Pemaksaan Jilbab Pada Siswi di Sekolah
Sekitar bulan Juli 2022 lalu, terdapat kasus pemaksaan jilbab pada salah satu siswi di salah satu sekolah menengah yang berada di Bantul, Yogyakarta. Kasus tersebut berawal ketika siswi tersebut masuk sekolah tanpa mengenakan jilbab. Hal itu membuatnya mendapatkan panggilan dari Bimbingan Konseling (BK) di sekolahnya. Setelah menerima panggilan itu, siswi itu disebut menangis selama 1 (satu) jam di toilet karena depresi. Siswi tersebut juga mengurung dirinya seharian di kamar rumahnya dan tidak mau berbicara dengan keluarga.[1] Praktik ini tidak hanya terjadi di DIY, tapi juga terjadi di sejumlah daerah lain.[2]
Pada dasarnya, Institusi Pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan perlu memperhatikan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Salah satu prinisp yang harus dikedepankan yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Berdasarkan kronologi kasus di atas, secara normatif tidak seharusnya suatu institusi pendidikan memaksa murid-muridnya untuk menggunakan jilbab. Prinsip penyelenggaraan pendidikan yang terdapat dalam UU Sisdiknas, jelas kiranya untuk mengedepankan nilai demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan diselenggarakan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang, tanpa membedakan ras (suku), kepercayaan, warna dan status sosial. Dengan kata lain, setiap individu mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.[3]
Hal ini juga berkaitan dengan hak asasi manusia, dalam konstitusi Pasal 28E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ditegaskan bahwa:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Dalam konsepsi Hak Asasi Manusia yang diterapkan di Indonesia, dikontekskan dengan kebebasan beragama, maka hak yang bersifat freedom to be adalah hak untuk memeluk suatu agama, hak untuk meyakini kebenaran dari suatu agama, hak untuk menafsirkan suatu teks agama dan lain sebagainya. Adapun hak yang bersifat freedom to act adalah hak untuk mengekspresikan atau menyebarkan ajaran agama atau keyakinan masing-masing.[4] Sehingga tidak adanya pemaksaan dari pihak tertentu untuk memeluk dan meyakini ibadah yang akan dijalankan oleh setiap individu tersebut.
Apabila dilihat dari tata tertib sekolah, yang merupakan aturan khusus yang diterapkan di sekolah dan diperuntukkan bagi murid-murid yang ada di sekolah, merupakan bentuk pengejewantahan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah (Permendikbud 19/2007). Dalam lampiran Permendikbud 19/2007 menyatakan bahwa:
Sekolah/Madrasah menetapkan pedoman tata-tertib yang berisi:
- tata tertib pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik, termasuk dalam hal menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana pendidikan;
- petunjuk, peringatan, dan larangan dalam berperilaku di Sekolah/Madrasah, serta pemberian sanksi bagi warga yang melanggar tata tertib.
Tata tertib yang dibuat oleh institusi pendidikan, senantiasa wajib memperhatikan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas. Dengan memperhatikan hak asasi manusia, dalam hal beribadah yang diperuntukkan bagi setiap individu manusia. Hal ini juga sejalan dengan prinsip demokratis yang dimaksud dalam UU Sisdiknas tersebut. Berkaitan dengan pemaksaan penggunaan jilbab pada siswi di Sekolah, merupakan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan sebagai tenaga pendidik. Pengaturan terkait dengan penggunaan jilbab pada saat di sekolah, dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah (Permendikbud 45/2014).
Dalam Permendikbud 45/2014, jilbab dikategorikan sebagai seragam yang harus digunakan bagi sekolah menengah khas Muslimah. Pasal 1 Angka 4 Permendikbud 45/2014 menyebutkan bahwa:
Pakaian seragam khas Muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik Muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.
Sehingga jelas bahwa penggunaan jilbab dikhususkan bagi sekolah menengah khas Muslimah, dan merujuk Lampiran I Permendikbud 45/2014 mengatur mengenai seragam pakaian sekolah menengah yang digunakan oleh Putri yang berisi sebagai berikut:
- kemeja putih, lengan pendek, memakai satu saku di sebelah kiri;
- rok abu-abu dengan lipit hadap pada tengah muka, ritsluiting di tengah belakang, saku dalam bagian sisi rok, di pinggang disediakan tali gesper untuk tempat ikat pinggang, panjang rok 5 cm di bawah lutut; atau rok abu-abu panjang sampai mata kaki, dengan lipit hadap pada tengah muka, ritsluiting di tengah belakang, saku dalam pada bagian sisi rok, di pinggang disediakan tali gesper untuk ikat pinggang;
- ikat pinggang ukuran lebar 3 cm warna hitam;
- kaos kaki putih minimal 10 cm di atas mata kaki;
- sepatu hitam.
Dalam Permendikbud 45/2014 tersebut, tidak terdapat ketentuan yang menjadikan jilbab sebagai item bagi putri yang menempuh pendidikan di sekolah menengah pada umumnya. Maka pemaksaan penggunana jilbab di sekolah merupakan tindakan tidak berdasar hukum, meskipun motif perbuatan tersebut untuk mendekatkan siswa agar lebih agamis dan memiliki karakter yang mulia, tetapi tidak sepatutnya dengan jalan pemaksaan.
Perlu diketahui bahwa Indonesia sebagai negara pluralistik dengan beraneka ragam agama, budaya adat, etnis, suku dan bahasa, menunjukkan bahwa ada keharusan untuk memberikan suatu penghormatan terhadap setiap golongan-golongan tersebut. Begitu halnya dengan kasus pemaksaan penggunaan jilbab ini, Institusi Pendidikan tidak seharusnya menerapkan atau mentafsirkan penyelenggaraan pendidikan dengan hal-hal yang identik dengan keagamaan, meskipun di Indonesia sendiri mayoritas muslim sehingga mengharuskan siswanya menggunakan jilbab. Sementara dalam ketentuan seragamnya, item jilbab tidak diharuskan untuk digunakan dalam mengikuti proses penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian, secara normatif yang berlaku di Indonesia tidak terdapat ketentuan yang mengharuskan adanya penggunaan jilbab dalam proses penyelenggaraan pendidikan pada setiap institusi pendidikan. Tindakan pemaksaan penggunaan jilba tersebut, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia seseorang. Dalam proses penyelenggaraan pendidikan, prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, harus senantiasa ditegakkan.
[1] M. Julnis Firmansyah, 5 Fakta Pemaksaan Jilbab Siswi SMAN 1 Banguntapan: Depresi Hingga Pindah Sekolah, https://nasional.tempo.co/read/1618633/5-fakta-pemaksaan-jilbab-siswi-sman-1-banguntapan-depresi-hingga-pindah-sekolah
[2] Riyan Setiawan, Kasus Pemaksaan Jilbab di Sekolah Masif, Kemendikbud Bisa Apa?, https://tirto.id/kasus-pemaksaan-jilbab-di-sekolah-masif-kemendikbud-bisa-apa-guSw
[3] Fathorrahman, Demokratisasi Pendidikan Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Imuna, Vol. 2, No. 1 Maret 2020.
[4] Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 46-77.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.