang Kegiatan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), Atie Nitiasmoro kepada Kompas.com, pendaftaran Kebaya ke UNESCO bukanlah Nation Identity atau Nation Pride, tetapi soal Culture Sharing agar budaya Kebaya tidak punah. Meskipun jika dilihat penggunaan Kebaya lebih banyak di Indonesia daripada negara-negara tersebut, tetapi negara-negara tersebut terbukti memiliki budaya Kebaya. Bahkan, di Malaysia dan Singapura sudah ada museum Kebaya yang memiliki informasi mendalam dibandingkan Indonesia.[5]

Sebagaimana diketahui bahwa pendaftaran Kebaya ke UNESCO masuk dalam kategori warisan budaya tak benda. Berkaitan dengan pendaftaran tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan agar pengajuan tersebut dapat diterima oleh UNESCO. Dalam pengaturan perlindungan budaya tak benda ini menurut Convention For The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage mempunyai tujuan untuk menjaga warisan budaya tak benda dan untuk menjamin penghormatan terhadap warisan budaya tak benda dari masyarakat, kelompok dan individu yang bersangkutan.

Pasal 2 Ayat (3) Konvensi UNESCO 2003 yang telah diratifikasi oleh Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda) (Konvensi ICH) memberikan definisi warisan budaya tak benda sebagai berikut:

Segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan – serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya—yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan Budaya Takbenda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komuniti dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jati diri dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani

Dari definisi diatas, dapat diketahui mengenai sifat dari objek penjagaan warisan budaya tak benda adalah:

  1. Ditransmisikan atau diteruskan dari generasi ke generasi;
  2. Secara konstan diperbaharui oleh komunitas atau kelompoknya sebagai respon mereka terhadap lingkungan hidup mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah;
  3. Memberi mereka kesadaran identitas dan keberlanjutan, sehingga mempromosikan juga penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreatifitas manusia.

Menurut Pasal 2 ayat (3) Konvensi ICH yang dimaksud dengan perlindungan adalah tindakan-tindakan yang bertujuan memastikan kelestarian warisan budaya takbenda, termasuk identifikasi, dokumentasi, penelitian, preservasi, perlindungan, pemajuan, peningkatan, penyebaran, khususnya melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal, serta revitalisasi berbagai aspek warisan budaya tersebut. Adanya Konvensi ICH ini memiliki sifat perlindungannya yang non-ekonomis, memakai istilah Safeguarding dan bukan Protecting. Makna Perlindungan ini lebih inklusif dan bukan perlindungan yang eksklusif atau meniadakan pihak lain yang bukan pemegangnya untuk bebas menikmatinya. “Safeguarding”, lebih bersifat menjaga objek yang dilindungi agar tetap lestari bagi kepentingan generasi manusia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.[6]

Dalam sistem Kekayaan Intelektual, perlindungan Konvensi ICH ini tetap mengakui bahwa semua objek yang dilindunginya berada di ranah publik (public domain). Artinya, pendaftaran suatu warisan budaya takbenda ini ditujukan untuk dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang. Sebagaimana dalam Pasal 19 Ayat (2) Konvensi ICH yang menyatakan bahwa

Tanpa mengabaikan ketentuan-ketentuan di dalam hukum nasional serta hukum dan praktik pada mereka, negara-negara penandatangan mengakui bahwa penjagaan warisan budaya takbenda adalah untuk kepentingan seluruh umat manusia, dan untuk tujuan utama itu, memerlukan diselenggarakannya kerjasama di tingkat bilateral, sub regional, regional dan internasional.

Secara singkat tujuan akhir yang dapat disimpulkan dari Pasal 19 ayat (2) Konvensi ICH adalah untuk kepentingan umum kemanusiaan. Untuk memenuhi kepentingan umum ini, kerjasama dilakukan, baik di tingkat bilateral, sub regional, regional, maupun internasional. Tujuan dari ICH ini bukan komodifikasi, yang justru dapat membuat objek-objeknya terhambat untuk digunakan secara bebas dan meluas oleh seluruh umat manusia. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa konvensi ICH ini lebih bersifat “menjaga” objek yang ada dalam lingkupnya, agar tetap lestari bagi generasi umat manusia, di masa sekarang maupun masa yang akan datang, sebagai objek kepemilikan bersama (public domain).

 

[1] Martyasari Rizky, Kebaya Didaftarkan 4 Negara ke PBB, Tak Ada Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20221127185159-4-391602/kebaya-didaftarkan-4-negara-ke-pbb-tak-ada-indonesia

[2] Tim detikJateng, Tanggapan Lengkap UNESCO soal Malaysia dkk Mau Klaim Kebaya, https://www.detik.com/jateng/budaya/d-6428830/tanggapan-lengkap-unesco-soal-malaysia-dkk-mau-klaim-kebaya.

[3] Denys Lombard, volume 2, cetakan ketiga, 2005, 318. Periksa Anas, dkk., 1998, 487.

[4] Timbul Haryono, Busana dan Kelengkapannya: Aspek Teknomik, Sosioteknik, dan Ideoteknik, Seminar Busana Hastanata, Yogyakarta, 2008, hlm. 2.

[5] Ryan Sara Pratiwi, Tak Mungkin Klaim Kebaya Cuma Milik Indonesia, Mengapa?, https://lifestyle.kompas.com/read/2022/11/26/140904620/tak-mungkin-klaim-kebaya-cuma-milik-indonesia-mengapa?page=all.

[6] Eva Juliana Purba, dkk, Perlindungan Hukum Warisan Budaya Tak Beda Berdasarkan Convention for The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage 2003 dan Penerapannya di Indonesia, Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 1 No. 1 (2020)

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.