Penanggulangan Kasus Aliran Sesat Dalam Hukum Positif Indonesia

Aliran sesat merupakan salah satu fenomena sosial yang kerap mewarnai kehidupan beragama bangsa Indonesia. Eksistensinya telah menyita perhatian publik dan tidak sedikit pula yang mengundang perdebatan di tengah masyarakat. Aliran sesat pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai ajaran atau aktivitas yang menyimpang dari norma-norma agama yang berlaku secara universal. Aliran sesat di Indonesia memiliki sejarah panjang, ada beberapa faktor yang mempengaruhi seperti kejahilan atau ketidaktahuan tentang ajaran Islam yang benar, faktor adaptasi yang tidak tepat antara ajaran Islam dan kepercayaan lokal, mistisisme dan ajaran kebatinan, faktor tipu daya jin dan setan, faktor ekonomi, psikologis, dan faktor sosial politik.[1]

Munculnya ajaran atau aliran yang menyimpang (khususnya dari agama islam) telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan menimbulkan sikap gelisah dari masyarakat terhadap kelompok yang dianggap mengajarkan aliran sesat ini. Selain itu, sejumlah aliran sesat terkadang juga menawarkan aturan yang meringankan pengikutnya berupa pengurangan kewajiban-kewajiban yang selama ini berlaku di agama konvensional. Penanganan kasus aliran sesat di Indonesia adalah upaya menerapkan hukum negara Indonesia yang telah ada dan mekanisme penyelesaiannya.

Selama ini kaidah hukum yang digunakan untuk menanggulangi permasalahan aliran sesat adalah Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana perintah Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (Penpres 1/PNPS/1965) yang berbunyi sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maksud ketentuan Pasal 156a KUHP tersebut adalah untuk melindungi ketenteraman beragama dari penodaan atau penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Frasa ”mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” dimaksudkan agar tindakan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaaan terhadap suatu agama dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. Sementara, Pasal 156a Huruf a KUHP dimaknai sebagai niat untuk memusuhi atau menghina suatu agama. Lebih lanjut, Pasal 156a Huruf b KUHP dimaknai bahwa orang yang melakukan tindakan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaaan, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya telah menghianati sila pertama dari negara yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana aliran sesat adalah pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Menurut Mahendratta, rumusan tersebut sudah saatnya direvisi dengan rumusan sanksi pidana yang lebih berat sehingga dapat menimbulkan efek jera dan meredam maraknya aliran-aliran sesat.[2] Negara seharusnya tidak ragu-ragu dalam menindak aliran sesat dan para penganutnya dengan tindakan tegas. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, akan tetapi negara sama sekali tidak membenarkan kebebasan menodai agama.

Keberadaan Pasal 156a KUHP dan Penpres 1/PNPS/1965 tidak dalam rangka untuk membatasi kebebasan beragama seseorang, melainkan untuk menjamin pemeluk suatu agama agar dapat menjalankan ajaran-ajaran murni agamanya, terhindar dari penistaan atau penodaan melalui penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Penyelesaian terhadap tindak pidana aliran sesat menurut Penpres 1/PNPS/1965 merupakan kewenangan 3 (tiga) kementerian yakni Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Apabila aliran sesat dilakukan oleh organisasi atau badan, Presiden dapat membubarkan organisasi tersebut berdasarkan pertimbangan Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, pengurus organisasi dan anggota yang bersangkutan dapat dipidana.[3]

Secara teknisnya, aparat Kepolisian yang telah menerima laporan adanya aliran sesat langsung meneruskan kasusnya ke Kejaksaan. Lalu Kejaksaan membawa permasalahan tersebut ke Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (BAKORPAKEM). Di sana, BAKORPAKEM memperhatikan pandangan dan pendapat para ulama atau ahli agama (MUI, DGI, MAWI, WALUBI, PDHI, dan Matakin). Setelah itu, permasalahan tersebut dibawa ke forum dan pendapat Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Apabila sebuah aliran itu dipastikan sesat, maka akan dikeluarkan peringatan keras lewat Surat Keputusan Bersama 3 (tiga) Menteri atau Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi. Jika setelah dikeluarkannya SKB aliran tersebut masih tetap tidak mengindahkan, maka penganutnya bisa dituntut dengan Pasal 156a KUHP yang hukumannya maksimal 5 tahun dan organisasinya dapat dibubarkan oleh Presiden.[4]

Kasus aliran sesat yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya adalah kasus Paruru Daeng Tau, warga asal Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang merupakan pimpinan organisasi Lembaga Pelaksana Amanah Adat dan Pancasila (LPAAP) di Tana Toraja. Organisasi tersebut mengajarkan bahwa shalat, puasa, zakat, dan haji yang menjadi kewajiban umat Islam bukanlah kewajiban bagi pengikut LPAAP, dan Pengikut LPAAP cukup sembahyang dua kali sehari. Atas tindakannya, pada tahun 2020 lalu, Ia ditangkap karena telah melanggar Pasal 156a KUHP. Selain itu, kasus serupa pernah terjadi di Mataram yang dilakukan oleh seorang warga berinisial SA karena menyebarkan ajaran sesat.[5]

Dengan demikian dapat diketahui bahwa aliran sesat masih sering terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan dari beberapa faktor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila dilihat dari kebijakan hukum pidana, perlu adanya pengkajian dan pembentukan peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur terkait dengan aliran sesat atau kebebasan beragama di Indonesia.

 

 

Penulis: Rizky. P. J, S.H

Editor: R. Putri. J, S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna. R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Abdul Hamid Ritonga, Kajian dan Penelitian Fatwa-Fatwa MUI Tentang Aliran Sesat, CV Manhaji, Medan, 2020, halaman 5

[2] Sergio, Ticoalu, Kajian Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015, halaman 110

[3] Pasal 2 dan 3 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama

[4] Muchammad Ichsan & Nanik Prasetyoningsih, Penyelesaian Aliran Sesat Di Indonesia Dari Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Media Hukum, Vol 19 Nomor 2, Mei 2012 halaman 177

[5] Rachmawati, 5 Kasus Aliran Sesat dan Mengaku Nabi di Tanah Air, Klaim Setara Yesus hingga Nabi Terakhir, https://regional.kompas.com/read/2020/01/21/06380041/5-kasus-aliran-sesat-dan-mengaku-nabi-di-tanah-air-klaim-setara-yesus-hingga?page=all.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.