Pencabutan Tap MPR Untuk Para Mantan Presiden

Pencabutan TAP MPR
Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar adanya pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut “TAP MPR”) oleh MPR sendiri. Pencabutan tersebut menarik perhatian masyarakat karena dianggap untuk memperbaiki nama para mantan presiden hingga diduga berpotensi untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan mantan presiden. Terdapat 3 TAP MPR yang dibatalkan, yaitu TAP MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967, TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, dan TAP MPR Nomor II/MPR/2001.
Pencabutan TAP MPR XXXIII/MPRS/1967
Isi dari TAP MPR XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara Dari Presiden Sukarno:[1]
“Menimbang:
- Bahwa keseluruhan Pidato Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul “Nawaksara” dan Surat Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tertanggal 10 Januari No. 01/Pers/1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, sementara pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungan-jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan aklak;
- Bahwa Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti yang dinyatakannya dalam Pengumuman Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tanggal 20 Pebruari 1967;
- Bahwa berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembang Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 dalam suratnya No. R-032/67 tanggal 1 Pebruari 1967, yang dilengkapi dengan pidato laporannya di hadapan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara berpendapat, bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI.”
Bab I
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konsitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 2
Menyatakan, bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat menjalankan Haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawatan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 3
Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera dari Presiden Sukarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.
Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepaa Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).
Bab II
Pasal 6
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakuakn menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.
Bab III
Pasal 7
Ketetpan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai daya laku surut mulai pada tanggal 22 Februaru 1967
Penetapan TAP MPR tersebut dilakukan pada tanggal 12 Maret 1967
Pencabutan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme memberikan isi yang pada pokonya adalah sebagai berikut:[2]
“Pasal 1
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia berketetapan untuk memfungsikan secara proporsional dan benar Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Kepresidenan, dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, sehingga penyelenggaraan negara berlangsung sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 2
- Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara
- Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
Pasal 3
- Untuk menghindarkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelanggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
- Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakuakn oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
- Upaya pemberantasan tindak pidan akorupsi dilakuakn secar tegas dengan melaskanakn secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.
Pasal 4
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakuakn seccara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, Menteri pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tiak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan ini diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Pasal 6
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”
Pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001
Isi dari TAP MPR Nomor II/MPR/2001 adalah sebagai berikut:[3]
“Memutuskan
Menetapkan: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Pasal 1
Ketidakhadiran dan penolakan Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001, sungguh-sungguh melanggar Haluan negara.
Pasal 2
Memberhentikan K.H., Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia”
Pencabutan TAP MPR
Jika mencermati secara teliti tiga TAP MPR di atas, maka kesemuanya merupakan alasan untuk penurunan seorang Presiden. Presiden Soekarno dianggap membela PKI, Presiden Soharto diduga melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, sedangkan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dinyatakan tidak mau memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyaratan Rakyat. Terlepas dari isu dan kepentingan politik yang ada, maka dalam hal ini kita akan membahas tentang penmbatalan TAP MPR berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada era orde baru merupakan peraturan tertinggi setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penetapan tersebut juga berfungsi untuk mengangkat atau menurunkan Presiden, sebab Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri merupakan Lembaga Tertinggi dan dianggap sebagai kuasa rakyat.
Era Orde Baru berakhir, Reformasi akhirnya melakukan beberapa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi memosisikan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi. Presiden pun tidak dipilih dan diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan dipilih langsung oleh Rakyat. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun terbit dan menghilangkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari susunan peraturan perundang-undangan.
Setelah 8 (delapan) tahun berlalu, akhirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut “UU 12/2011”). Pasal 7 UU 12/2011 mengubah kembali susunan dan hierarki peraturan perundang-undangan menjadi sebagai berikut:
“a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Berbeda dengan Undang-Undang yang pengujiannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dan juga dapat dicabut sendiri oleh DPR/DPD dengan undang-undang lainnya, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak diatur tentang pencabutannya dalam UU 12/2011. Oleh karena itu, pada dasarnya pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat dilakukan sendiri oleh lembaga tersebut.
Berdasar uraian tersebut di atas, maka pencabutan TAP MPR yang telah dilakukan yang berkaitan dengan Mantan Presiden Soekarno, Mantan Presiden Soeharto, dan Mantan Presiden Abdul Rahman Wahid pun memang menjadi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mencabutnya. Dengan demikian, tidak ada permasalahan secara hukum terhadap pencabutan tersebut.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Baca juga:
Upaya Pembatalan Peraturan Perundang-undangan
Tonton juga:
[1] https://www.scribd.com/doc/112387255/Tap-MPRS-No-33-th-1967, diakses pada tanggal 10 Oktober 2024
[2] https://jdih.sumselprov.go.id/storage/userfiles/260420192042_TAPMPR_NO_XIMPR1998_1998.PDF diakses pada tanggal 10 Oktober 2024
[3] https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20240926120508-561-1148582/isi-tap-mpr-nomor-ii-tahun-2001-tentang-gus-dur-yang-dicabut
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanApa itu Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian?
Rekomendasi Film Tentang Hakim, Ada 5 yang Wajib Ditonton...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.