Pemalsuan Tanda Tangan Pada Perjanjian Bawah Tangan

Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak dikenal istilah perjanjian, melainkan disebut sebagai persetujuan. Pasal 1233 KUHPer menyatakan bahwa perikatan lahir karena 2 (dua) hal yaitu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri dalam suatu kontrak disebut persetujuan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPer. Persetujuan karena kontrak dapat disebut pula dengan perjanjian. Berdasarkan proses pembuatannya, perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu perjanjian dalam bentuk akta bawah tangan dan perjanjian dalam bentuk akta otentik. Perjanjian dalam bentuk akta bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji dan tanpa ada campur tangan pegawai umum yang berwenang, serta tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan perjanjian dalam bentuk akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Tema dalam pembahasan artikel kali ini yaitu apabila terjadi pemalsuan tanda tangan terhadap perjanjian bawah tangan.
Perjanjian bawah tangan hanya dilakukan dan diketahui oleh para pihak yang melakukan perjanjian, sehingga menjadi sebuah kebebasan bagi para pihak untuk memasukkan klausa-klausa yang diinginkan untuk dicantumkan sejauh tidak melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum, syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer diantaranya;
- Kesepakatan para pihak;
- Kecakapan;
- Suatu hal tertentu;
- Sebab yang halal;
Syarat sah dalam kesepakatan para pihak dan kecakapan disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat sah suatu hal disebut sebagai syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat subjektif perjanjian mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif mengakibatkan batal demi hukum. Selain karena tidak terpenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif, perjanjian juga dapat dibatalkan karena penipuan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1328 KUHPer dan/atau karena suatu sebab yang palsu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1335 KUHPer. Pasal 1328 dan Pasal 1335 KUHPer menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1328
Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.
Pasal 1335
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka apabila diduga terjadi pemalsuan tanda tangan dalam suatu perjanjian bawah tangan, maka orang yang merasa tidak melakukan penandatanganan, dapat memungkiri hal tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1876 dan Pasal 1877 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1876
Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.
Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1877 KUHPer. Apabila perjanjian dibawah tangan terbukti secara sah dipalsukan tanda tangannya, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat para pihak. Selain secara perdata, pemalsuan tanda tangan juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan sebagai berikut:
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pemalsuan tanda tangan dapat dikategorikan sebagai pemalsuan surat, karena tanda tangan merupakan salah satu bukti adanya persetujuan para pihak. Berdasarkan hal tersebut, maka pemalsuan tanda tangan pada perjanjian bawah tangan dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun apabila memenuhi unsur-unsur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 263 KUHP. Pasal 263 KUHP merupakan delik laporan, sehingga siapapun dapat melaporkan perbuatan tersebut.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.