Pemerkosaan Terhadap Istri
Pemerkosaan dalam rumah tangga dikenal dengan istilah marital rape. Marital rape terjadi karena adanya hubungan perkawinan suami istri. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagimana ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pasal 33 UU Perkawinan menyatakan bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka salah satu tujuan perkawinan yaitu menghalalkan hubungan suami istri baik untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun untuk memperolah keturunan yang sah. Namun, dalam prakteknya seringkali terjadi pemaksaan yang dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan biologis atau dikenal dengan pemerkoasaan dalam rumah tanggal atau marital rape.
Pada dasarnya di Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai pemerkosaan dalam rumah tangga khususnya kepada Istri. Namun, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU KDRT). Pasal 5 UU KDRT menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:
- Kekerasan fisik;
- Kekerasan psikis;
- Kekerasan seksual; atau
- Penelantaran rumah tangga.
Marital rape termasuk dalam bagian kekerasan seksual sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 UU KDRT yang menyatakan sebagai berikut:
“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”
Dalam penjabaran Pasal 8 UU KDRT tersebut, yang termasuk dalam marital rape adalah ketentuan dalam Pasal 8 huruf a UU KDRT. Lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU KDRT dijelaskan dalam ketentuan Pasal 2 UU KDRT yaitu:
- Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
- Suami, istri dan anak;
- Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
- Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
- Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai aggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan
Selanjutnya, sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 8 huruf a UU KDRT diatur dalam ketentuan Pasal 46 UU KDRT yang menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Seseorang dapat dikenakan pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 46 UU KDRT apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Adanya subjek hukum;
- Melakukan perbuatan kekerasan seksual;
- Perbuatan kekerasan seksual tersebut berupa pemaksaan hubungan seksual;
- Perbuatan tersebut dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
Contoh kasus dalam marital rape ini yaitu kasus yang terjadi kepada SW sebagai istri dari HA. Dalam kasus tersebut, terjadi pertengkaran rumah tangga hingga sejak bulan Januari 2011 SW pulang ke rumah orangtuanya. Kemudian, pada hari Rabu tanggal 20 Juli ketika SW pulang kerja dihadang oleh suaminya, lalu menyuruh SW naik ke atas sepeda motor yang dikendarai HA. SW menolak hal tersebut, tetapi terdakwa mengancamnya sehingga SW terpaksa mengikuti perintah HA. Kemudian, HA membawa SW ke daerah hutan bertebing dan mengajak melakukan persetubuhan, namun SW menolaknya. Penolakan tersebut membuat HA marah dan langsung menyeret dan memaksa bersetubuh SW. Perbuatan HA tersebut kemudian dilaporkan oleh SW ke Polres setempat. Atas perbuatan yang dilakukan HA terhadap Istrinya, ia kemudian dijatuhi sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 46 UU KDRT yaitu pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan sebagaiamana Putusan Nomor 912/Pid.B/2011/PN.Bgl.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.