Peninjauan Kembali Kedua

Upaya hukum di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh seseorang apabila tidak puas dengan putusan hakim dalam yang berwenang. Pada dasarnya dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mehkamah Agung yang telah mengalami 2 (dua) kali perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA) menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) dan Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman

“Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan  peninjauan kembali”

Pasal 268 ayat (3) KUHAP

“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.

Kemudian pasal-pasal tersebut juga pernah dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 108/PUU-XIV/2016 juncto Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010, namun dalam Putusan tersebut menolak peninjauan kembali lebih dari sekali.[1] Alasan ditolaknya permohonan uji materiil dalam pasal-pasal tersebut, yaitu pertimbangan hukumnya penyelesaian perkara menjadi panjang dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) dan justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan.

Namun, pada tahun 2009 Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (selanjutnya disebut SEMA 10/2009) yang menyatakan bahwa:

“Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan PK agar permohonan PK tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.“

Selanjutnya dipertegas kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA 07/2012) sebagai rumusan Kamar Perdata yang menyatakan bahwa:

“Pada prinsipnya PK kedua kali tidak diperkenankan, kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan baik dalam putusan perdata, pidana, TUN maupun agama”.

SEMA ini memperluas lingkup jenis perkaranya dengan menambah putusan perkara Tata Usaha Negara (TUN) dan putusan perkara agama. Selain itu, dalam hukum pidana juga disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (selanjutnya disebut dalam SEMA 07/2014) yang menyatakan bahwa:

“Tidak ada Peninjauan Kembali kedua atau lebih, kecuali dengan alasan terdapat berbagai putusan dalam satu obyek perkara”.

Kemudian dalam perkembangan berikutnya juga diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA 4/2016 menyatakan bahwa :

“Ketentuan terhadap angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 dilengkapi sebagai berikut: “Demi keadilan, permohonan peninjauan kembali kedua terhadap dua putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang saling bertentangan satu dengan yang lain dan salah satu diantaranya adalah putusan peninjauan kembali, dapat diterima secara formil walaupun kedua putusan tersebut pada tingkat peradilan yang berbeda, termasuk putusan pidana, agama dan tata usaha negara”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang berlaku saat ini, yaitu ketentuan dalam SEMA 4/2016. Berdasarkan ketentuan tersebut pula, maka dapat disimpulkan bahwa syarat untuk malakukan permohonan peninjauan kembali kedua, yaitu:[2]

  1. adanya 2 (dua) putusan atau lebih yang saling bertentangan dan statusnya telah berkekuatan hukum tetap, baik putusan Peninjauan Kembali dengan Peninjauan Kembali maupun dengan bukan putusan Peninjauan Kembali.
  2. Menyangkut putusan perdata, putusan pidana, putusan Tata Usaha Negara, dan putusan agama.
  3. Obyek perkara sama.
  4. Ketua pengadilan menilai beralasan hukum dan dapat diterima atau tidak permohonan Peninjauan Kembali kedua tersebut. Apabila tidak dapat diterima maka berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung RI.

Jangka waktu dalam permohonan peninjauan kembali kedua mengikuti ketentuan dalam Pasal 69 UU MA yaitu 180 (seratus delapan puluh hari) sejak putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap diberitahukan kepada para pihak berperkara.[3]

[1] https://pt-bandung.go.id/pk-kedua.html

[2] Ibid.

[3] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.