Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dalam undang-undang sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dijadikan undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang;
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi).

Mengenai keseluruhan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di artikel sebelumnya yang berjudul “Tugas Mahkamah Konstitusi”. Namun, dalam artikel kali ini hanya akan dibahas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.

Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 diatur dalam bagian ke delapan BAB V tentang Hukum Acara yang terdiri ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal melakukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu pengujian secara formil dan pengujian secara materiil. Hal yang membedakan diantara keduanya yaitu pengujian formil menitikberatkan pada persoalan pembentukan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sedangkan permohonan pengujian materiil menitikberatkan pada norma atau substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan substansi UUD NRI 1945. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dilakukan melalui permohonan oleh pemohon yang memiliki legal standing sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

    1. perorangan warga negara Indonesia;
    2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
    3. badan hukum publik atau privat; atau
    4. lembaga negara.

Yang kemudian hal tersebut wajib diuraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pemohon juga wajib menguraikan dengan jelas hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu :

  1. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
  2. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Secara keseluruhan tentang hal-hal yang harus dimuat dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 diatur dalam ketentuan Pasal 51A ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu meliputi :

    1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
    2. Kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
    3. Alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.

Pemohon dalam permohonannya juga melampirkan alat bukti yang dapat berupa hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya :

    1. surat atau tulisan;
    2. keterangan saksi;
    3. keterangan ahli;
    4. keterangan para pihak;
    5. petunjuk; dan
    6. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Pasal 51A ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, maka pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal yang dimohonkan dalam permohonan pengujian formil, meliputi hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51A ayat (4) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu :

    1. Mengabulkan Permohonan pemohon;
    2. Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
    3. Menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan hal yang dimohonkan apabila permohonan berupa pengujian materiil, meliputi hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51A ayat (5) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya :

    1. Mengabulkan Permohonan pemohon;
    2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
    3. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Setelah permohonan didaftarkan dan diregistrasi oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta Mahkamah Agung untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52 dan Pasal 53 UU Mahkamah Konstitusi.

Setelah permohonan dicatatkan dalam buku registrasi perkara, kemudian Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 34 UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan/atau Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi. Kemudian Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 UU Mahkamah Konstitusi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 9/2020) menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Panel yang dihadiri oleh paling kurang 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi. Setelah Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan, Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut melaporkan hasilnya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk pengambilan putusan. Pengambilan putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam RPH secara tertutup setelah selesai Pemeriksaan Pendahuluan yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim atau paling kurang oleh 7 (tujuh) Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana ketentuan dalam Pasal PMK 9/2020.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat berupa hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 56 UU Mahkamah Konstitusi, yaitu :

  1. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tentang legal standing pemohon, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
  2. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan (materiil), amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan dan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945;
  3. Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (formil), amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;
  4. Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa apabila materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang telah diuji, maka tidak dapat dimohonkan kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan pengujian berbeda.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.