Hukum Pajak : Apa itu PKP dan non PKP?

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PMK 147/2017) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan perubahannya. Sedangkan pengusaha non PKP merupakan pengusaha yang belum ditetapkan sebagai PKP.[1] Pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP tidak termasuk pengusaha kecil, terkecuali jika pengusaha kecil tersebut ingin perusahaannya dikukuhkan sebagai PKP.

Walaupun pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi pengusaha kecil untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, namun apabila perusahaan tersebut ingin dikukuhkan menjadi PKP, maka perusahaan dapat mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PMK 68/2010). Pengusaha kecil yang tidak wajib PKP yaitu pengusaha kecil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PMK 197/2013) yaitu:

“Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”

Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan oleh pengusaha dengan menyampaikan permohonan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan kepada instansi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 44 ayat (4) PMK 147/2017 yaitu kepada:

    1. KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/ atau tempat kegiatan usaha Pengusaha; atau
    2. KPP tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Persyaratan dokumen yang perlu dilampirkan dalam permohonan pengukuhan PKP dinyatakan dalam ketentuan Pasal 48 PMK 147/2017 yaitu sebagai berikut :

a. Untuk Pengusaha orang pribadi:

    1. dokumen yang menunjukkan identitas diri Pengusaha untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing; dan
    2. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas untuk setiap tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;

b. untuk Pengusaha berbentuk Badan:

    1. dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya;
    2. dokumen yang menunjukkan adanya kegiatan usaha untuk setiap tempat kegiatan usaha; dan
    3. dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha; atau

c. untuk Pengusaha yang menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan, selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b, Pengusaha juga harus melampirkan:

    1. dokumen yang menunjukkan kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis antara penyedia jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan
    2. dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang.

Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan pengusaha tersebut akan diberikan sepanjang pengusaha memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 PMK 147/2017 yaitu:

a. Untuk Pengusaha orang pribadi:

    1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
    2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; atau

b. Untuk Pengusaha berbentuk Badan:

    1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpaj akan;
    2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan
    3. ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 juga berlaku untuk seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha

Sedangkan terhadap perusahaan yang wajib PKP adalah perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK 197/2013 yang menyatakan sebagai berikut :

  1. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
  2. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 197/2013 juga dinyatakan bahwa apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kewajiban pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP ditentukan dalam ketentuan Pasal 6 PMK 68/2010 yaitu berupa kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Pada dasarnya perusahaan yang menjadi PKP memiliki beberapa keuntungan sebagaimana dikutip dari website online-pajak, diantaranya:[2]

  1. Dengan menjadi PKP, pengusaha baik perorangan atau badan dianggap telah memiliki sistem yang sudah baik, dianggap legal secara hukum dan telah tertib membayar pajak.
  2. Dengan menjadi PKP, pengusaha baik perorangan maupun badan telah dianggap besar dan status PKP akan berpengaruh saat menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang tergolong besar.
  3. Dapat melakukan transaksi dengan bendaharawan Pemerintah dan dapat mengikuti lelang-lelang yang diadakan oleh Pemerintah.
  4. Keuntungan menjadi PKP dalam hal pola produksi dan investasi yang semakin baik, karena beban produksi dan investasi BKP/JKP dapat dibebankan kepada konsumen akhir.

Namun, apabila setelah dikukuhkan sebagai PKP dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 7 PMK 197/2013. Pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan melalui permohonan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) PMK 147/2017 yaitu mengenai pendapatan minimal pengusaha yang wajib PKP. Pencabutan pengukuhan PKP juga dapat dilakukan oleh KPP apabila berdasarkan penelitian PKP memiliki kriteria sebagaimana ketentuan dalam Pasal 57 ayat (3) PMK 147/2017, meliputi :

  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non-Efektif;
  2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;
  3. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan. putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  4. PKP yang pindah alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/ a tau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya;
  5. PKP yang telah dinonaktifkan sementara Sertifikat Elektroniknya dan tidak melakukan klarifikasi atau klarifikasinya ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4 ); danjatau
  6. PKP dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

[1] https://sniconsulting.co.id/2020/10/09/perbedaan-pkp-dan-non-pkp/

[2] https://www.online-pajak.com/tips-pajak/keuntungan-menjadi-pkp

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.