Pembatasan Kasasi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara

Pada dasarnya pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung dapat dilakukan oleh semua lembaga peradilan. Pengajuan kasasi dilakukan ketika seseorang tidak puas dengan putusan pada tingkat Pengadilan Tinggi, sehingga untuk memperoleh keadilan maka seseorang akan mengajukan kasasi. Fakta yang terjadi, jumlah pengajuan kasasi di Mahkamah Agung semakin tinggi, sehingga mengakibatkan caseload. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mencoba mengatasi permasalahan tersebut dengan diadakannya batasan-batasan terhadap perkara yang dapat diajukan kasasi. Hal ini diatur dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 5/2004).

Pembatasan Kasasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU 5/2004. Bunyi dari Pasal 45A UU 5/2004 yaitu :

  1. Mahkamah agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
  2. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
    1. Putusan tentang praperadilan;
    2. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
    3. Perkara Tata Usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan;
  3. Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas pertamanya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
  4. Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum.
  5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pengaturan mengenai pembatasan kasasi ini menjadi polemik yang kemudian dilakukan Uji Materiil kepada Mahkamah Konstitusi oleh Hendriansyah Direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat adanya ketentuan dalam Pasal 45A UU 5/2004. Hal yang melatarbelakangi adanya pembatasan kasasi yaitu karena kondisi faktual terjadinya penumpukan perkara (backlog) di Mahkamah Agung.

Pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan dari semua lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 4/2004), yang juga diatur dalam ketentuan Pasal 131 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (UU 5/1986) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara(UU 9/2004), Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989(UU 7/1986) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU 3/2006), dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997).

Permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan. Hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama. Jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil. Guna memperkukuh arah perubahan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, maka Pemerintah dan DPR bersepakat melakukan penyesuaian-penyesuaian atas berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu pilar pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari kehendak Pemerintah dan DPR tersebut, maka dilakukanlah perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung, utamanya terhadap ketentuan-ketentuan tertentu yang mengatur antara lain syarat-syarat untuk menjadi hakim agung, syarat usia pensiun dan masa perpanjangannya, kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim, sampai kepada cara-cara untuk menanggulangi penumpukan perkara yang menjadi beban dan tugas Mahkamah Agung. Atas hal tersebut, maka Mahkamah Agung diharapkan dapat memberikan jawaban dan solusi terhadap tugas, fungsi maupun kewenangan Mahkamah Agung yang semakin berat dan komplek.

Hal yang dilakukan untuk mengurangi kecenderungan para pihak untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan terakhir pengadilan (putusan pengadilan tingkat banding), dan mengurangi penumpukan perkara (backlog) di Mahkamah Agung, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis tertentu, antara lain dengan memaksimalkan jumlah anggota hakim agung, melakukan pembatasan terhadap perkara-perkara tertentu yang dapat dimintakan kasasi (vide Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU 5/2004), mengefektifkan lembaga mediasi guna mencapai perdamaian para pihak yang berperkara (vide Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,(UU 30/1999) dan SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (SEMA 1/2002) (eks. Pasal 130 HIR/154 RBG) dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (PERMA 2/2003).

Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-V/2007 Tentang permohonan pengujian uji materiil terhadap Pasal 45A Ayat 2 huruf c UU 5/2004, pada dasarnya telah membenarkan argumentasi Pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU MA tersebut. Didalam Pertimbangan Hukum Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:

`           “Dilihat dari segi pembuatan peraturan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving), menurut Mahkamah, undang-undang a quo telah memperhatikan asas tujuan yang jelas dari tujuan pembuatan suatu norma (het beginsel van duidelijke doelstelling) karena telah memberikan uraian yang cukup mengenai keadaan nyata yang ingin diatasi oleh suatu peraturan. Hal ini juga tampak dalam Penjelasan Umum undang-undang a quo yang berbunyi, antara lain, Dalam undang-undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini, disamping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Dasar pemikiran pembentuk undang-undang dalam merumuskan norma undang-undang yang membatasi perkara-perkara yang dapat dimohonkan kasasi juga dapat dibenarkan dari perspektif dasar pemikiran tentang hakikat kasasi dalam tingkat-tingkat pengadilan pada sistem peradilan yang menganut sistem kasasi, sebagaimana yang dianut di Indonesia pada khususnya dan di negara-negara civil law pada umumnya, yaitu pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pengadilan tingkat pertama pada hakikatnya adalah pengadilan yang bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta demikian. Oleh karena itu pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai judex facti. Sedangkan pengadilan tingkat banding pada hakikatnya bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tertentu tersebut. Jadi, pengadilan tingkat banding di samping berperan sebagai judex facti juga berperan sebagai judex juris. Sementara itu, pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya hanya bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu, pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata judex juris;

Dengan uraian di atas, perlunya suatu perkara diperiksa hingga ke pengadilan tingkat kasasi akan tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU 5/2004 di atas. Oleh karena itu, dorongan ke arah peningkatan kualitas putusan pengadilan demikian justru harus didukung oleh semua pihak, termasuk dan terutama oleh pembentuk undang-undang, bukan hanya terhadap perkara yang merupakan kompetensi absolut dari pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara melainkan dalam semua lingkungan peradilan, terutama untuk perkara perdata yang merupakan kompetensi absolute pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang banyak terjadi penumpukan (case loads);

Jika suatu ketentuan undang-undang berhasil memberikan dorongan ke arah terwujudnya peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding demikian, maka undang-undang itu bukan hanya telah memerankan dirinya dalam fungsinya yang klasik sebagai sarana penjaga tertib sosial (tool of social control) melainkan juga telah memerankan dirinya sebagai sarana perekayasaan sosial (tool of social engineering);

Lebih lanjut penting pula diingat bahwa pembatasan demikian bukan hanya lazim dipraktikkan di negara-negara hukum yang demokratis yang menganut sistem kontinental, seperti Jerman dan Belanda, melainkan juga di negara-negara yang menganut sistem peradilan juri, seperti Amerika Serikat. Di Jerman, pengadilan bahkan diberi kewenangan untuk menentukan dan mengubah ambang batas (threshold) dari perkara-perkara yang dapat digolongkan sebagai perkara sederhana atau petty cases (vide Herbert Jacob et.al., Courts, Law, and Politic in Comparative Perspective, 1996, h. 257). Sehingga, perkara-perkara demikian tidak perlu diperiksa sampai ke tingkat kasasi. Sementara itu, di Amerika Serikat, jika pihak yang kalah dalam pengadilan yang lebih rendah menghendaki agar perkaranya diperiksa oleh Mahkamah Agung harus mengajukan petisi yang dinamakan Petition for Certiorari. Petisi dimaksud tidak serta-merta akan dikabulkan atau diterima tetapi oleh Mahkamah Agung akan diteliti terlebih dahulu. Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa petisi dimaksud layak untuk diterima, biasanya hanya menyangkut kasus-kasus yang dianggap penting terutama yang berkenaan dengan hak-hak dasar warga Negara, maka Mahkamah Agung akan menerbitkan keputusan yang dinamakan Writ of Certiorari;

Berdasarkan uraian di atas tampaklah bahwa pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi telah merupakan praktik yang lazim di negara- negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. Pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris. Dengan demikian, pembatasan kasasi tersebut tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan risalah putusan tersebut, maka pembatasan terhadap pengajuan kasasi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c UU 5/2004 masih berlaku hingga saat ini.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.