Pembuktian Perjanjian Lisan

Perjanjian merupakan salah satu hubungan hukum yang sering dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPer yang terdiri dari syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif meliputi kecakapan dan kesepakatan para pihak, sedangkan syarat obyektif yaitu adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam Pasal 1320 KUHPer sebagai Pasal yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian tidak menyebutkan bahwa perjanjian harus dalam bentuk tertulis atau tidak, sehingga bentuk perjanjian tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu perjanjian. Dalam pasal 1338 KUHPer juga terdapat asas kebebasan berkontrak, sebagaimana referensi dalam buku yang berjudul “Hukum Kontrak” hal. 82 oleh DR. Muhammad Syaifuddin, S.H.,M.Hum, salah satu kebebasan yang dimaksud dalam asas kebebasan berkontrak yaitu kebebasan untuk menentukan bentuk suatu kontrak. Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian dapat dilakukan baik secara tertulis atau secara lisan.

Perjanjian sebagai bentuk hubungan satu orang dengan orang yang lain, tidak menjamin semua pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Hal ini tidak menutup kemungkinan jika salah satu pihak dapat berbuat cidera janji atau dalam istilah hukum dikenal dengan wanprestasi. Tidak dilaksanakannya janji atau wanprestasi tentu dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak lain, sehingga pihak lain yang dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban atas kerugian tersebut. Permintaan pertanggungjawaban oleh pihak lain tersebut juga dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Dalam sebuah gugatan tentu harus disertai dengan alat bukti. Alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri dari 5 (lima) macam sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1866 KUHPer dan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement yang meliputi :

  1. Bukti tertulis;
  2. Bukti Saksi;
  3. Persangkaan;
  4. Pengakuan; dan
  5. Sumpah.

Untuk membuktikan adanya wanprestasi maka harus menyertakan alat bukti untuk memperkuat posisi penggugat.

Terhadap perjanjian yang dilakukan secara tertulis, maka perjanjian itu sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu bukti. Namun, untuk pembuktian terhadap perjanjian yang dilakukan secara lisan maka pihak yang melakukan perjanjian tidak dapat menyerahkan bukti perjanjian secara gamblang seperti halnya perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Oleh karena itu, maka wanprestasi yang dilakukan oleh tergugat harus dibuktikan melalui alat bukti yang lain yaitu melalui bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam pembuktian melalui saksi dikenal dengan asas unus testis nullus testis yang artinya bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk melakukan pembuktian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1905 KUHPer yang menyatakan :

“ keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya”

Berdasarkan hal tersebut, menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata” hal. 730 hanya dengan 1 (satu) orang saksi saja tidak memenuhi batas minimal pembuktian, sehingga agar sah sebagai alat bukti, maka harus ditambah dengan suatu alat bukti yang lain. Sedangkan terhadap bukti persangkaan, pengakuan dan sumpah, harus berdasarkan atas keterlibatan tergugat yang dapat dimungkinkan bahwa tergugat memberikan keterangan bohong, sehingga melemahkan posisi penggugat. Oleh karena itu, dalam melakukan suatu perjanjian lebih baik dilaksanakan secara tertulis untuk mempermudah pembuktian jika terjadi wanprestasi.

Salah satu contoh kasus wanprestasi dalam perjanjian tertulis yaitu kasus antara Ary Kalista dan Subagyo dengan nomor perkara 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk juncto Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 113/Pdt/2015/PT.Yyk juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 1065 K/Pdt/2017. Dalam kasus tersebut Subagyo dan Ary Kalista menjalin hubungan asmara sejak 2011. Dengan didasari rasa sayang dan hubungan serius diantara keduanya maka Subagyo membelikan tanah 3 (tiga) petak atas nama Ary Kalista untuk membuka sebuah usaha salon kecantikan. Sebelumnya telah dilakukan perjanjian secara lisan antara Subagyo dan Ary Kalista bahwa tanah tersebut akan dijadikan sebagai seserahan dalam pernikahannya nanti. Namun, seiring dengan berjalannya waktu hubungan asmara diantara keduanya kandas, lantaran Ary Kalista menikah dengan laki-laki lain. Berdasarkan kejadian tersebut, Subagyo meminta Ary Kalista mengembalikan tanah 3 (tiga) petak yang dibeli oleh Subagyo sesuai dengan perjanjian yang dilakukan, akan tetapi Ary Kalista tidak menyerahkannya, sehingga Subagyo mengajukan gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam gugatannya Subagyo menyertakan bukti saksi karena perjanjian yang dilakukannya dengan Ary Kalista hanyalah perjanjian lisan. Putusan atas perkara tersebut yaitu Ary Kalista dinyatakan melakukan wanprestasi dengan pertimbangan hakim yang menyatakan hal sebagai berikut :

“Menimbang, bahwa sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara: a.Tertulis, b.Lisan, c.Diam-diam, d.Simbol-simbol tertentu.Oleh karena itu perjanjian lisan merupakan perjanjian yang sah karena memenuhi unsur kata sepakat yang terdapat dalam rumusan Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga para pihak yang mengadakan perjanjian secara lisan diwajibkan melaksanakan prestasi dari apa yang telah disepakati, seperti yang terdapat didalam Pasal 1234KUHPerdata yang menyebutkan: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apabila ada pihak yang tidak melakukan prestasi tersebut maka ia telah melakukan wanprestasi;

Menimbang, bahwa sedangkan berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka telah ternyata ada kesepakatan lisan antara Penggugat dengan Tergugat dan Tergugat telah tidak melakukan apa yang disepakatinya dengan Penggugat atau Tergugat telah tidak memenuhi janjinya, sehinggaTergugat telah melakukan wanprestasi, maka petitum untuk menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi adalah beralasan hukum dan haruslah dikabulkan;”

serta dalam perkara tersebut diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 113/Pdt/2015/PT.Yyk dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1065 K/Pdt/2017 yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht)

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.