Pembeli Beritikad Baik
Salah satu permasalahan dalam hukum perdata terutama perjanjian jual-beli adalah mengenai perlindungan terhadap pembeli beritikad baik. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang kemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan. Dalam bahasa Indonesia, itikad baik diartikan secara subjektif dengan kejujuran sebagaimana terdapat dalam Pasal 530 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Dalam hal ini, itikad baik dapat juga berupa sikap batin atau suatu keadaan jiwa.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak memberi petunjuk yang jelas tentang siapa pembeli beritikad baik. Pasal 531 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Besit dalam itikad baik terjadi bila pemegang besit memperoleh barang itu dengan mendapatkan hak milik tanpa mengetahui adanya cacat cela di dalamnya.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut, dapat dimaknai bahwa apabila pembeli memperoleh suatu barang tersebut tanpa mengetahui adanya cacat cela dalam pembelian atau proses memilikinya, maka dapat dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Merujuk pendapat Subekti yang menjelaskan bahwa Pembeli yang beriktikad baik diartikan pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik.[1] Terdapat pula pendapat yang menjelaskan mengenai pembeli beritikad baik ialah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu.[2]
Pengaturan itikad baik di Indonesia, ditemukan dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata, dalam ketentuan tersebut menentukan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Secara definisi itikad baik dalam KUHPerdata, tidak ada pengertian dan tolak ukur itikad baik sehingga perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolak ukur dari itikad baik itu sendiri.[3] Dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata, penempatannya terletak pada saat pelaksanaan suatu perjanjian. Subekti merumuskan itikad baik dengan pengertian bahwa:
Itikad baik diwaktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran, orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggap jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk di kemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan.[4]
Secara sederhana yang dimaksud dengan itikad baik dalam suatu perjanjian dapat diartikan, bahwa suatu perjanjian hendaklah dilaksanakan dengan kejujuran dan bersih, sehingga dalam pelaksanaannya nanti akan tercermin kepastian hukum dan rasa adil bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Prinsip itikad baik, fair dealing, keadilan dan kepatutan adalah prinsip yang mendasar dalam dunia bisnis. Itikad baik yang ideal yaitu dengan prinsip etik seperti honesty, loyalty, dan pemenuhan komitmen. Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa:
Itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan satu dari beberapa sendi yang terpenting dari hukum kontrak yang memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak agar tidak melanggar kepatutan dan keadilan.[5]
Ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari kontrak jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan (recht gevoel) satu diantara dua pihak. Asas itikad baik menuntut adanya kepatutan dan keadilan, dalam arti tuntutan adanya kepastian hukum yang berupa pelaksanaan kontrak tidak boleh melanggar norma-norma kepatutan dan nilai-nilai kedilan. Itikad baik secara objektif, adalah pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.[6]
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut di atas dapat dikatakan kejujuran (itikad baik) dalam arti objektif tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Selain itu, pengertian itikad baik secara objektif yang lain adalah praktek pelaksanaan suatu perjanjian yang telah tertulis baik di dalam akta autentik maupun akta di bawah tangan termasuk apabila ternyata di dalam pelaksanaannya terjadi perubahan-perubahan yang tidak termuat di dalam akta perjanjian tersebut maka para pihak harus punya niat baik dan jujur dalam menyikapi perubahan-perubahan praktik pelaksanaan perjanjian yang terjadi di lapangan tersebut.
Mengenai pembeli beritikad baik, terdapat beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjelaskan mengenai Pembeli Beritikad Baik, salah satunya dalam hal objek jual-beli tanah sebagai berikut:
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. yang merumuskan kriteria pembeli yang beritikad baik, memberikan kepastian hukum bagi pembeli tanah. Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling mengkait. Salah satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang diberikan pada individu terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya, hakim dan administrasi (pemerintah).
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 114 K/Pdt/2013, menjelaskan Pemohon Kasasi (Pembeli) mendalilkan bahwa dirinya adalah Pembeli Beritikad Baik, karena jual beli dilakukan di hadapan notaris, namun menurut Mahkamah Agung karena tanah objek sengketa adalah harta gono gini dan sebelumnya telah ada Putusan Pengadilan yang membatalkan Akta Jual Beli berdasarkan hal tersebut, maka permohonan harus ditolak.[7]
- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1923 K/Pdt/2013Â menyebutkan, Mahkamah Agung dalam perkara ini menilai bahwa pembeli bukan pembeli beritikad baik, meskipun telah memegang sertifikat hak atas tanah atas namanya sejak tahun 1999 dan 2000, karena pada waktu pembelian dia dianggap tidak mencermati objek tanah yang ternyata dikuasai oleh orang lain.[8]
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/Pdt/2005, Mahkamah Agung menganggap bahwa Pembeli tanah bukan Pembeli Beritikad Baik, meskipun jual beli telah dilakukan di hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat, karena ketika pembelian dilakukan masih terdapat sengketa di pengadilan antara Penjual dan Pihak Ketiga. Dalam sengketa itu, Penjual ternyata akhirnya dihukum untuk menyerahkan tanah (yang telah dibeli oleh pembeli) kepada lawannya.[9]
Dengan demikian, secara ketentuan yang berlaku di Indonesia tidak mengatur secara rinci dan jelas mengenai kedudukan Pembeli beritikad baik. Sehingga dapat disimpulkan mengenai perlindungan hukum terhadap Pembeli beritikad baik, dikenal dan berkembang dikalangan para pendapat ahli atau doktrin. Hal ini juga dilihar dari, praktik peradilan di Indonesia, yang mana Pembeli beritikad baik berkembang melalui Yurisprudensi atau putusan hakim. Dalam artian, perlindungan terhadap Pembeli beritikad baik ini diserahkan sepenuhnya kepada Hakim untuk menilai dan menentukan kriteria Pembeli beritikad baik tersebut.
[1] R. Subekti, Hukum Pembuktian, Aditya Bakti, Bandung, 2015.
[2] R. Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, UI Press, Jakarta, 2004.
[3] Ridwan Khairandy, Kebebasan Berkontrak & Pacta Suns Servanda Versus Itikad Baik : Sikap Yang Harus Diambil Pengadilan, FH UII Press, Yogyakarta, 2015.
[4] Samuel M.P Hutabarat, Penawaran Dan Penerimaan Dalam Hukum Perjanjian, Grasindo, Jakarta, 2010.
[5] Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Mandar Maju, Bandung, 2012.
[6] Syamsudin Qirom Meliala, Pengertian Asas Itikad Baik di Dalam Hukum Indonesia. Mitra Ilmu, Surabaya. 2007.
[7] Direktori Mahkamah Agung
[8] Ibid.
[9] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengenaan Bunga Pinjaman oleh Pihak Selain Bank
DPO Kasus Robot Trading Ilegal DNA Pro Melarikan Diri...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.