Penerapan Hukum Adat Dalam KUH Pidana

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah 17.000 ribu pulau. Kondisi geografis tersebut berdampak pada keanekaragaman suku yang berkembang di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2010 mencatat terdapat 1.340 suku bangsa yang tersebar. Keanekaragaman suku tersebut tentunya membentuk satu kebiasaan yang terus terjaga antar generasi. Kebiasaan tersebut mencakupi pula bidang hukum, yang sering kita sebut hukum adat.

Beberapa waktu yang lalu, telah disahkan KUHP baru yang merupakan serangkaian aturan hukum yang akan digunakan dalam penyelesaian permasalahan hukum pidana. Berbagai pro dan kontra muncul, sebab masih ada beberapa pasal dalam KUHP yang baru dianggap kontroversial. Salah satunya mengenai pengakuan hukum adat untuk mengategorikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kendati peraturan perundang-undangan tidak mengategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana. Hal ini dianggap mendistorsi kepastian hukum dan adanya asas legalitas. Cesare Beccaria menjabarkan legalitas  dengan menyatakan bahwa setiap keberlakuan hukum hanya dapat ditentukan dalam undang-undang, dan yang berhak untuk melakukan hal tersebut adalah pembuat undang-undang.[1]

Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian dari konsekuensi logis kedudukan Indonesia sebagai negara hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 menerangkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hal ini sangat identik dengan adanya kepastian hukum dan perlakuan hukum yang adil bagi setiap orang.  Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 (UU HAM) menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.” Sebagaimana yang diutarakan M.Scheltema bahwa salah satu dari anasir negara hukum adalah kepastian hukum.

Kendati naskah setelah pengesahan KUHP belum tersebar ke publik, namun seyogianya jika merujuk kepada draf final RKUHP, terdapat berbagai pasal yang memberikan jaminan pemberlakuan hukum adat, beberapa diantaranya sebagai berikut.

  1. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.” Pasal ini merupakan pengecualian dari Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
  2. Pasal 66 ayat (1) huruf f yang menyatakan bahwa, “Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas: f.pemenuhan kewajiban adat setempat.” Pasal tersebut memberikan pengakuan atas adanya sanksi adat terhadap pelaku tindak pidana.
  3. Pasal 601 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana.” Berdasarkan hal tersebut tampak jelas bahwa makna tindak pidana tidak hanya terbatas pada yang dinyatakan menurut perundang-undangan, namun juga berdasarkan hukum pidana adat.

Eksistensi hukum adat dalam KUHP baru sebenarnya merupakan derivasi nilai dari konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya, serta sejarah Indonesia. Hal tersebut dikarenakan hukum adat merupakan salah satu bagian dari sistem hukum Indonesia selain hukum nasional dan hukum agama. Misalnya pada sisi sejarah, hukum adat merupakan peristilahan yang identik dengan hukum kebiasaan. Pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh Darussalam, pemerintah memerintahkan pembuatan Kitab Makuta Alam, yang secara tersirat mengandung nilai-nilai hukum adat sebagai kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang.[2] Secara konstitusional, eksistensi hukum adat diatur pada Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Kemudian, pada tingkatan undang-undang, UU HAM juga mengakomodir pengakuan hukum adat pada Pasal 6 ayat (1) UU HAM, bahwa “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

Jika melihat banyaknya dasar hukum yang memberikan jaminan pada pengakuan hukum adat, maka seyogianya hal tersebut dapat menjadi dasar pemberlakuan hukum pidana adat. Oleh sebab itu, mengenai aspek legalitas kiranya dapat terjawab. Namun, permasalahan lain yang muncul adalah adanya jaminan kepastian hukum yang adil. Hukum adat merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat yang umumnya tidak tertulis. Hal ini tentunya menjadikan hakim menanggung beban yang lebih berat, bahkan dapat berakibat pada putusan yang dasar hukumnya sumir. Kendati hakim pada asasnya ius curia novit yang secara tersirat hakim dianggap tahu akan semua hukum, namun kekhasan hukum adat dapat saja disalahartikan oleh hakim dalam menangani sebuah perkara. Hal ini tentu akan berdampak pada putusan yang tidak merefleksikan keadilan. Secara tidak langsung pula, dapat menciderai keluhuran hukum adat, apabila putusan atas dasar hukum adat yang diputuskan hakim, sebenarnya melenceng dari nilai hukum adat itu sendiri. Permasalahan lainnya yang juga harus menjadi perhatian adalah, hukum adat dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, namun sanksi adat hanya tergolong sebagai pidana tambahan yang sifatnya opsional. Ini berarti nantinya dapat saja suatu tindakan dianggap tindak pidana berdasarkan hukum adat, namun sanksinya adalah penjara atau pemidanaan pada hukum nasional lainnya.

[1] E. Fernando M. Manulang, 2017, Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, Cetakan kedua, KENCANA, Jakarta, hlm. 11.

[2] I.Gede.A.B. Wiranata, 2005, hukum adat Indonesia: perkembangannya dari masa ke masa, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, hlm. 5.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.