Pengenaan Bunga Pinjaman oleh Pihak Selain Bank

Pada masyarakat umum kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama, terhitung sejak masyarakat telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Kegiatan pinjam-meminjam uang digunakan sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya[1]. Dalam hubungan pinjam meminjam tersebut, dilakukan dengan kesepakatan antara peminjam atau disebut (debitur) dan yang meminjamkan disebut (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian utang piutang dalam KUHPerdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam, yaitu merupakan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam[2]. Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula”.[3]

Perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata kewajiban-kewajiban kreditur tidak banyak diatur, pada pokoknya kreditur wajib menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada debitur setelah terjadinya perjanjian. Begitu juga dengan kewajiban debitur dalam perjanjian pinjam meminjam, pada pokoknya mengembalikan utang dalam jumlah yang sama, disertai dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1763 KUHPerdata). Adapun mengenai pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga dibenarkan menurut hukum, hal ini berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagian Ketiga tentang Perikatan, yaitu Pasal 1765 KUHPerdata yang merumuskan:

“bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian”.

Sedangkan pada Pasal 1766 KUHPerdata menyebutkanBarangsiapa sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat mengurangkannya dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang; dalam hal ini uang kelebihan itu dapat diminta kembali atau dikurangkan dari pinjaman pokok”. Pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya, tidak diwajibkan kepada debitur untuk membayar bunganya, namun jika ketentuan tentang adanya pembayaran bunga dalam perjanjian tersebut maka debitur diwajibkan untuk membayar bunganya sampai jangka waktu pinjaman uang habis atau berakhirnya perjanjian tersebut. Namun dalam menentukan besarnya bunga dalam perjanjian tersebut harus ditetapkan secara tertulis dan mengenai besarnya bunga tersebut, dalam isi ketentuan pasal 1767 KUHPerdata menyebutkan, ada dua jenis bunga yaitu menurut Undang-undang dan menurut perjanjian. Bunga dalam perjanjian boleh melampaui jumlah bunga yang ditetapkan undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis (Bunga menurut undang-undang adalah menurut Lembaran Negara tahun 1848 No. 22 ialah 6% (enam persen)).[4] Mengenai ketentuan jika diperjanjian tersebut tidak mencantumkan besaran bunga, maka debitur wajib membayar bunga menurut undang-undang, hal ini diatur dalam pasal 1768 KUHPerdata.

Pengaturan terhadap standarisasi bunga wajib diperjelas kembali. Ini mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi pada Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional”. Mengenai ketentuan rumusan pasal di atas khususnya kata “kewajaran” memiliki intepretasi yang sangat luas serta dapat mengakibatkan kekaburan dari norma yang ada di dalam rumusan pasal tersebut. Sehingga perlunya diperjelas tekait dengan maksud dari kata kewajaran agar menciptkan kepastian hukum di dalam masyarakat. Apabila dikaitkan dengan penetapan suku bunga, yang dianggap wajar dapat diartikan mengikuti aturan-aturan sebagaimana halnya bank maupun lembaga jasa keuangan lainnya. Sehingga memberikan kepastian dan keadilan terhadap masyarakat dengan tidak adanya penetapan bunga yang sewenang-wenang dari salah satu pihak.[5] Ketentuan lain yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan yakni tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro (POJK 05/2014), dimana dalam ketentuannya mengatur mengenai lembaga keuangan mikro (LKM) yakni lembaga khusus yang diperuntukan untuk pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha mikro.[6] LKM sendiri berfungsi sebagai lembaga yang memberikan layanan berupa pemberi pinjaman yang dibentuk secara khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengenai proses penyaluran peminjamannya diatur dalam pasal 3 ayat (1 dan 2) POJK 05/2014, LKM dalam menjalankan kegiatan penyaluran pinjaman harus melakukan analisis kelayakan untuk dilakukan peyaluran pinjaman, ditujukan dalam rangka mengembangkan usaha dan pemberdayaan masyarakat. Pasal 4 ayat (1) POJK 05/2014 menyebutkan LKM menetapkan suku bunga pinjaman atau imbal hasil pembiayaan. Apabila terjadi wanprestasi dalam sebuah perjanjian pinjam meminjam, dalam hal ini debitur tidak mau mengembalikan uang pinjaman dan membayar bunga yang sebelumnya telah diperjanjikan, maka pihak kreditur dapat mengajukan tuntutan kepada debitur melalui pengadilan perdata, dan pihak debitur harus mengembalikan uang dan membayar bunga berdasarkan keputusan pengadilan. Jika pihak penyelenggara dalam hal ini kreditur melakukan wanprestasi atau menyebabkan kerugian maka akan dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi atau ganti rugi akibat kelalaian atau tindakan lainnya yang menyebabkan melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut.

 

[1] M. Bahsan, 2008, Hukum Jamiman dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.1

[2] R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 20

[3] Pasal 1754, Kitab Undang-undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW), Buku ketiga tentang Perikatan, bab ketiga belas, bagian satu ketentuan umum

[4] https://yuridis.id/penetapan-bunga-dalam-pinjam-meminjam/.

[5] Made Dwi Rendra Hadi Pradnyana & Ida Ayu Sukihana, Artikel Karya Ilmiah Hukum, PENGATURAN PENETAPAN SUKU BUNGA DALAM PERJANJIAN PEER TO PEER LENDING, Fakultas Hukum Universitas Udayana, tahun 2019

[6] Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /Pojk.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro, tahun 2014

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.