Penemuan Hukum Atau Rechsvinding Oleh Hakim

Penemuan Hukum Atau Rechsvinding
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sistem hukum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem hukum eropa kontinental/civil law, yang mana penerapan hukum hanya didasarkan pada peraturan yang berlaku. Artinya, suatu peraturan yang ada itulah yang diterapkan, dan tidak boleh melenceng dari peraturan dimaksud, sehingga tidak jarang hakim hanya sebagai corong undang-undang. Namun demikian, penerapan secara mutlak terhadap sistem tersebut tentunya akan sangat merugikan masyarakat, sebab hukum yang ada dibuat oleh manusia yang tentunya tidak akan sempurna. Perkembangan masyarakat akan menjadi permasalahan yang cuku besar manakala hakim hanya bertindak sebagai corong undang-undang.
Penemuan hukum merupakan salah satu hal yang dapat membantu perkembangan hukum, terlebih dalam suatu sistem hukum eropa kontinental/civil law yang sumber hukum formilnya berasal dari peraturan perundang-undangan. Tidak jarang peraturan perundang-undangan yang telah berlaku tersebut, ketika diterapkankan dalam kehidupan sehari-hari, ternyata terdapat kekosongan hukum atau ketidakjelasan. Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan penemuan hukum menjadi sangat penting untuk perkembangan hukum.
Sebagaimana diketahui, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU 48/2009”) menyatakan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Sedangkan dalam Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009 sendiri mengatur:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar unutk mengadili”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hakim dilarang untuk menolak perkara namun dalam memutusnya juga harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau hukum tak tertulis yang berlaku.
Hal tersebut tentunya menuntut hakim untuk tahu hukum yang berkaitan erat dengan prinsip Curia Novit Jus. Prinsip Curia Novit Jus sendiri merupakan prinsip dimana hakim dianggap mengetahui semua hukum. Oleh karena itu, di dalam penegakan hukum Indonesia yang dominan menggunakan sistem hukum civil law, secara tidak langsung hakim dituntut untuk dapat melakukan penemuan hukum atau rechsvinding, guna perkembangan dan kemajuan penegakan hukum serta memenuhi rasa adil di masyarakat.
Sumber-Sumber Penemuan Hukum
Penemuan hukum tentunya tidak dapat dilakukan secara serampangan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, terlebih oleh seorang hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal-hal yang harus dipertimbangkan diantaranya adalah tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Di sisi lain, hakim juga harus mempertimbangkan teori-teori hukum terkait perkara yang sedang diperiksanya.
Penemuan hukum oleh hakim salah satunya dapat dilakukan dengan mendasarkan pada sumber-sumber hukum yang ada yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, sumber hukum tidak tertulis/kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, dan traktat. Dalam melakukan penemuan hukum tersebut, hakim dapat menggunakan logika hukum atau argumentasi hukum sebagai dasar untuk mencapai tujuan hukum.
Penemuan Hukum Sebagai Dasar Hukum
Penemuan hukum atau rechsvinding oleh hakim yang pada umumnya kemudian menjadi yurisprudensi, memang memiliki konsep yang berbeda dengan preseden yang berlaku di common law. Preseden harus dan wajib diikuti oleh hakim selanjutnya dalam perkara yang memiliki karakteristik sama, namun yurisprudensi tidak wajib diikuti oleh hakim-hakim lainnya.
Meski demikian, sebagaimana diketahui bahwasanya yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum materiil yang dapat digunakan. Oleh karena itu, yurisprudensi yang berasal dari penemuan hukum atau rechsvinding dapat menjadi salah satu sumber atau dasar hukum.
Beberapa yurisprudensi yang berasal dari penemuan hukum atau rechsvinding yang juga telah dijadikan yurisprudensi tetap oleh Mahkamah Agung diantaranya adalah tentang pemutusan perjanjian secara sepihak. Sebagaimana kita ketahui, suatu sengketa yang berasal dari perjanjian adalah termasuk sebagai sengketa wanprestasi. Namun demikian, berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pdt/2018, sengketa yang timbul karena pemutusan perjanjian secara sepihak, meskipun sifatnya adalah perjanjian, namun masuk sebagai sengketa perbuatan melanggar hukum. Yurisprudensi tersebut kemudian menjadi rujukan bagi para hakim, praktisi, serta para pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Mengenai Kedudukan Alat Bukti...
Pajak Hadiah

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.