Pembagian Waris Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris.[1] Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[2] Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa:

Hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris.[3]

Dengan demikian, hukum waris timbul karena adanya orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta waris dan ahli waris. Di Indonesia sendiri berlaku beberapa pembagian waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur pembagian waris secara umum, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur pembagian warisan bagi orang beragama Islam, dan Hukum Adat yang mengatur pembagian warisan berdasarkan adat atau suku seseorang. Pembahasan artikel saat ini, fokus membahas seputar pembagian warisan menurut hukum Islam.

Waris dalam Islam adalah bentuk isim fa’il.[4] Kata waris berasal dari dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa, waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Sehingga secara istilah, ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka peninggalan orang yang telah meninggal kepada ahli warisnya.[5] Dalam waris menurut fiqih mawaris adalah fikih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.

Sistem pembagian warisan menurut Islam, pada dasarnya menganut asas kekerabatan yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, ahli waris yang berhak ialah karena hubungan keluarga (nasab), karena hubungan perkawinan yang sah (musharabah), karena hubungan wala dan karena hubungan agama, tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada pasti menerima harta warisan, sebab para ahli waris ada yang lebih dekat dengan orang yang meninggal dan ada yang lebih jauh, menurut urutannya masing-masing.

Dasar dan sumber utama dari hukum kewarisan Islam yang secara langsung mengatur tersebut antara lain sebagai berikut:

Ayat-Ayat Al-Qur’an

  • An-Nisa’ ayat 7

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Ketentuan dalam ayat di atas merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.[6]

Al-Hadist

Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut.

  • Hadis Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi:

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya)

  • Hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Imam Muslim:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.”

Sumber utama yang berasal dari Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut kemudian diejawantahkan dalam bentuk perundang-undangan, sesuai dengan sistem hukum di Indonesia menjadi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan umum yang terdapat dalam KHI berisi penjelasan mengenai wewenang pembagian hukum waris, pewaris, wasiat, hibah, anak angkat dan baitul mal. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 171 KHI.

Dalam hukum waris islam terdapat empat syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembagian warisan, adalah sebagai berikut:

  1. Orang yang mewariskan harta peninggalan benar telah meninggal dunia atau telah ditetapkan oleh hukum bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia jika telah lama hilang atau tidak diketahui keberadaannya.
  2. Ahli waris masih hidup.
  3. Ahli waris memiliki hubungan dengan pewaris karena hubungan pernikahan, kekerabatan, dan memerdekakan budak.
  4. Ahli waris yang ditetapkan oleh hakim berhak menerima warisan.[7]

Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga harus dipenuhi seluruhnya. Sementara itu, ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Adapun yang menjadi dasar untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan atau dapat menjadi ahli waris adalah sebagai berikut:

  1. Karena hubungan darah
  2. Hubungan semenda atau pernikahan
  3. Hubungan persaudaraan karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris
  4. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah

Secara garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu:

  1. Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh, yaitu ahli waris langsung yang selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.
  2. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah. Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah.
  3. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.”

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa perempuan memiliki hak untuk menjadi ahli waris. Dilihat dari pembagiannya, bagian masing-masing ahli waris adalah istri mendapat 1/4 bagian apabila Pewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila Pewaris mempunyai anak atau cucu, dan istri tidak pernah tertutup dari ahli waris. Suami mendapat 1/2 bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat 1/4 bagian apabila pewaris mempunyai anak. Sedangkan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut:

  1. Seorang anak perempuan mendapat 1/2 bagian anak laki-laki, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki.
  2. Dua anak perempuan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
  3. Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya 2:1 (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian),

Sementara itu, pembagian warisan bagi anak laki-laki, mendapatkan pembagian warisan dengan perhitungan sebagai berikut:

  1. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzawil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
  2. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempuan, serta ahli waris dzawil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi 2:1 (ashabah bil ghair),

Sementara untuk bagian Ibu, dalam menerima bagian harta waris mendapatkan 1/6 apabila Pewaris meninggalkan anak dan/atau Ibu mendapatkan 1/3 apabila Pewaris tidak mempunyai anak. Sedangkan untuk bagian Bapak akan mendapatkan bagian 1/6 Apabila Pewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki. Kemudian, apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah. Lalu, apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian. Untuk pembagian warisan nenek, mendapatkan 1/6 apabila seorang Pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu. Namun, nenek dapat juga mendapat 1/6 dibagi rata, apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu.

 

[1] Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam

[2] Hasb Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Mudah, Yogyakarta, hlm. 8

[3] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1991, hlm. 21

[4] Isim Fail adalah sebuah isim yang dimustaq dari fiil (kata kerja) mabni ma’lum, Isim Fail ini menunjukkan arti orang yang melakukan pekerjaan.

[5] Hasbiyallah, 2007, Belajar Mudah Ilmu Waris. Ctk. Pertama, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hlm. 1

[6] Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan Hukum Positif di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 12.

[7] Mustafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Darul Qalam, Damaskus, 2013, hlm. 274

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.