Pengaturan Hak Atas Tanah Gogolan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur mengenai konversi hak atas tanah yang terdapat di bagian Kedua tentang Ketentuan Konversi. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat, Konversi hak atas tanah bekas hak Indonesia (tanah adat) dan Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja.[1] Berbagai jenis hak tersebut kemudian dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UUPA.

Salah satu bekas tanah hak Indonesia (tanah adat) yang dikonversi menjadi hak milik adalah hak gogolan. Selain dapat dikonversi menjadi hak milik, hak gogolan ini juga dapat dikonversi menjadi hak pakai sesuai dengan jenis hak yang berlaku sebelum adanya UUPA.[2] Hak gogolan adalah hak seorang Gogol (kuli) atas komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau hak pekulen. Tanah gogolan yang telah dilekati hak gogolan mengikuti pola penguasaan tanah yang bersifat komunal, yakni pemilikan tanah yang dilakukan dengan bagian-bagian tetap dan pemilikan tanah dengan bagian-bagian tertentu yang pada waktu tertentu berganti-ganti. Sehingga hak gogolan tersebut dikenal dengan adanya 2 (dua) hak, yaitu:

  1. Hak gogolan yang bersifat tetap: hak gogolan tetap terjadi kalau gogol (kuli) terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si Gogol meninggal dunia, dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk melanjutkannya, seperti istri dan anak-anaknya.
  2. Hak gogolan yang bersifat tetap: hak gogolan yang tidak tetap terjadi apabila para Gogol tersebut tidak terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama atau apabila si Gogol meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali kepada desa. Sejatinya tanah gogolan yang tidak tetap diberikan kepada petani penggarap dengan tujuan untuk kesetaraan dan memeratakan hasil pertanian, maka digarap atau dikerjakan secara bergilir.[3]

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut Hak Gogolan ada 2 (dua) syarat, yaitu tanah yang dikuasainya tetap pada tanah yang sama dan apabila si Gogol meninggal dunia, maka hak gogolnya dapat dilanjutkan oleh salah seorang ahli waris tertentu. Apabila tidak ada, maka yang menjadi ahli warisnya adalah jandanya. Sedangkan Hak gogolan bersifat tidak tetap, ada dua unsur yang harus diperhatikan yaitu apabila tanah yang digarap/dikuasai berganti ganti atau apabila si Gogol meninggal dunia, maka tanah gogolan dimaksud tidak dapat diwariskan pada ahli warisnya.[4]

Dengan diterbitkannya UUPA yang mengatur terkait dengan konversi hak atas tanah, menurut ketentuan Pasal VII UUPA tanah gogolan adalah:

  • Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
  • Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
  • Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.

Dalam ketentuan tersebut diketahui bahwa hak atas tanah gogolan, yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya UUPA menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA. Sementara hak atas tanah gogolan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai sebagaimana dimaksud Pasal 41 ayat (1) UUPA. Lebih lanjut, hak atas tanah gogolan juga diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (Permen Agraria 2/1960) yang berbunyi:

  • Konversi hak-hak gogolan, sanggan atau pekulen yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat-keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
  • Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah-gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolannya jatuh pada warisnya yang tertentu.

Peraturan-peraturan tersebut menyatakan bahwa hak gogolan tetap maupun tidak tetap dikonversikan menjadi hak milik dan hak pakai, dan sejak saat itu hak tersebut tidak lagi tunduk kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria. Dengan demikian, ketentuan hak atas tanah gogolan juga mengikuti ketentuan yang mengatur terkait dengan perpanjangan hak milik dan hak pakai di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya pengaturan jangka waktu terhadap hak atas tanah yang diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan.

 

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Ahmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, halaman 74

[2] A. Saddam Ramadhan, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Gogolan di Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur, Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2016, halaman 4

[3] Efendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia: Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum Rajawali, Jakarta, 1994, halaman 80

[4] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.