Pelaksanaan Perjanjian sebelum Tanda Tangan Perjanjian
Pada perkembangannya, masyarakat mulai memiliki kesadaran bahwa segala tindakannya memiliki dampak atau konsekuensi hukum. Salah satu tindakan yang memiliki dampak dan konsekuensi hukum adalah hubungan diantara dua atau lebih pihak, yang pada umumnya diikat dengan perjanjian. Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain atau lebih (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Perikatan lahir karena suatu perjanjian atau undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam membuat sebuah perjanjian tentu saja harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Meskipun pada dasarnya Buku III KUH Perdata bersifat aanvulend recht, namun terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi untuk menentukan sahnya perjanjian salah satunya adalah pasal 1320 yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yang terdiri atas:
- Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Artinya sepakat antara para pihak untuk melakukan suaru perjanjian yang mana atas perjanjian dimaksud terdapat akibat hukum bagi para pihak yang bersepakat
- Cakap untuk membuat perikatan
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut diatas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
- Suatu hal tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
- Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mendefinisikan mengenai Perjanjian secara tertulis, namun jika ditarik secara garis besar sebuah perjanjian dibagi menjadi dua bagian yakni Perjanjian Lisan dan Perjanjian Tertulis. Perjanjian Lisan adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan menyebutkan isi perjanjiannya secara lisan, sedangkan Perjanjian Tertulis adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta dibawah tangan atau akta otentik[1]. Sebuah perjanjian dapat batal atau dinyatakan tidak berlaku apabila tidak sesuai dengan syarat sah-nya suatu perjanjian, seperti yang telah diatur pada pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian dapat dibatalkan apabila syarat subjektif perjanjian tidak terpenuhi, yakni pada poin 1 (satu) dan 2 (dua) yakni tentang harus adanya kesepakatan kedua belah pihak dan cakapnya para pihak untuk membuat perikatan, apabila kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka pihak yang merasa dirugikan dapat meminta untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Pelaksanaan sebuah perjanjian dapat dilakukan sebelum dilakukannya tanda tangan kontrak atau perjanjian, yang artinya terdapat tindakan prakontraktual yang merupakan suatu keadaan dimana telah terdapat tindakan yang dilakukan para pihak walaupun belum terikat secara tertulis dalam sebuah kontrak atau perjanjian. Suatu kontrak atau perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan diantara para pihak, sehingga perumusan hubungan kontraktual diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak biasanya akan mengadakan suatu proses prakontraktual, salah satunya adalah pada saat proses nota kesepahaman atau sering juga disebut dengan istilah “Memorandum ofUnderstanding”(MoU).[2]
Black’s Law Dictionary: mendefinisikan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai dasar penyusunan
kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun
secara lisan
Munir Fuady: memberikan definisi Memorandum of Understanding (MoU) sebagai perjanjian pendahuluan yang
akan dijabarkan dan diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat aturan dan persyaratan secara lebih
detail, sehingga MoU berisi hal-halyang pokok saja
Erman: menyatakan bahwa Memorandum of Understanding (MoU) sebagai dokumen yang memuat pengertian
dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua belah
pihak, sehingga muatan MoU harus dituangkan kembali dalam perjanjian sehingga menjadi kekuatan yang
mengikat.
Secara teori Memorandum of Understanding (MoU) bukanlah merupakan suatu kontrak karena memang masih merupakan kegiatan pra kontrak, Memorandum of Understanding yang dibuat diantara para pihak hanya berisi hal-hal pokok saja, seperti kesepakatan mengenai apa yang menjadi objek perjanjian dan kesepakatan mengenai waktu pengerjaan. Selain itu didalam MoU sendiri hak dan kewajiban dari para pihak tidak dicantumkan, sehingga jika terjadi wanprestasi pihak yang dirugikan tidak bisa menuntut pihak yang melakukan wanprestasi, melainkan hanya bisa memberikan sanksi moral saja. MoU dalam sebuah perjanjian berdasarakan ketentuan pasal 1338 KUHPerdata ditegaskan bahwa perjanjian yang dibuat dengan dasar itikad baik dan tidak bertentangan dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian juga dengan MoU. Walaupun belum memberikan sanksi yang tegas dalam perjanjiannya, akan tetapi karena Memorandum of Understanding itu dibuat memenuhi unsur-unsur perjanjian, maka MoU telah melahirkan hak dan kewajiban yang akhirnya ada sanksi moral sebagaimana yang diingikan pasal 1338 tersebut.
Meskipun dalam suatu tindakan belum terdapat perjanjian, namun dikenal pula istilah persetujuan diam-diam. Persetujuan diam-diam atau silent consent menurut hukum perdata adalah pernyataan kehendak yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dimana yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan/penolakan secara tegas atas tindakan yang dilakukan oleh pihak tersebut kepadanya, sekalipun maksud tersebut sudah diberitahukan. Dengan kata lain, tidak adanya gestur penolakan yang secara tegas terhadap suatu tindakan hukum menyebabkan pihak tersebut dianggap menyetujui tindakan yang dilakukan terhadapnya.
Persetujuan diam-diam termuat dalam Pasal 1347 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”
Mengenai Pasal 1347 KUHPerdata, Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menjelaskan bahwa:
“…hal-hal yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal yang menurut kebiasaan selalu diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.”
Dalam prakteknya, persetujuan diam-diam ini sudah diterapkan oleh peradilan Indonesia, misalnya pada Putusan Mahkamah Agung No. 2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT Dwi Damai dengan PT Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk bermerek Philips. Bermula pada terjadinya hubungan hukum antara keduanya ialah PT Dwi Damai merupakan perusahaan berbadan hukum yang ditunjuk sebagai distributor oleh PT Philips Indonesia untuk menjual dan memasarkan produk-produk Philips yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Distributor tertanggal 8 Maret 2002 dan berlaku hingga tanggal 31 Desember 2003. Namun, setelah jangka waktu perjanjian berakhir para pihak masih tetap melakukan hubungan-hubungan hukum seperti transaksi pemesanan barangdan pembayaran seolah-olah perjanjian belum berakhir. Hubungan-hubungan hukum tersebut terus berlangsung selama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2003 tanpa adanya kesepakatan secara tegas untuk memperbaharui perjanjian tersebut.[3]
[1] https://libera.id/blogs/kontrak-lisan-tetap-legal/
[2] https://media.neliti.com/media/publications/26552-ID-kedudukan-dan-kekuatan-hukum-memorandum-of-understanding-dalam-sistem-hukum-kont.pdf.
[3] https://jurnal.uns.ac.id/privatlaw/article/download/40382/26562.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanLaporan Roy Suryo Atas Ucapan Menteri Agama
Ributnya Dosen dan Rektor ITB, Kampus Menghentikan Kegiatan Kuliah
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.