Pembebasan Lahan Adat di Papua

Berbicara mengenai lahan adat, maka erat kaitannya dengan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah bersama masyarakat hukum adat, dimana penguasaan atas tanah ulayat disebut dengan hak ulayat (beschikingrecht). Hak ulayat yaitu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.[1] Hak ulayat diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU Otonomi Khusus Papua) menjamin adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat masyarat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 1 angka 21 UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjyt, Pasal 43 UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa:
- Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
- Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
- Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
- Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
- Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa dalam hal akan dilakukan pembebasan atas tanah adat, maka harus berdasarkan atas musyawarah yang melibatkan masyarakat hukum adat. Penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU Otonomi Khusus Papua menjelaskan bahwa hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dimana subjek hukum dari hak ulayat yaitu masyarakat hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Kemudian lebih lanjut penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU Otonomi Khusus Papua menyatakan sebagai berikut:
“Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu, demi adanya kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan oleh:
- masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum adat;
- masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan sehari-hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan
- masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum.”
Kemudian, apabila tanah ulayat ingin digunakan untuk keperluan suatu hal, maka harus dilakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 43 ayat (4) dan ayat (5) UU Otonomi Khusus Papua. Penjelasan Pasal 43 ayat (4) UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa:
“Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap perolehan tanah hak perorangan para warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan penguasa adatnya.
Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, sebagai pemegang saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama”
Apabila dalam hal pengalihan atau pembebasan tanah ulayat menimbulkan sengketa, maka Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar. Apabila sengketa terjadi antara para warga masyarakat hukum adat sendiri, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui peradilan adat sebagaimana ketentuan dalam UU Otonomi Khusus Papua. Contoh pembebasan tanah ulayat yang terjadi di Papua yaitu pembebasan tanah ulayat yang digunakan untuk membangun Bandar Udara Sentani pada tahun 2015 silam.[2] Pemerintah melakukan musyawarah dengan masyarakat adat dan kemudian menganggarkan ganti rugi terhadap tanah ulayat tersebut dalam APBN 2015.[3]
[1] Jefri Deda dan Suriel Semuel Mofu, Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Ditinjau Dari Sisi Adat dan Budaya : Sebuah Kajian Etnografi Kekinian, Jurnal Administrasi Publik, Vol. 11, No. 2, Papua : Universitas Negeri Papua, 2014, hal. 15
[2] https://www.papua.go.id/view-detail-berita-3412/undefined
[3] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMacam-macam Penyerobotan Tanah yang dapat dikenakan Pidana
Hal-Hal Pokok Terkait Perizinan di Papua

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.