Pembatalan Hibah Wasiat

Dasar hukum mengenai hibah diatur dalam ketentuan Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer). Pada dasarnya hibah dapat diartikan sebagai pemberian barang terhadap orang lain secara cuma-cuma sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1666 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut :
“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
Sedangkan surat wasiat (testament) merupakan sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dan dapat dicabut kembali olehnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 875 KUHPer. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hibah wasiat dapat diartikan sebagai pemberian suatu barang tertentu oleh pewaris kepada orang tertentu yang telah disebutkan atau ditetapkan oleh Pewaris dalam surat wasiat yang dibuatnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 957 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut:
“Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.”
Pasal 958 KUHPer menyatakan bahwa orang yang berhak menerima hibah wasiat adalah penerima hibah wasiat bukan ahli waris dan ahli waris yang dinyatakan sebagai berikut :
“Semua hibah wasiat yang murni dan tidak bersyarat, sejak hari meninggalnya pewaris, memberikan hak kepada penerima hibah wasiat (legitaris) untuk menuntut barang yang dihibahkan dan hak tersebut beralih kepada sekalian ahli waris atau penggantinya.”
Pada dasarnya pewarisan dapat dilakukan setelah pewaris meninggal dunia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 830 KUHPer, serta seluruh harta peninggalan pewaris merupakan milik ahli waris, sejauh pewaris belum mengadakan ketetapan yang sah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 874 KUHPer. Ketetapan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 874 KUHPer yaitu surat wasiat (testament), dimana surat wasiat (testament) berdasarkan ketentuan dalam Pasal 931 KUHPer hanya boleh dibuat dalam bentuk akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. Wasiat olografis ialah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani oleh pewaris dengan tangan sendiri oleh pewaris, yang kemudian disimpan pada notaris sebagaimana ketentuan dalam Pasal 932 KUHPer. Kemudian wasiat dengan akta umum juga dilakukan dihadapan notaris dan dua orang saksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 938 KUHPer. Sedangkan terhadap wasiat tertutup atau rahasia, dapat dibuat dengan tangan pewaris sendiri atau dapat pula ditulis orang lain yang dibubuhi tanda tangan pewaris, kemudian surat wasiat rahasia tersebut ditutup dan disegel dan diserahkan kepada notaris dengan 4 (empat) orang saksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 940 KUHPer. Surat wasiat dapat berlaku sah apabila telah memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 874 sampai dengan Pasal 1004 KUHPer. Apabila surat wasiat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHPer, maka konsekuensinya yaitu :
- Ketetapan tersebut batal, contohnya yaitu :
- Pengangkatan ahli waris yang bersifat melompat atau substitusi fidelcommissaire adalah dilarang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 879 KUHPer;
- surat wasiat yang dibuat akibat paksaan, penipuan atau akal licik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 893 KUHPer;
- Ketetapan tersebut dapat dibatalkan secara sederhana (Eenvoudige Vernietigbaarheid), contohnya yaitu ketentuan dalam Pasal 924 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut[1]:
“Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme portie. Bila hibah-hibah semasa hidup pewaris harus dikurangi, maka pengurangan harus dimulai dan hibah yang diberikan paling akhir, ke hibah-hibah yang dulu-dulu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 924 KUHPer”
- Ketetapan tersebut sah, akan tetapi legitimaris mempunyai hak tuntut pribadi untuk mendapatkan ganti rugi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 920 KUHPer.
Berkaitan dengan konsekuensi dalam poin 2 pada dasarnya wasiat tidak boleh melebihi legitime portie (batasan wasiat) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 913 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut :
“Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.”
Ketentuan mengenai legitieme portie bagi pewaris diatur dalam ketentuan Pasal 914, Pasal 915 dan Pasal 916 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 914
Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke bawah, maka legitieme portie itu terdiri dari seperdua dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian;
Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak, maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian;
Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian;
Dengan sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan-keturunan mereka dalam derajat seberapa pun tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan pewaris;
Pasal 915
Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dari apa yang menurut undangundang menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian.
Pasal 916
Legitieme portie dan anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, ialah seperdua dari bagian yang oleh undang-undang sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian.
Berdasarkan hal tersebut, KUHPer memberikan hak bagi ahli waris berkenaan dengan legitieme portie untuk mengajukan tuntutan pengurangan/inkorting sebagaimana ketentuan dalam Pasal 920 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut :
“Pemberian-pemberian atau hibah-hibah, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi pada waktu terbukanya warisan itu, tetapi hanya atas tuntutan para legitimaris dan para ahli waris mereka atau pengganti mereka.
Namun demikian, para legitimaris tidak boleh menikmati apa pun dan pengurangan itu atas kerugian mereka yang berpiutang kepada pewaris.”
Dalam hal orang tua menghibahkan hartanya kepada ahli waris, maka harta tersebut dianggap sebagai bagian dari warisan yang akan ia terima ketika pewaris telah meninggal.[2]
Pembatalan atas suatu wasiat juga dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 992 KUHPer yaitu dengan pembuatan akta notaris khusus yang mengandung pernyataan pewaris tentang pencabutan seluruhnya atau sebagian wasiat yang dulu. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembatalan hibah wasiat dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
- Pembatalan melalui pembuatan Akta Notaris khusus sebagaimana ketentuan dalam Pasal 992 KUHPer;
- Pembatalan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang apabila tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan atas gugatan dari legitimaris, contoh dalam hal ini yaitu dalam Putusan Nomor 57/Pdt.G/2012/PN.Skh yang membatalkan Akta Hibah Wasiat, karena dalam pembuatan akta tersebut terbukti Pewaris tanpa melalui persetujuan Istrinya, dimana obyek (harta) yang diwasiatkan merupakan harta bersama.
[1] Yanuar Suryadini dan Alifiana Tanasya Widiyanti, Akibat Hukum Hibah Wasiat yang Melebihi Legitime Portie, Jurnal Media Iuris, Vol. 3, No. 2, Surabaya : Universitas Airlangga, Juni 2020, hal. 253
[2] Umar Haris Sanjaya dan Muhammad Yusuf Suprapton, Kedudukan Ahli Waris Yang Penerima Hibah Dari Orang Tuan Terhadap Ahli Waris Lainnya Pada Proses Pembagian Waris, Jurnal Yuridis, Vol. 4, No. 2, Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia, Desember 2017, hal. 231
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.