Pemeriksaan Alat Bukti Elektronik

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah paradigma manusia dalam berkomunikasi yang ditandai dengan maraknya penggunaan sarana teknologi interconnected network (internet) atau media elektronik lainnya.[1] Perkembangan teknologi ini juga berpengaruh terhadap pembuktian suatu perkara di pengadilan. Terkait dengan hukum pembuktian, diperlukan adanya pengakuan hukum terhadap berbagai jenis-jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.[2] Alat bukti dalam praktik peradilan dibedakan antara alat bukti dalam perkara pidana dan alat bukti dalam perkara perdata. Alat bukti dalam perkara pidana mengacu pada aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), sedangkan dalam perkara perdata berpedoman kepada HIR, RBG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer).[3] Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan macam-macam alat bukti yang sah dalam hukum pidana dan Pasal 1866 KUHPer/Pasal 164 HIR yang menyebutkan macam-macam alat bukti yang sah dalam hukum perdata, tidak ditemukan adanya pengakuan terhadap alat bukti elektronik. Namun, seiring dengan perkembangannya keberadaan alat bukti elektronik diakui adalam pembuktian di persidangan baik dalam perkara pidana, perdata maupun perkara lainnya.[4]

Di Indonesia, bukti elektronik diperkenalkan pada 2001 dengan munculnya bukti elektronik dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[5] Sejak saat itu hampir seluruh undang-undang yang di dalamnya mengatur hukum acara juga memuat aturan yang mengakui dapat digunakannya bukti elektronik sebagai bukti dalam persidangan, terlebih dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).[6] Pasal 5 UU ITE menyatakan sebagai berikut:

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;
  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;
  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini;
  • Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
  1. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
  2. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dikatakan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik. Kemudian khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU ITE.

Pembuktian secara elektronik dilakukan melalui pemeriksaan terhadap bukti elektronik untuk menjamin integritasnya. Salah satu yang dapat menjamin integritas bukti elektronik tersebut yaitu dengan cara diperiksa dengan prosedur yang benar.[7] Namun, saat ini tidak ada prosedur pemeriksaan bukti elektronik yang berlaku secara umum di Indonesia, seperti prosedur pemeriksaan bukti elektronik yang dikeluarkan oleh National Institute of Justice, Office of Justice Programs, U.S. Departement of Justice, dan berlaku secara umum di Amerika Serikat, atau Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence, Association of Chief Police (ACPO) yang berlaku umum di Inggris. Sedangkan di Indonesia, dalam prakteknya prosedur pemeriksaan bukti elektronik diserahkan kepada masing-masing lembaga yang memeriksa bukti elektronik, sehingga menyebabkan perbedaan prosedur yang dimiliki oleh setiap lembaga serta dapat menyulitkan Hakim dalam melihat apakah sebuah bukti elektronik telah diperiksa dengan prosedur yang tepat.[8]

Kemudian, dalam proses persidangan juga tidak ditemukan aturan yang mengatur mengenai bagaimana cara menampilkan bukti elektronik dalam persidangan.[9] Hal ini menyebabkan cara menampilkan bukti berbeda-beda, beberapa pihak menghadirkan hasil cetak bukti elektronik, namun terdapat beberapa pihak yang lain dengan menghadirkan perangkat pembawa bukti elektronik dan menunjukkan data secara langsung. Tidak adanya aturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum mengenai bagaimana seharusnya bukti elektronik ditampilkan di persidangan untuk menjamin integritas bukti elektronik tersebut, karena dikhawatirkan cara dalam menampilkan bukti elektronik dapat merusak bukti elektronik itu sendiri. Misal, hasil cetakan bukti elektronik sedikit buram sehingga terjadi beberapa perubahan atau hal yang dimungkinkan tidak terlihat seperti aslinya. Berdasarkan atas uraian tersebut, maka untuk saat ini Indonesia memerlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara baku dalam melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti elektronik.

[1] Happy Try Sulistiyono, Prosedur Autentifikasi Alat Bukti Elektronik Pada Pemeriksaan Persidangan, https://www.pn-sumedang.go.id/gambar/files/PROSEDUR%20AUTENTIFIKASI%20ALAT%20BUKTI%20ELEKTRONIK%20PADA%20PEMERIKSAAN%20PERSIDANGAN.pdf diakses pada tanggal 27 Mei 2021 pukul 10:17 WIB.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Komisi Pemberantasan Korupsi, Bukti Elektronik di Indonesia, https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2020/07/Pengaturan-Tentang-Perolehan-Pemeriksaan-Dan-Pengelolaan-Bukti-Elektronik-Electronic-Evidence.pdf diakses pada tanggal 27 Mei 2021 pukul 11:02 WIB.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid, hal. 8.

[8] Ibid, hal. 9.

[9] Ibid, hal. 13.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.