Pelepasan Bersyarat Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Pelepasan bersyarat dalam sistem hukum pidana di Indonesia yang juga dikenal dengan istilah pembebasan bersyarat, adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan yang berintegrasi dengan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem hukum pidana, pembebasan bersyarat merupakan bagian dari fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.[1] Ketentuan mengenai pelepasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dengan tujuan pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.[2]

Pelepasan bersyarat diatur dalam Pasal 15 KUHP yang menyatakan bahwa:

  • Orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit 9 (Sembilan) bulan dari pada itu. Kalau si terhukum itu harus menjalani beberapa hukuman penjara berturut-turut, maka dalam hal ini sekalian hukuman itu dianggap sebagai satu hukuman;
  • Pada waktu dilepaskan itu ditentukan pula lamanya tempo percobaan bagi si terhukum itu dan diadakan perjanjian yang harus diturutnya selama tempo percobaan;
  • Tempo percobaan itu lamanya lebih dari setahun daripada sisa hukuman yang sebenarnya dari si terhukum itu. Tempo percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan si terhukum dicabut dengan sah.

Dari rumusan Pasal 15 KUHP tersebut, dapat diartikan bahwa pelepasan bersyarat diberikan terhadap pidana penjara, bukan kurungan. Pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus 9 (sembilan) bulan. Hal yang serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (UUP). Dalam UUP, pembebasan bersyarat merupakan hak Narapidana apabila ia telah memenuhi persyaratan tertentu meliputi berkelakuan baik, aktif mengikuti program Pembinaan dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Lebih lanjut ketentuan Pasal 10 Ayat (3) UUP memberikan syarat yang tidak jauh berbeda dengan Pasal 15 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

  • Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi Narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua pertiga) dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

Tujuan pemberian pelepasan bersyarat ini adalah sebagai salah satu sarana untuk mempercepat kembalinya narapidana ke dalam lingkungan masyarakat sebelum masa pidana penjara yang sesungguhnya berakhir. Selain dari 2 (dua) produk hukum di atas, saat ini pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023). Syarat pelepasan bersyarat dalam UU 1/2023 tidak berbeda dengan Pasal 15 KUHP yang mengharuskan Narapidana menjalani paling singkat 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan agar dapat diberikan pelepasan bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 72 Ayat (1) UU 1/2023.

Selain itu, bagi Narapidana yang mendapatkan pelepasan bersyarat dikenakan masa percobaan selama 1 (satu) tahun. Menariknya dalam UU 1/2023 terdapat syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan 1 (satu) tahun yaitu syarat umum berupa narapidana tidak akan melakukan Tindak Pidana dan syarat khusus berupa narapidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, menganut kepercayaan, dan berpolitik, kecuali ditentukan lain oleh hakim. Namun syarat khusus ini dapat dihapus, diubah, atau diadakan syarat baru yang semata-mata bertujuan untuk pembimbingan narapidana.[3]

Dalam UU 1/2023 juga mengatur alasan pencabutan pelepasan bersyarat apabila sebagai berikut:

  1. Melanggar syarat umum dan syarat khusus atau syarat lainnya yang telah ditetapkan dalam UU 1/2023;
  2. Narapidana dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak habisnya masa percobaan, narapidana dituntut karena melakukan Tindak Pidana yang dilakukan dalam masa percobaan dan dijatuhi pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana denda paling sedikit kategori III.

Adapun mengenai tata cara pelepasan bersyarat harus melengkapi dokumen sebagaimana yang telah diatur secara rinci dalam Pasal 83 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat (Permenkumham 7/2022). Adapun beberapa dokumen tersebut sebagai berikut:

  1. salinan kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;
  2. laporan perkembangan pembinaan sesuai dengan sistem penilaian pembinaan Narapidana yang ditandatangani oleh Kepala Lapas;
  3. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas;
  4. surat pemberitahuan ke kejaksaan negeri tentang rencana pengusulan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana pemasyarakatan yang bersangkutan;
  5. salinan register F dari Kepala Lapas;
  6. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas;
  7. surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
  8. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, Lembaga Sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah, kepala desa, atau nama lain yang menyatakan bahwa:
  9. Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
  10. membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat.[4]

Pasal 84 Permenkumham 7/2022 juga mengatur tata cara pembebasan bersyarat bagi tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika yang diatur dalam Pasal 85 Permenkumham 7/2022 dan tindak pidana korupsi, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang diatur Pasal 86 Permenkumham 7/2022. Pelepasan bersyarat atau pembebasan bersyarat bukan berarti Narapidana telah bebas dari hukumannya, melainkan ada syarat yang harus dipenuhinya agar tidak kembali ke dalam lembaga pemasyarakatan. Seorang narapidana yang telah disetujui untuk dilepas bersyarat, maka untuk selanjutnya pembinaannya menjadi wewenang Balai Pemasyarakatan (Bapas). Narapidana yang dibebaskan secara bersyarat juga mendapatkan pengawasan dari kejaksaan.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.

 

[1] Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, IHC, Jakarta, 2008, hlm. 23.

[2] E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 473.

[3] Pasal 73 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[4] Pasal 73 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.