Pengaturan Tanah Girik Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Hak atas tanah sebagai suatu hak memberikan kewenangan terhadap setiap orang untuk mempergunakan maupun memanfaatkan tanah yang dimilikinya. Setiap hak atas tanah memiliki dua fungsi yaitu kegunaan ekonomi dan kegunaan secara sosial yang memiliki arti bahwa bukan hanya memberikan kewenangan bagi yang memiliki hak akan tetapi juga memberikan kewajiban untuk mempergunakan tanah yang dikuasainya dengan selalu mempertimbangkan kepentingan umum atau dengan perkataan lain tanah itu harus diurus dan tidak boleh ditelantarkan.[1] Ada beberapa hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Hak milik merupakan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, hak milik atas suatu tanah adalah suatu hak yang terkuat dan terpenuh, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa hak milik adalah suatu hak yang diperoleh dengan cara turun menurun dan memiliki kekuatan pembuktian terkuat serta tepenuh yang dapat dimiliki orang atas suatu tanah. Dalam penjelasan pasal tersebut juga dijelaskan bahwa hak terkuat dan terpenuh mempunyai makna untuk menunjukan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang lain, hak milik atas tanahlah yang mempunyai kekuatan terkuat dan juga terpenuh, yaitu menyangkut tidak adanya pembatasan waktu atas penguasaan tanah serta tidak adanya pembatasaan atas luas lingkup penggunaanya, seperti dapat dipergunakan baik untuk tempat berusaha maupun digunakan untuk membangun sesuatu.

Saat ini pelaksanaan pengaturan mengenai hak atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021). Ketentuan PP 18/2021 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Dalam PP 18/2021 terrsebut mengatur terkait dengan kedudukan tanah girik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 PP 18/2021 yang berbunyi bahwa:

  • Alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
  • Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Tanah girik merupakan sebutan untuk tanah adat atau tanah yang belum memiliki sertifikat dan belum terdaftar pada Kantor Pertanahan setempat, serta belum memiliki status hak tertentu (Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Milik). Bukti kepemilikan hak atas tanah girik umumnya berupa bukti penguasaan hak atas tanah dari Desa, biasanya dikenal dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau bukti pembayaran pajak atas tanah. Peralihan tanah girik ini umumnya berasal dari pewarisan secara turun-temurun. Adapun bidang tanah yang berasal dari hak milik adat (girik) dan belum bersertifikat, penggunaannya dapat dibenarkan meskipun belum didaftarkan ke kantor pertanahan setempat selama tidak melanggar atau melawan hukum.[2]

Diaturnya ketentuan tersebut dalam PP 18/2021 masih memberikan ruang kepada alat bukti tertulis tanah bekas milik adat, seperti petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, kikitiir, verponding Indonesia dan alat bukti lainnya dengan nama dan atau istilah yang berbeda sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Permen ATR BPN 16/2021).

Meski demikian, pengaturan tersebut tetap memberikan pembatasan waktu bagi tanah girik sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, yaitu selama 5 (lima) tahun dari diterbitkannya peraturan tersebut. Setelah jangka waktu tersebut terlewati, maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sudah bukan merupakan alat pembuktian sehingga tidak dapat dipergunakan untuk barang bukti atas kepemilikan hak atas tanah, dan hanya bisa dipergunakan sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (2) PP 18/2021.

Pendaftaran tanah girik dilakukan dengan mekanisme pengakuan hak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 76A Ayat (3) Permen ATR BPN 16/2021. Adapun pengakuan hak yang dimaksud dalam ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 76A Ayat (4) Permen ATR BPN 16/2021 yang berbunyi:

Permohonan pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan surat pernyataan penguasaan fisik dari pemohon dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa:

  1. tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya merupakan tanah bekas milik adat bukan Tanah Negara;
  2. tanah tersebut telah dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut;
  3. penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah;
  4. tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki dan/atau tidak dalam keadaan sengketa;
  5. tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan jaminan sesuatu utang; dan
  6. bukan merupakan aset Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan tidak berada dalam Kawasan Hutan

Selain memenuhi hal-hal di atas, pendaftaran tanah girik juga perlu memperhatikan unsur itikad baik sebagaimana Pasal 76A Ayat (4) huruf c Permen ATR BPN 16/2021. Unsur iktikad baik terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara terus-menerus dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut surat pernyataan penguasaan fisik dibuat dengan disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan dibuat berdasarkan keterangan yang sebenarbenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana apabila di kemudian hari terdapat unsur ketidakbenaran dalam pernyataannya.[3]

Selain ketentuan dalam PP 18/2021 dan Permen ATR BPN 16/2021, juga terdapat beberapa Yurisprudensi terkait dengan tanah girik antara lain sebagai berikut:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3176 K/Pdt/1988 tertanggal 3 April 1990, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pembebasan tanah yang dilakukan Tergugat hanya didasarkan surat girik (letter C) yang tidak jelas letak dan batas-batasan tanahnya, dan (ii) tanah yang telah jelas ada sertifikatnya tidak dapat diperjualbelikan begitu saja berdasarkan dengan surat girik, namun harus dibuktikan dengan sertifikat atas tanah yang merupakan bukti otentik kepemilikan tanah. Sedangkan, surat girik hanyalah tanda untuk membayar pajak.
  2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 522 K/Pdt/1990 tertanggal 29 April 1992, dalam pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa sebidang tanah yang sudah jelas ada sertifikatnya tidak dapat diperjual belikan begitu saja berdasarkan surat girik, melainkan harus didasarkan atas sertifikat tanah yang bersangkutan, yang merupakan bukti otentik dan mutlak tentang pemilikannya, sedang surat girik hanya sebagai tanda untuk membayar pajak

Dengan demikian, beberapa yurisprudensi yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa hak atas tanah girik yang ditandai dengan Surat Girik bukanlah sebagai tanda kepemilikan atas tanah. Kaidah hukum tersebut berbeda dengan PP 18/2021 dan Permen ATR BPN 16/2021 yang memberikan jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya peraturan tersebut untuk Surat Girik dapat berlaku sebagai tanda kepemilikan tanah. Apabila setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut sudah terlewati, maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sudah bukan merupakan alat pembuktian.

 

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

 

 

 

[1] Reko Dwi Salfutra, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2019, halaman 51.

[2] Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2001, halaman 182.

[3] Pasal 76A Ayat (6) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.