Pajak Pertambangan

Pajak merupakan kontribusi wajib terutang orang pribadi atau badan kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.[1] Salah satu subjek yang dikenakan pajak yaitu orang pribadi atau badan yang membuka bidang usaha. Dalam pembahasan artikel ini akan diuraikan mengenai pajak yang harus dibayarkan oleh badan usaha yang bergerak dalam sektor pertambangan. Macam-macam pajak yang harus dibayarkan oleh badan usaha yang bergerak di sektor pertambangan akan diuraikan sebagai berikut.

A. Pajak Penghasilan

Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral (selanjutnya disebut PP 37/2018) menyatakan bahwa pajak penghasilan badan adalah pajak penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. Objek pajak dibidang usaha pertambangan merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dibidang usaha pertambangan sehubungan dengan hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) PP 37/2018, meliputi :

    1. Pajak penghasilan dari usaha, yaitu pengasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan/pengalihan hasil produksinya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) PP 37/2018. Perhitungan penghasilan ditentukan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) sampai dengan ayat (8) PP 37/2018. Pasal 4 ayat (3) PP 37/2018 menyatakan bahwa penghasilan dari usaha pertambangan, perhitungannya harus menggunakan:
      1. Harga pasar mineral logam;
      2. Harga pasar mineral bukan logam;
      3. Harga pasar batuan; atau
      4. Harga yang sesungguhnya diterima atau diperoleh penjual.
    2. Pajak penghasilan dari luar usaha, yaitu pajak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undnagan di bidang Pajak Penghasilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (9) PP 37/2018. Pajak penghasilan dari luar usaha sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (9) diatur dalam ketentuan Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU Pph) diantaranya sebagai berikut[2] :
      1. Pajak penghasilan Pasal 21 UU Pph (selanjutnya disebut Pph 21) yaitu Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Pph.
      2. Pajak penghasilan Pasal 23 UU Pph (selanjutnya disebut Pph 23) yaitu Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) UU Pph.. Tarif pajak ,tersebut sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen, bunga royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya yang telah diptong Pph 21.
      3. Pajak penghasilan Pasal 26 UU Pph (selanjutnya disebut Pph 26) yaitu Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) UU Pph.

B. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya[3] Ketentuan mengenai PBB diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut UU PBB). Pasal 2 UU PBB menyatakan bahwa obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Kewenangan pemungutan pajak sejak adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Namun, untuk pemungutan PBB dalam sektor pertambangan masih berada dibawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak.[4] Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih sama, yakni sebesar 0,5%.[5] Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).[6]

C. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).[7] Selain dikenakan Pajak Penghasilan dan PBB, usaha dalam sektor pertambangan juga dapat dikenakan PPN jika melakukan pengolahan batubara menjadi briket.[8] Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang kemudian diubah dalam  ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU PPN) yang menyatakan sebagai berikut:

“Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

      1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
      2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
      3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
      4. uang, emas batangan, dan surat berharga.”

D. Royalti Pertambangan

Selain adanya pajak-pajak tersebut, pengusaha pertambangan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah berupa penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana ketentuan dalam Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Minerba). Pasal 128 ayat (4) UU Minerba menyatakan bahwa Penerimaan negara bukan pajak tersebut terdiri atas :

    1. Iuran tetap;
    2. Iuran eksplorasi;
    3. Iuran produksi; dan
    4. Kompensasi data informasi.

Kemudian lebih lanjut besaran penerimaan negara bukan pajak diatur dalam ketentuan Pasal 128A dan Pasal 129 UU Minerba yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 128A

    1. Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128;
    2. Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

Pasal 129

    1. Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.
    2. Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
      1. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);
      2. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
      3. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).

Pasal 102 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128A ayat (1) UU Minerba menyatakan sebagai berikut :

“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka pelaku usaha pertambangan juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap pendapatan negara berupa penerimaan negara bukan pajak sebagaimana ketentuan dalam Pasal 128, Pasal 128A, dan Pasal 129 UU Minerba.

 

[1] https://www.pajak.go.id/id/pajak

[2] Danni Aprianza Helmi, Kewenangan Pemerintah dan Potensi Penerimaan Pajak Pada Sektor Pertambangan, Tulisan Hukum, https://aceh.bpk.go.id/wp-content/uploads/2016/11/TH_Kewenangan-Pemerintah-dan-Potensi-Penerimaan-Pajak-Pada-Sektor-Pertambangan.pdf

[3] https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/pajak-bumi-dan-bangunan

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-ppn

[8] https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/kenali-kewajiban-pajak-perusahaan-tambang/

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.