Parate Eksekusi Dalam Fidusia

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia), fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut masih tetap dalam penguasaan pemilik. Dalam pengalihan hak kepemilikan disertai dengan jaminan yang disebut dengan jaminan fidusia. Jaminan fidusia menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan dijadikan sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu. Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang dibuat dengan akta notaris sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 12 ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Kemudian Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima fidusia. Penerima fidusia dapat berupa korporasi atau orang perseorangan yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia. Berdasarkan hal tersebut maka Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan Parate Eksekusi. Parate eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan secara langsung tanpa campur tangan pengadilan atau tidak lagi memerlukan fiat eksekusi atau penetapan pengadilan untuk melaksanakan putusan bagi pihak yang kalah dalam persidangan. Namun, ketentuan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia tersebut dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo pada tahun 2019 dengan putusan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Amar putusan atas permohonan tersebut menyatakan bahwa mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yang diantaranya :

“Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;”

 

Berdasarkan amar putusan tersebut, Sertifikat Jaminan Fidusia tidak memiliki kekuatan hukum Parate Eksekusi sepanjang dalam perjanjian fidusia yang disetujui oleh para pihak tidak memuat ketentuan bahwa apabila terdapat cidera janji (wanprestasi) oleh debitur, maka objek jaminan fidusia akan diserahkan secara sukarela terhadap kreditur. Namun, apabila dalam perjanjian fidusia memuat mengenai kerelaan debitor untuk menyerahkan objek jaminan fidusia apabila ia cidera janji (wanprestasi), maka terhadap objek jaminan fidusia tersebut dapat dilakukan Parate Eksekusi. Dalam UU Jaminan Fidusia, tidak dijelaskan secara spesifik mengenai pengertian perjanjian fidusia, namun perjanjian fidusia dapat diartikan sebagai perjanjian utang piutang antara penerima fidusia (kreditor) dengan pemberi fidusia (debitor) yang melibatkan penjaminan.

Lebih lanjut, syarat-syarat agar dapat dilakukan Parate Eksekusi yaitu :

    1. Debitor melakukan wanprestasi;
    2. Atas kesepakatan dan persetujuan debitor yang telah diperjanjikan sebelumnya;
    3. Hak Parate Eksekusi baru timbul, ketika para pihak tidak memperjanjikan lain mengenai cara untuk melakukan penjualan suatu objek jaminan, hal ini terkait dengan sifatnya yang menambahkan (aanvullenrecht);
    4. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b UU Jaminan Fidusia. Apabila hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia, sedangkan apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar sebagaimana ketentuan dalam Pasal 34 UU Jaminan Fidusia;
    5. Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 UU Jaminan Fidusia. Apabila pemberi fidusia tidak mau menyerahkan obyek jaminan fidusia untuk parate eksekusi, maka langkah yang dapat dilakukan oleh penerima fidusia yaitu dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk menetapkan aanmaning, lalu permohonan penetapan sita eksekusi dan selanjutnya permohonan lelang eksekusi terhadap objek jaminan fidusia.

Akibat hukum dilakukannya parate eksekusi adalah hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia dan musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) UU Jaminan Fidusia.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.