Pembubaran DPR Sebagai Salah Satu Dari 3 Lembaga Dalam Teori Trias Politica dan Akibat Hukumnya

Akhir Agustus ditutup dengan demo yang sungguh mengejutkan masyarakat, karena kericuhan dimana-mana. Adapun demo tersebut berawal mula dari ketidakpuasan masyarakat, terlebih dengan berita terkait tunjangan anggota DPR, yang membuat beberapa pendapat tentang pembubaran DPR bermunculan karena memberatkan anggaran negara yang sebagian besar berasal dari pajak rakyat, sedangkan di sisi lain pajak-pajak mulai naik. Menjadi pertanyaan, apa peran dan bagaimana akibatnya jika DPR yang merupakan salah satu lembaga berkuasa harus dibubarkan.

Kekuasaan dan Trias Politica

Setiap kali kata “kekuasaan” muncul, sering kali diasosiasikan secara eksklusif dengan ranah politik atau kenegaraan, konsep ini sebenarnya meresap ke dalam berbagai dimensi kehidupan sosial. Kekuasaan dapat diamati dalam dinamika interpersonal, seperti otoritas orang tua terhadap anak, guru terhadap murid, atau pemimpin organisasi terhadap anggotanya.[1] Secara umum, Kekuasaan dapat dipahami sebagai kemampuan untuk memanipulasi atau mengendalikan tindakan orang lain sehingga perilakunya merefleksikan keinginan dan tujuan dari pemegang kekuasaan.[2]

Kekuasaan yang seperti itu menurut Beeling memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1) Sifat fundamental yaitu selama manusia masih ada, maka kekuasaan yang akan selalu menjadi sarana untuk melaksanakan kehendaknya. 2) Sifat Abadi adalah Kekuasaan tidak akan pernah hilang. Kekuasaan akan tetap ada selama manusia itu ada. 3) Sifat Multiform Kekuasaan tidak hanya berada pada satu bidang kehidupan, tetapi dia ada dalam segala bidang kehidupan manusia, seperti kekuasaan majikan terhadap buruhnya, kekuasaan orangtua terhadap anaknya, dan lain sebagainya.[3]

Kekuasaan merupakan wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan lain sebagainya) sesuatu.[4] Dalam konteks ini, pemerintah melaksanakan kekuasaan atas dasar mandat yang diberikan oleh rakyat. Berdasarkan konsensus yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, rakyat telah menyerahkan wewenang kepada pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk memerintah, mewakili, dan mengurus urusan negara.

Jika pemahaman kekuasaan kita persempit hanya dalam konteks negara, Kekuasaan Politik merupakan bentuk kekuasaan yang secara spesifik berfokus pada ranah negara. Definisi ini mengacu pada kemampuan untuk memengaruhi kebijakan publik pemerintah, baik dalam pembentukannya maupun konsekuensi yang ditimbulkannya, agar sejalan dengan tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri.[5] Sehingga setiap negara mempunyai undang-undang dasar/konstitusi yang menjadi hal utama dan rujukan negara dalam menjalankan pemerintahan. Di dalamnya tercantum prinsip-prinsip penting mengenai bagaimana kekuasaan negara dibagi, bagaimana sistem politik dijalankan, serta bagaimana hak dan kewajiban warga negara dijamin. Indonesia sebagai negara hukum menegaskan prinsip pembagian kekuasaan tersebut secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi dasar konstitusional bagi terlaksananya pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.[6]

 

Trias Politica di Indonesia

Trias Politica berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, Trias Politica yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pokoknya kewenangan kekuasaan legislatif adalah membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang atau mengawasi pelaksanaan undang-undang,[7] yang kemudian diwujudkan melalui lembaga-lembaga negara yang bersifat independen serta memiliki kedudukan sejajar. Kesetaraan dan kemandirian antar lembaga tersebut menjadi syarat mutlak agar masing-masing dapat menjalankan fungsi pengawasan sekaligus pengendalian terhadap yang lain. Pemisahan kekuasaan ini, yang dikenal sebagai gagasan trias politica, merupakan konsep bahwa dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, kekuasaan tidak boleh terpusat pada satu orang atau kelompok tertentu, melainkan harus dibagi ke dalam unit-unit yang kuat namun bebas, sehingga potensi penyalahgunaan kewenangan dapat dicegah.[8]

Montesquieu melalui karyanya The Spirit of Laws (1748) memperkenalkan konsep Trias Politica, yakni gagasan bahwa kekuasaan negara sebaiknya dipisahkan dan ditempatkan pada lembaga-lembaga yang sejajar.[9] Gagasan Trias Politica lahir dari kesadaran bahwa kekuasaan yang terkumpul pada satu tangan mudah disalahgunakan. Karena itu, prinsip ini menegaskan perlunya membagi kekuasaan kepada beberapa pihak agar tercipta pengawasan yang seimbang dan terhindar dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.[10]

Gagasan mengenai pemisahan kekuasaan ini, pertama kali diperkenalkan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris. Dalam karyanya berjudul Two Treatises on Civil Government yang terbit pada tahun 1690, Locke mengajukan kritik tajam terhadap kekuasaan absolut para raja Stuart sekaligus memberikan legitimasi teoretis bagi Revolusi 1688 yang dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara idealnya dibagi ke dalam tiga bidang, yakni eksekutif, legislatif, dan federatif (hubungan luar negeri). Dalam pandangannya, kekuasaan kehakiman tidak perlu berdiri sebagai lembaga terpisah, melainkan dapat ditempatkan dalam lingkup eksekutif karena secara prinsip juga menjalankan undang-undang.[11]

Konsep Trias Politica yang lebih dikenal hingga kini diperkenalkan oleh Montesquieu pada tahun 1748 melalui karyanya The Spirit of Laws. Pemikiran ini lahir beberapa dekade setelah gagasan John Locke dan masih dipengaruhi oleh pandangan pendahulunya tersebut. Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan hukum antarnegara, sementara kekuasaan yudikatif ditempatkan secara khusus untuk menangani persoalan hukum perdata.[12] Menurut Montesquieu, kebebasan suatu negara hanya dapat terjamin apabila kekuasaan tidak terpusat pada satu penguasa, melainkan dibagi ke dalam tiga badan yang berdiri sendiri dan terpisah. Ia menegaskan bahwa jika kekuasaan eksekutif dan legislatif digabungkan dalam satu tangan, baik pada individu maupun lembaga, maka jaminan kemerdekaan akan hilang.[13]

Perbedaan mendasar antara pemikiran John Locke dan Montesquieu mengenai Trias Politica terletak pada kedudukan kekuasaan kehakiman. John Locke berpendapat bahwa kewenangan mengadili atau memutus perkara merupakan bagian dari eksekutif, sebab dianggap sebagai bagian dari fungsi pelaksanaan undang-undang. Sebaliknya, Montesquieu menegaskan bahwa peradilan harus berdiri sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan eksekutif maupun legislatif.[14]

Penerapan gagasan Montesquieu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tercermin dari adanya pemisahan kekuasaan peradilan yang berdiri sebagai lembaga mandiri. Meskipun demikian, konsep tersebut mengalami modifikasi, salah satunya terlihat pada kewenangan eksekutif, yakni Presiden, yang diberi hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, suatu hal yang sebenarnya tidak sejalan dengan pemikiran Montesquieu. Selain itu, Indonesia juga menambahkan satu lembaga baru, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang berfungsi sebagai lembaga eksaminatif dan menjadi bentuk pembagian kekuasaan tambahan di luar tiga pilar klasik Trias Politica.[15]

Dikarenakan Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, para ahli hukum sepakat bahwa salah satu ciri utama negara hukum adalah adanya mekanisme pembatasan kekuasaan. Pembatasan ini merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya negara hukum yang demokratis, sekaligus menjadi wujud nyata dari prinsip konstitusionalisme yang bertujuan melindungi hak-hak rakyat. Dalam konteks ketatanegaraan, salah satu bentuk pembatasan tersebut adalah penerapan gagasan Trias Politica, yakni pemisahan kekuasaan ke dalam dua atau lebih lembaga yang independen agar tidak terjadi pemusatan wewenang pada satu orang atau kelompok tertentu.[16]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia pada dasarnya menganut prinsip Trias Politica sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, meskipun penerapannya tidak dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi. Jika ditelaah lebih jauh, pembagian kekuasaan di Indonesia telah berjalan secara proporsional, yang tercermin dalam berfungsinya lembaga eksekutif (Presiden), legislatif (MPR, DPR, dan DPD), yudikatif (MA dan MK), serta eksaminatif (BPK). Pola pembagian kekuasaan ini bahkan sudah diterapkan sejak masa kemerdekaan, baik dalam sistem pemerintahan parlementer, presidensial, maupun demokrasi.[17] Montesquieu memiliki peran yang sangat signifikan dalam perkembangan gagasan konstitusionalisme modern. Pemikirannya mengenai pemisahan kekuasaan banyak memengaruhi sistem ketatanegaraan berbagai negara, khususnya di Barat. Prinsip tersebut kemudian diadopsi ke dalam hukum dan konstitusi mereka sebagai instrumen untuk menjaga keseimbangan kekuasaan sekaligus menjamin terciptanya keadilan.[18]

Penerapan teori Trias Politica dalam sistem pemerintahan Indonesia memegang peran fundamental dalam menegakkan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Walaupun dinamika politik Indonesia kerap diwarnai oleh tantangan serta perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan tetap menjadi fondasi utama bagi pembangunan demokrasi yang sehat. Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus senantiasa dipertahankan sebagai dasar dalam menghadapi kompleksitas sosial-politik. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai penerapan teori ini sangatlah penting untuk merancang masa depan pemerintahan Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan responsif terhadap kepentingan rakyat.[19]

 

Lembaga Negara

Istilah Lembaga Negara pertama kali muncul dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 mengenai Memorandum DPR-GR tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urusan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Dalam lampiran ketetapan tersebut digunakan istilah “Lembaga-Lembaga Negara Tertinggi” untuk menyebut lembaga-lembaga seperti MPR Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Dari ketentuan itu tampak bahwa pada awalnya penggunaan istilah Lembaga Negara masih terbatas pada lembaga-lembaga yang berkedudukan tertinggi. Selanjutnya, istilah ini berkembang lebih rinci dalam TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yang secara sederhana membedakan lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Tertinggi Negara.[20]

Menurut Jimly Asshiddiqie, organ atau lembaga negara di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga lapis berdasarkan hierarkinya. Lapis pertama adalah lembaga tinggi negara, yang mencakup Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, serta BPK. Lapis kedua disebut lembaga negara, yang terdiri dari menteri negara, TNI, Kepolisian, Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Bank Indonesia. Sedangkan lapis ketiga mencakup lembaga-lembaga yang kewenangannya bersumber dari peraturan di bawah undang-undang, seperti Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional, yang pada dasarnya dibentuk melalui keputusan Presiden. Selain ketiga lapis tersebut, terdapat pula lembaga-lembaga di tingkat daerah, seperti Pemerintah Provinsi dengan Gubernur dan DPRD, Pemerintah Kabupaten dengan Bupati dan DPRD, serta Pemerintah Kota dengan Wali Kota dan DPRD.[21]

Selanjutnya, dikenal adanya Lembaga Negara Independen yang lahir dari perkembangan teori organ kekuasaan (Trias Politica). Kehadiran lembaga ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa struktur Trias Politica tradisional tidak lagi memadai untuk menampung berbagai tugas negara yang semakin spesifik dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga baru yang memiliki tingkat independensi tinggi serta profesionalitas dalam pelaksanaannya. Pada dasarnya, lembaga-lembaga ini muncul untuk menjawab kebutuhan akan kemandirian operasional sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap lembaga negara yang telah ada, dengan memberikan mandat yang lebih fokus dan spesifik.[22] Jimmly Asshiddiqie mengelompokan Lembaga Negara Independen ini menjadi enam kelompok, yaitu:[23]

Kategori pertama menurut Jimly Asshiddiqie adalah Lembaga Tinggi Negara yang kedudukannya sederajat dan memiliki sifat independen. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam kelompok ini adalah: (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), (5) Mahkamah Konstitusi (MK), (6) Mahkamah Agung (MA), serta (7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kelompok kedua adalah Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang memiliki sifat independen berdasarkan konstitusi atau karena dianggap memiliki constitutional importance. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam kategori ini antara lain: (1) Komisi Yudisial, (2) Bank Indonesia, (3) Tentara Nasional Indonesia, (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (5) Komisi Pemilihan Umum, (6) Kejaksaan Agung,[24] (7) Komisi Pemberantasan Korupsi, serta (8) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.[25]

Kelompok ketiga adalah Lembaga-Lembaga Independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Lembaga dalam kategori ini antara lain: (1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), (2) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta (3) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Kelompok keempat mencakup Lembaga dan Komisi yang berada di lingkungan eksekutif, yakni berbagai lembaga, badan, pusat, komisi, atau dewan dengan fungsi khusus dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga tersebut meliputi: (1) Konsil Kedokteran Indonesia, (2) Komisi Pendidikan Nasional, (3) Dewan Pertahanan Nasional, (4) Lembaga Pertahanan Nasional, (5) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), (6) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), (7) Badan Pertahanan Nasional, (8) Badan Kepegawaian Negara (BKN), (9) Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan (10) Lembaga Informasi Nasional.

Pada kelompok kelima terdapat sejumlah Lembaga dan Komisi di bawah eksekutif yang berfungsi mendukung jalannya pemerintahan maupun mengawasi aspek tertentu. Lembaga tersebut meliputi Menteri dan Kementerian Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Kepolisian, serta Komisi Kejaksaan.

Kelompok keenam meliputi Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara, atau badan hukum lain yang dibentuk untuk kepentingan negara maupun kepentingan publik. Beberapa contoh yang termasuk dalam kategori ini adalah: (1) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA, (2) Kamar Dagang dan Industri, (3) Komite Olahraga Nasional Indonesia, (4) Badan Hukum Milik Negara Perguruan Tinggi, (5) Badan Hukum Milik Negara Rumah Sakit, (6) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia, (7) Ikatan Notaris Indonesia, serta (8) Persatuan Advokat Indonesia.

Dengan demikian, DPR merupakan Lembaga Tinggi Negara. DPR juga merupakan salah satu lembaga yang melaksanakan salah satu lembaga yang disebutkan dalam Trias Politica, yaitu fungsi legislatif. Namun demikian, ada pula DPRD yan gmerupakan lembaga pada tingkat daerah, namun tetap melaksanakan fungsi legislatif, dengan lembaga eksekutif dipegang oleh Walikota/Bupati.

 

Wewenang, Fungsi, dan Tugas DPR

Dalam menjalankan amanah rakyat, DPR mempunyai fungsi yang telah diatur dalam Undang-Undang, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[26] Lembaga negara dalam menjalankan fungsinya harus didasarkan pada kewenangan dasar yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga tindakan pemerintah dapat dianggap sah.[27]

Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud tersebut dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kemudian, Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Sedangkan, Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.[28]

Setelah perubahan pertama UUD NRI 1945 fungsi legislasi diatur dalam pasal 20 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.[29] Didalam hasil amandemen UUD NRI 1945 menentukan bahwa fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan konsekuensi yuridis bagi Dewan Perwakilan Rakyat, antara lain:[30]

  1. DPR berkewajiban menyusun prioritas Rancangan Undang-Undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya.
  2. DPR dapat menerima masukan ataupun usulan dari masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
  3. DPR dapat membuat sendiri draf Rancangan Undang-Undang.
  4. DPR dapat melakukan kerjasama dalam hal penyusunan draf Rancangan Undang-Undang.
  5. DPR mempunyai kewajiban melakukan pengawasan terhadap Undang Undang yang telah berlaku selama ini.
  6. DPR mempunyai kewajiban melakukan inventarisasi dan evaluasi masalah terhadap Undang-Undang yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Kemudian, dalam hal ini fungsi anggaran/budgeting adalah membahas serta memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap suatu rancangan Undang Undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dapat disimpulkan bahwa DPR memiliki suatu wewenang yang kuat dalam proses penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Hal ini dapat dilihat juga dari ketentuan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”, artinya disini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya, fungsi pengawasan (Controlling) terhadap pelaksanaan UUD NRI 1945, maupun Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya, merupakan fungsi yang diperlukan sebagai upaya mengontrol jalannya pemerintahan, yang menyasar terhadap kesesuaian kebijakan yang telah ditetapkan atau justru terjadi hal yang menyimpang. Implementasi konsep Trias Politica, kekuasaan tidaklah terpisah satu sama lain secara tegas karena ada unsur pembagian tugas dalam membuat kebijakan. Kekuasaan legislatif dijalankan secara bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat berasama Presiden.[31] Kebersamaan terjalin antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden, dengan pentingnya meletakkan landasan yuridis untuk menentukan hal-hal apa yang ingin dicapai melalui kegiatan pembangunan dan besaran anggaran yang dibutuhkan. Setelah kesepakatan yang dicapai tersebut dituangkan dalam penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pemerintah bertugas mewujudkan program program pembangunan. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap keseluruhan program pembangunan dengan mengoreksi adanya penyimpangan atau tidak adanya suatu penyimpangan.[32]

Jika dicermati dalam UUD NRI 1945 Pasca Amandemen, ternyata terdapat suatu pergeseran kekuasaan antara presiden dan DPR.[33] Hal tersebut berada pada fungsi legislasi yang sebelumnya menjadi kekuasaan seorang presiden, maka setelah terjadinya amandemen UUD NRI 1945 fungsi legislasi berpindah menjadi kekuasaan DPR sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 Amandemen UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal tersebut menjelaskan bahwa, Presiden berwenang mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR. Kemudian Pasal 20 menyebutkan bahwa “(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa titik berat kekuasaan legislasi nasional yang pada mulanya berada pada seorang presiden beralih kepada DPR.[34]

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR mempunyai wewenang sebagai berikut:[35]

  1. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
  3. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
  4. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  5. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
  6. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
  7. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
  8. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
  9. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
  10. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
  11. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
  12. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
  13. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
  14. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden

Selain itu sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR bertugas sebagai berikut:[36]

  1. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi nasional;
  2. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;
  3. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah;
  5. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
  6. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
  7. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
  8. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.

DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR, dan Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR, apabila dalam hal tersebut tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan. Apabila hal tersebut terjadi, DPR juga berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia[37]

Dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan, sesuai dengan kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk dibahas bersama. Adapun Anggaran DPR kemudian dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya, DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[38]

Undang-Undang di negara Indonesia telah memberikan kekuasaan berupa pembentukan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi tetap memberikan hak kepada pemerintah untuk mengajukan Rancangan Undang Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuan dari kebijakan pergesaran kekuasaan dalam pembentukan Undang-Undang ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat didasarkan keinginan untuk menerapkan sistim pemerintahan yang demokratis berdasarkan konsep distribution of power dan tegaknya mekanisme checks and balances antar lembaga Negara.[39] Ketentuan tersebut mampu dilaksanakan dengan baik oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wujud prinsip checks and balances antara kedua lembaga tersebut.

 

Akibat Jika DPR Dibubarkan

Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD seperti DPR ini akan memiliki posisi hukum lebih kuat dibandingkan Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan dibawahnya. Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UUD tidak dapat dihapus atau dihilangkan kecuali merubah UUD, sementara Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU atau Peraturan Perundang-undangan dibawahnya dapat dihapus atau dibubarkan dengan mengubah peraturan yang mendasarinya.[40] Isu mengenai pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap muncul di tengah masyarakat, terutama ketika kepercayaan publik terhadap wakil rakyat menurun akibat kasus korupsi, rendahnya kinerja legislasi, atau kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Persepsi negatif ini memunculkan anggapan bahwa negara mungkin akan lebih baik tanpa keberadaan DPR. Namun demikian, gagasan besar semacam itu tidak bisa dipandang sekadar dari rasa kecewa semata, melainkan harus ditinjau secara mendalam mengenai dampak positif maupun negatif yang mungkin ditimbulkannya.

Dari sisi positif, pembubaran DPR berpotensi mengurangi praktik politik transaksional yang selama ini sering kali terjadi. Banyak pihak menilai bahwa DPR kerap menjadi arena tarik-menarik kepentingan elite politik, bahkan sarat dengan praktik lobi dan kompromi yang tidak selalu sejalan dengan aspirasi masyarakat. Hilangnya lembaga ini dapat menekan ruang bagi praktik semacam itu. Selain itu, efisiensi anggaran negara bisa menjadi dampak lain yang terasa. Anggaran besar yang selama ini digelontorkan untuk menggaji, memberi tunjangan, dan memfasilitasi anggota dewan dapat dialihkan untuk kepentingan publik, seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur. Bagi sebagian orang, hal ini tentu akan menjadi kabar baik karena uang negara benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menopang gaya hidup politikus.[41]

Membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia tidak dimungkinkan secara hukum. UUD 1945 tidak memberikan wewenang kepada lembaga manapun, termasuk namun tidak terbatas Presiden, untuk membubarkan DPR karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Jika hal ini terjadi di luar ketentuan konstitusi, akibatnya akan fatal bagi negara. Apabila DPR dibubarkan, maka akan timbul krisis konstitusional karena UUD 1945 tidak mengenal mekanisme pembubaran lembaga ini dan tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran konstitusi karena melawan UUD 1945. Selain itu, fungsi legislasi akan hilang karena tidak ada lembaga lain yang berwenang membuat undang-undang. Presiden memang dapat mengeluarkan Perppu, tetapi sifatnya hanya darurat dan membutuhkan persetujuan DPR agar sah menjadi undang-undang, sehingga tanpa DPR, sistem hukum menjadi lumpuh.[42]

Dampak lain adalah hilangnya mekanisme checks and balances, sebab DPR merupakan pengawas utama terhadap kebijakan eksekutif.[43] Jika pengawasan ini hilang, maka kekuasaan Presiden menjadi sangat dominan dan berpotensi melahirkan otoritarianisme. Lebih lanjut, dari segi keuangan negara, APBN yang menurut konstitusi harus disetujui bersama DPR tidak dapat ditetapkan secara sah.[44] Akibatnya, mekanisme keuangan negara akan terganggu dan menimbulkan kekacauan administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pembubaran DPR akan membawa dampak serius berupa krisis konstitusional, hilangnya fungsi legislasi, rusaknya mekanisme checks and balances, krisis demokrasi, serta potensi munculnya pemerintahan otoriter karena DPR adalah elemen vital dalam menjaga kedaulatan rakyat dan keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia.[45]

Berdasarkan uraian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan konsep Trias Politica dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan fondasi penting bagi tegaknya demokrasi. Pemisahan kekuasaan yang meliputi eksekutif, legislatif, yudikatif, serta lembaga eksaminatif (BPK) memastikan adanya mekanisme checks and balances sehingga kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan. Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menempati posisi yang sangat krusial karena memegang fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran yang secara langsung mewakili aspirasi rakyat.

Pembubaran DPR, sebagaimana sering diwacanakan dalam opini publik, pada dasarnya tidak dimungkinkan secara konstitusional. Tindakan tersebut akan menimbulkan krisis hukum dan krisis konstitusional yang berimplikasi pada hilangnya fungsi legislasi, lumpuhnya mekanisme checks and balances, terganggunya pengelolaan keuangan negara, serta potensi munculnya pemerintahan otoriter. Oleh karena itu, keberadaan DPR tetap menjadi elemen vital dalam menjaga demokrasi, kedaulatan rakyat, serta keberlangsungan sistem pemerintahan Indonesia.

 

Penulis: Ahmad Wildan R.A., S.H., M.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA

 

Daftar Pustaka

Adrian, Annisa Zahra, Christian Alam Tegar Charisma, and Muhammad Afir Ridho. Teori Pemisahan Kekuasaan Trias Politica Dalam Pemikiran Filsafat Hukum Montesquieu. n.d.

Anwar, A. ‘Law Of Substance And Consistency Of Regional Regulation Number 3 Of 2006 Concerning Community Development Activities In Karimah.’ International Journal of Islamic Khazanah 9, no. 1 (2019): 9–22.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1977.

Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Fatwa, A.M. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Gusmansyah, W. ‘Trias Politica Dalam Perspektif Fikih Siyasah’. AlImarah: Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam 2, no. 2 (2017): 123–34.

Hidayat, A. ‘Manfaat Pelaksanaan Pemilu Untuk Kesejahteraan Masyarakat’. Politicon: Jurnal Ilmu Politik 2, no. 1 (2020): 61–74.

Isnaeni, Belly. ‘Trias Politica dan Implikasinya dalam Struktur Kelembagaan Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen’. Jurnal Magister Ilmu Hukum 6, no. 2 (August 2021): 78. https://doi.org/10.36722/jmih.v6i2.839.

Isra, Saldi. Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang Dan Dinamika Konstitusional. Depok: Rajawali Press, 2020.

Jasir, A. ‘Dewan Perwakilan Daerah Kewenangan Mengusulkan Tanpa Legislasi’. Khazanah Hukum 2, no. 1 (2020): 1–9.

Manan, Bagir. Konvensi Ketatanegaraan. Yogyakarta: FH UII Press, 2006.

MD, Mahfud. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Muchlisin, Muchlisin. ‘Kedudukan Serta Fungsi DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia’. Mimbar Yustitia 3, No. 2 (December 2020): 124–30. https://doi.org/10.52166/mimbar.v3i2.2019.

Mulyadi, Didik Suhariyanto, and Hartana. ‘Indonesia Tidak Menganut Trias Politica’. Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial 3, no. 2 (2025): 48–57.

Muwahid. ‘Kewenangan Pemerintah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum’. Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam 8, no. 2 (2018): 318–45.

Nurtjahjo, Hendra. ‘Lembaga, Badan, Dan Komisi Negara Independen (State Auxiliaryagencies) Di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara’. Jurnal Hukum dan Pembangunan 35, no. 3 (2005): 275–87.

  1. Saragih, Bintan. Ilmu Negara. Edisi Revisi, Cetakan ke-Empat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Rasji, Najma Syamila, and Michellena. ‘Penerapan Teori Trias Politica Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia’. Syariati: Jurnal Studi Al-Quran Dan Hukum 10, no. 1 (2024): 95–106.

Ruhenda, Ruhenda, Heldi Heldi, Hasan Mustapa, and Muhammad Andi Septiadi. ‘Tinjauan Trias Politica Terhadap Terbentuknya Sistem Politik dan Pemerintahan di Indonesia’. Journal of Governance and Social Policy 1, no. 2 (December 2020): 58–69. https://doi.org/10.24815/gaspol.v1i2.18221.

Sakti, Fadjar Tri. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020.

Suparto. ‘Teori Pemisahan Kekuasaan Dan Konstitusi Menurut Negara Barat Dan Islam’. Jurnal Hukum Islam 19, no. 1 (2019): 134-149.

Syamsuddin, M. ‘Tinjauan Politik Islam Terhadap Teori Trias Politica’. Al Qisthâs; Jurnal Hukum Dan Politik 9, no. 1 (2018): 43-61.

Yulistyowati, Efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. ‘Penerapan Konsep Trias Politica Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen’. Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18, no. 2 (2016): 328–38.

 

 

[1] Belly Isnaeni, ‘Trias Politica dan Implikasinya dalam Struktur Kelembagaan Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen’, Jurnal Magister Ilmu Hukum 6, no. 2 (August 2021): 78–91, https://doi.org/10.36722/jmih.v6i2.839.

[2] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1977), 35.

[3] Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, cetakan ke-empat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 116–17.

[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan), Https://Kbbi.Web.Id/Kekuasaan , Diakses 4 September 2025

[5] Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 37.

[6] Suparto, ‘Teori Pemisahan Kekuasaan Dan Konstitusi Menurut Negara Barat Dan Islam’, Jurnal Hukum Islam 19, no. 1 (2019): 134-149.

[7] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 85.

[8] Fadjar Tri Sakti, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020), 83.

[9] Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani, ‘Penerapan Konsep Trias Politika Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen’, Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18, no. 2 (2016): 328–38.

[10] Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 37.

[11] M. Syamsuddin, ‘Tinjauan Politik Islam Terhadap Teori Trias Politica’, Al Qisthâs; Jurnal Hukum Dan Politik 9, no. 1 (2018): 43-61.

[12] A. Anwar, ‘Law Of Substance And Consistency Of Regional Regulation Number 3 Of 2006 Concerning Community Development Activities In Karimah.’, International Journal of Islamic Khazanah 9, no. 1 (2019): 9–22.

[13] W. Gusmansyah, ‘Trias Politica Dalam Perspektif Fikih Siyasah’, AlImarah: Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam 2, no. 2 (2017): 123–34.

[14] Ruhenda Ruhenda et al., ‘Tinjauan Trias Politika Terhadap Terbentuknya Sistem Politik dan Pemerintahan di Indonesia’, Journal of Governance and Social Policy 1, no. 2 (December 2020): 58–69, https://doi.org/10.24815/gaspol.v1i2.18221.

[15] A. Jasir, ‘Dewan Perwakilan Daerah Kewenangan Mengusulkan Tanpa Legislasi’, Khazanah Hukum 2, no. 1 (2020): 1–9.

[16] Mulyadi, Didik Suhariyanto, and Hartana, ‘Indonesia Tidak Menganut Trias Politica’, Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial 3, no. 2 (2025): 48–57.

[17] A. Hidayat, ‘Manfaat Pelaksanaan Pemilu Untuk Kesejahteraan Masyarakat’, Politicon: Jurnal Ilmu Politik 2, no. 1 (2020): 61–74.

[18] Annisa Zahra Adrian, Christian Alam Tegar Charisma, and Muhammad Afir Ridho, Teori Pemisahan Kekuasaan Trias Politica Dalam Pemikiran Filsafat Hukum Montesquieu, n.d.

[19] Rasji, Najma Syamila, and Michellena, ‘Penerapan Teori Trias Politika Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia’, Syariati: Jurnal Studi Al-Quran Dan Hukum 10, no. 1 (2024): 95–106.

[20] Saldi Isra, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang Dan Dinamika Konstitusional (Depok: Rajawali Press, 2020), 7–8.

[21] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), 106.

[22] Hendra Nurtjahjo, ‘Lembaga, Badan, Dan Komisi Negara Independen (State Auxiliaryagencies) Di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara’, Jurnal Hukum dan Pembangunan 35, no. 3 (2005): 275–87.

[23] Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 21–24.

[24] Kejaksaan Agung  meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUDNRI 1945 dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang saja, akan tetapi dalam pelaksanaannya memiliki constitutional importance seperti kepolisian yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Undang-undang ini yang menjadi dasar hukum bagi Kejaksaan dalam menjalankan perannya

[25] Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan memiliki constitutional importance berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUDNRI 1945 yaitu:” Badan-Badan Lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang’.

[26] Pasal 69 ayat 1-2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[27] Muwahid, ‘Kewenangan Pemerintah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum’, Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam 8, no. 2 (2018): 318–45.

[28] Pasal 70 ayat 1-3, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[29] Pasal 20, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

[30] Muchlisin, ‘Kedudukan Serta Fungsi DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia’, Mimbar Yustitia 3, no. 2 (December 2020): 124–30, https://doi.org/10.52166/mimbar.v3i2.2019.

[31] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), 11.

[32] A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 209.

[33] Muchlisin Kedudukan Serta Fungsi Dpr Dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia, Mimbar Yustitia Vol. 3 No.2 Desember 2019 124-130

[34] Muchlisin, ‘Kedudukan Serta Fungsi DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia’, Mimbar Yustitia 3, no. 2 (December 2020): 124–30, https://doi.org/10.52166/mimbar.v3i2.2019.

[35] Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[36] Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[37] Pasal 74 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[38] Pasal 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 20l9, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[39] Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi, 97–100.

[40] Isra, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang Dan Dinamika Konstitusional, 10.

[41] Yafi Anwar Muhamad,  Kompasiana.com “Jika DPR Dibubarkan, Apa Dampaknya bagi Indonesia?”, https://www.kompasiana.com/yafianwarmuhamad/68a473fec925c440e51651bc/jika-dpr-dibubarkan-apa-dampaknya-bagi-indonesia , diakses 8/8/2025

[42] Pasal 22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

[43] Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 82.

[44] Pasal 23 ayat 1, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

[45] Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 332.

 

Baca juga:

Trias Politica Checks and Balances

Komisi Yudisial dan 5 Tugas Terkait Pengawasan Terhadap Hakim

Pemegang Jabatan Pada 3 (Tiga) Kekuasaan

Putusan MK Tentang Batas Usia Capres, Etik atau Nepotisme?

Kedudukan dan Kekuatan Hukum Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Putusan Pengesahan Perkawinan Beda Agama Disorot Komisi III DPR dan KY, Batas-Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman

 

Tonton juga:

Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|Pembubaran DPR|Pembubaran DPR|Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|Pembubaran DPR| Pembubaran DPR|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.