Putusan MK Tentang Pemblokiran Internet

Pada hari Rabu, tanggal 27 Oktober 2021 yang lalu Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas permohonan judicial review yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) terkait pemutusan dan pemblokiran internet. Permohonan yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 memohonkan uji materil ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tranasaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Pasal 40 ayat (2b) UU ITE menyatakan bahwa:
“Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”
Pasal 40 ayat (2a) UU ITE menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pemohon dalam alasan-alasan permohonannya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum dikarenakan Pasal 40 ayat (2b) tidak memberikan kejelasan terkait produk hukum maupun kewajiban administrasi berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang harus diterbitkan oleh Pemerintah sebelum melakukan tindakan pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap bermuatan konten melanggar hukum, sehingga Pemerintah memiliki kewenangan untuk memutus akses tanpa didahului dengan penerbitan KTUN. Menurut pemohon hal tersebut melanggar hak konstitusional para pemohon untuk berkomunikasi, memperoleh, mencari, memiliki menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia.
Perkara tersebut kemudian diputus dengan Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Hakim menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang artinya ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE dianggap sah dan konstitusional. Namun, dalam putusan tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstuti Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam dissenting opinion disebutkan bahwa:
“Bahwa ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE sama sekali tidak memuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, wewenang yang diberikan dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara, sehingga seharusnya juga diatur secara jelas. Dalam hal ini, norma dalam undang-undang mestinya memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukan sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak tersebut mengetahui dasar atau pertimbangan pemerintah memutuskan dan/atau melakukan tindakan pembatasan hak atas informasi dimaksud.
Bahwa sekalipun terdapat kewajiban pemerintah menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud, kewajiban pemerintah tidaklah harus sama sebagaimana yang dimohonkan Pemohon berupa “setelah menerbitkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis”, tetapi cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun lewat digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik. Sebab, bila diwajibkan sebagaimana Petitum yang dimohonkan para Pemohon, tindakan atau keputusan pemerintah demikian sebenarnya telah dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara karena sudah meliputi tindakan dan keputusan. Apabila norma a quo dimaknai sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, hal demikian dapat menutup ruang bagi “tindakan” pemerintah dalam penyelenggaraan negara.”
Berdasarkan argumen tersebut Hakim Konstitusi yang memberikan dissenting opinion mengatakan bahwa
“untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengejawantahkan prinsip checks and balances, dan mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum yang demokratis, Mahkamah Konstitusi harusnya menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU adalah konstitusional sepanjang dimaknai: “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis/digital”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Hakim Konstitusi yang memberikan dissenting opinion seharusnya permohonan Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Dissenting opinion merupakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu, karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim.[1] Berdasarkan ketentuan tersebut, maka berkaitan dengan perkara judicial review terhadap Pasal 40 ayat (2b) UU ITE terdapat perbedaan pendapat diantara para Hakim, dimana 2 (dua) orang Hakim menyatakan bahwa permohonan Pemohon dapat dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian, namun 5 (lima) hakim lainnya berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan hukum sehingga dalam Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Berdasarkan putusan tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE adalah konstitusional dan masih berlaku sepanjang belum dilakukan perubahan terhadapnya, serta pemblokiran dan pemutusan internet dapat dilakukan oleh Pemerintah sepanjang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2a) UU ITE. Adanya dissenting opinion bukan bagian dari pembenaran atas permohonan yang diajukan oleh pemohon, melainkan pendapat berbeda menurut sebagian Hakim yang memutus perkaran namun kalah dalam voting suara. Oleh karena itu, yang berlaku dan menjadi acuan peraturan perundang-undangan adalah hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (2b) UU ITE konstitusional.
[1] http://www.pa-marabahan.go.id/en/artikel-tentang-hukum/644-kebebasan-hakim-dalam-sebuah-putusan-memaknai-dissenting-opinion.html
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanDirektur Badan Usaha Milik Negara Liburan Dengan Fasilitas Perusahaan
Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.