Pasal 218 RKUHP, Menghidupkan Kembali Pasal Kejahatan Penghinaan Presiden

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus menerus digodog dan tak kunjung disahkan. Akibatnya sampai saat ini Sistem Hukum Pidana Indonesia masih memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan penjajah, dengan beberapa pembenahan di sana sini baik oleh perkembangan zaman maupun oleh Mahkamah Konstitusi.

 

Pengesahan RKUHP yang tak juga dilaksanakan sampai saat ini memberikan kesempatan bagi Legislatif untuk mengutak atik pasal-pasal di dalamnya. Keterbukaan informasi pun membuat masyarakat dapat mengintip pasal-pasal yang ada. Tak ayal, beberapa pasal disinyalir menjadi kontroversi. Salah satu pasal yang menjadi kontroversi adalah Pasal 218 RKUHP yang menyatakan sebagai berikut:

  • Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  • Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal tersebut mengingatkan kembali pada Pasal 134 KUHP yang mengatur:

“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atua Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.”

Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Register Nomor 13-022/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006. Disamping Pasal 134 KUHP, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mengikat.

 

Jika melihat Paal 218 RKUHP, maka yang menjadi unsur dari pasal tersebut adalah:

  1. Setiap orang
  2. Di muka umum
  3. Menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden

Unsur pasal tersebut hampir sama unsurnya dengan pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konsittusi, yaitu Pasal 137 KUHP yang menyatakan:

“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Pembeda dari kedua pasal tersebut adalah konteks penghinaan dalam Pasal 137 KUHP diubah menjadi “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat”. Adapun penjelasan Pasal 218 ayat (1) RKUHP menyatakan:

“Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal), oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.”

Selanjutnya, penjelasan Pasal 218 ayat (2) RKUHP menyatakan:

“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.”

Adanya penjelasan tersebut, memang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi pengajuan kritik, namun demikian penghinaan pada dasarnya bersifat subyektif sehingga tidak menutup kemungkinan pasal tersebut bisa menjadi pasal karet nantinya.

 

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Register Nomor 13-022/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006 diantaranya adalah sebagai berikut:

“Menimbang bahwa selain itu, keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”, karena upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden; Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;”

Pertimbangan tersebut mengisyaratkan bahwa tidak menutup kemungkinan suatu ekspresi terhadap tindakan dan/atau kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan awal mula dari ditemukannya pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, artinya rakyat lebih dahulu menemukan pelanggaran tersebut daripada pihak-pihak yang berwenang. Di samping itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden saat ini adalah pilihan langsung dari rakyat dan keduanya berangkat pula dari rakyat, sehingga sudah sepatutnya rakyat bebas untuk mengawasi pelaksanaan jabatan oleh keduanya.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.