Penahanan Barang Untuk Pemeriksaan Bea Cukai

Dasar Hukum Penahanan Barang Di Bea Cukai

Penahanan barang oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merupakan salah satu instrumen pengawasan kepabeanan yang memiliki dasar hukum kuat dalam sistem hukum nasional. Kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (selanjutnya disebut ”UU 10/1995”), yang menetapkan bahwa pejabat bea dan cukai berhak melakukan pemeriksaan, penyegelan, dan penahanan terhadap barang serta sarana pengangkut yang berada di bawah pengawasan pabean.[1] Pasal 74 dan Pasal 78 UU 10/1995 menjelaskan bahwa pejabat berwenang mengunci, menyegel, atau menandai barang impor yang belum menyelesaikan kewajiban pabean maupun barang ekspor yang masih dalam pengawasan negara. Dengan demikian, tegas bahwa fungsi DJBC tidak hanya sebagai pemungut bea masuk, tetapi juga sebagai pengawas arus keluar-masuk barang yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum, pelarian devisa, atau penyelundupan.

Selain dasar hukum dalam undang-undang, ketentuan operasional mengenai tata cara penindakan terhadap barang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan (selanjutnya disebut “PP 21/1996”). Dalam Pasal 2 ayat (2) PP 21/1996, peraturan ini menjabarkan bentuk-bentuk penindakan seperti penghentian sarana pengangkut, pemeriksaan barang dan dokumen, serta penegahan terhadap barang atau sarana pengangkut yang dicurigai melanggar ketentuan kepabeanan.[2] Barang yang dikenai tindakan penegahan akan berada di bawah penguasaan negara dan disimpan di Tempat Penimbunan Pabean sebagaimana diatur dalam Pasal 10 PP 21/1996, sementara pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 PP 21/1996.

Selanjutnya, pelaksanaan teknis penyelesaian terhadap barang yang tertahan diatur melalui beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang lebih spesifik. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178 Tahun 2019 tentang Penyelesaian terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik Negara (selanjutnya disebut “PMK 178/2019”) yang mengatur mekanisme penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara, termasuk opsi pelelangan dan penghapusan. Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102 Tahun 2019 Tentang Ekspor dan Kembali Barang Impor (selanjutnya disebut “PMK 102/2019”) memberikan ketentuan mengenai ekspor kembali terhadap barang impor yang tidak diambil pemiliknya, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.04/2020 Tentang Pengawasan terhadap Impor atau Ekspor Barang Larangan dan/ atau Pembatasan (selanjutnya disebut “PMK 141/2020”) mengatur larangan dan pembatasan impor (larangan dan pembatasan/lartas) yang dapat menjadi dasar hukum penahanan barang.

 

Alasan Barang Ditahan Oleh Bea Cukai

Jika merujuk pada sistem kepabeanan di Indonesia, salah satu alasan utama barang ditahan adalah karena barang tersebut termasuk dalam kategori larangan dan pembatasan (lartas) yang tidak memenuhi ketentuan impor atau ekspor sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU 10/1995 (selanjutnya disebut “UU 17/2006”). Pasal 53 ayat (1) sampai dengan (4) UU 17/2006 menyebutkan bahwa barang impor atau ekspor yang dilarang atau dibatasi dan tidak memenuhi persyaratan dapat dikenai tindakan berupa pembatalan ekspor, perintah ekspor kembali, atau pemusnahan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai.[3]

Selain karena pelanggaran terhadap ketentuan lartas, penahanan barang juga dapat dilakukan apabila terdapat indikasi pelanggaran terhadap kewajiban pabean, seperti ketidaksesuaian antara dokumen dan barang, ketidakterpenuhinya pemberitahuan pabean, atau dugaan pelanggaran terhadap prosedur pengawasan kepabeanan.[4] Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) PP 21/1996 yang menyebutkan bahwa tindakan penindakan dapat meliputi penghentian sarana pengangkut, pemeriksaan terhadap barang, serta penegahan dan penyegelan.

Di samping itu, alasan penahanan barang juga dapat dikaitkan dengan perlindungan kepentingan fiskal dan keamanan nasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 78 UU 17/2006, pejabat bea dan cukai memiliki kewenangan untuk mengunci, menyegel, dan memberi tanda pada barang-barang yang berada di bawah pengawasan pabean guna memastikan tidak adanya pelanggaran yang dapat merugikan negara. Hal ini selaras dengan fungsi DJBC sebagai institusi yang tidak hanya berperan dalam pemungutan penerimaan negara, tetapi juga dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah penyelundupan barang berisiko tinggi. Dalam praktiknya, penahanan barang sering kali dilakukan terhadap kiriman pos, barang impor pribadi, atau komoditas tertentu yang tidak disertai dokumen pendukung sah, sebagaimana sering disampaikan oleh pihak DJBC dalam laporan publiknya.

 

Alasan Barang Tidak Dapat Keluar Dan Akibatnya

Salah satu alasan barang tidak dapat keluar dari kawasan pabean atau pelabuhan ekspor berkaitan erat dengan pemenuhan kewajiban pabean, ketentuan larangan dan pembatasan (lartas), serta kepatuhan dokumen ekspor. Pasal 10A dan Pasal 53 UU 17/2006 mengatur bahwa setiap barang yang akan diekspor wajib disertai pemberitahuan pabean, dan barang yang termasuk kategori dilarang atau dibatasi tidak dapat dikeluarkan sebelum memenuhi persyaratan dari instansi teknis terkait. Kegagalan memenuhi persyaratan administratif seperti tidak lengkapnya dokumen ekspor, kesalahan klasifikasi HS Code, atau perbedaan data antara shipping instruction dan manifest ekspor sering menjadi penyebab utama penundaan atau penahanan barang oleh pejabat bea dan cukai. Hal ini berkaitan langsung dengan fungsi pengawasan negara untuk memastikan tidak adanya potensi pelanggaran terhadap hukum perdagangan internasional, termasuk perlindungan terhadap barang yang mengandung risiko bagi keamanan nasional.

Selain alasan administratif, faktor kepatuhan dan legalitas asal barang juga menjadi penyebab utama barang tidak dapat keluar dari wilayah kepabeanan. Kesalahan administratif atau ketidaksengajaan dalam pengisian dokumen kepabeanan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berupa pembatalan ekspor atau penahanan barang sampai dilakukan klarifikasi.[5] Dalam konteks hukum, hal ini sejalan dengan PP 21/1996 yang memberi kewenangan kepada pejabat bea cukai untuk melakukan penegahan barang apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan ekspor atau bukti indikatif penyelundupan. Penegahan tersebut merupakan bentuk tindakan administratif sementara sampai dengan adanya keputusan penyelesaian hukum, dan dapat berlanjut menjadi status “barang dikuasai negara” jika tidak segera diurus oleh eksportir sesuai PMK 178/2019.

Akibat dari tidak keluarnya barang dari kawasan pabean dapat bersifat ekonomi, hukum, dan reputasional. Secara ekonomi, penahanan barang menyebabkan biaya logistik meningkat akibat penumpukan di pelabuhan serta demurrage charges yang harus ditanggung eksportir. Secara hukum, eksportir dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda atau pencabutan izin kepabeanan apabila terbukti lalai atau melanggar ketentuan ekspor. Selain itu penundaan proses ekspor dapat berimplikasi pada kerugian negara akibat tidak tercapainya target devisa ekspor dan potensi sengketa hukum dengan pelaku usaha.

 

Penulis: Nabilah Hanifatuzzakiyah, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

 

Daftar Pustaka

Ayun, Q., & Ratna, D. I. H. (2024). Legal liability of inadvertent customs documents by customs in export business. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Simbur Cahaya, 31(1).

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93.

 

[1] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

[2] Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan

[3] Pasal 53 Ayat (1) – (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

[4] Penjelasan Pasal 8 Angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1996 Tentang

Penindakan Di Bidang Kepabeanan

[5] Qurrota Ayun & Dwi Ratna I.H.,  2024, “Legal Liability Of Inadvertent Customs Documents By Customs In Export Business”. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Simbur Cahaya, Vol. 31, No. 1, hlm. 44.

 

Baca juga:

Alat Belajar SLB yang Tertahan Bea Cukai Sejak 2022: Wewenang Bea Cukai Menahan Barang Masuk

Fatimah Zahratunnisa Diminta 4 Juta Oleh Bea Cukai Karena Kiriman Piala

Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Bea dan Cukai

DHL Salah Lapor Nilai Barang Impor Berujung Denda: Tata Cara Lapor Nilai Barang Impor

1 Ton Milk Bun Thailand Dimusnahkan: Perhatikan Batas Jumlah Makanan yang Dapat Dibawa Wisatawan Dari Luar Negeri

Batas Oleh-Oleh Dari Luar Negeri

Kekuatan Teritorial

Undang-Undang Perizinan Kapal Laut Negara Asing yang Ingin Masuk Indonesia

 

Tonton juga:

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.