Pajak Karbon Berlaku 1 April 2022
Beberapa waktu, terdengar informasi mengenai Pemerintah berniat mengimplementasikan pajak karbon pada 1 April 2022 mendatang. Hal tersebut dilakukan untuk menekan emisi karbon yang merupakan bentuk eksternalitas negatif yang menghambat pertumbuhan ekonomi hijau. Kebijakan yang dapat digunakan untuk menanggulangi eksternalitas negatif tersebut yakni melalui carbon pricing atau nilai ekonomi karbon, sebagai pemberian harga atau valuasi atas emisi gas rumah kaca.[1] Dengan begitu, carbon pricing dapat mengkoreksi market failure dengan memanfaatkan kebijakan pasar. Penanganan eksternalitas negatif emisi melalui nilai ekonomi karbon akan dilaksanakan melalui mekanisme cap and trade dan cap and tax. Sehingga, pajak hanya dikenakan pada emisi di atas cap masing-masing sektor.[2]
Pajak karbon yang lahir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021) menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.[3]
Mengacu pada IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Penerapan pajak karbon akan mengenakan pajak dari penggunaan bahan bakar ini. Pajak ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya sebagai upaya untuk mengatasi pemanasan global. Merujuk pada Tax Foundation (2019), pajak karbon juga dianggap pigouvian tax. Pigouvian tax sendiri memiliki pengertian pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif. Eksternalitas negatif adalah aktivitas ekonomi yang menyebabkan dampak negatif pada pihak ketiga. Pajak karbon ini membuat individu yang membeli barang yang dibuat melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Lantaran produksi barang tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan.[4]
Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian Nationally Determined contribution (NDC) Indonesia. NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Pasal 13 Ayat (5) UU 7/2021 menyebutkan mengenai subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Bukan hanya orang saja yang dikenakan pajak karbon ini, melainkan perusahaan atau badan hukum yang memiliki atau menghasilkan aktivitas produksi yang mengandung karbon dapat dikenakan pajak karbon. Lebih lanjut, dalam Pasal 13 Ayat (6) UU 7/2021 menyebutkan bahwa Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk menekan emisi gas rumah kaca yakni Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021). NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.[5] Keberadaan Perpres 98/2021 ini dimaksudkan sebagai dasar penyelenggaraan NEK dan sebagai pedoman pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target NDC dan mengendalikan emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.[6]
Berkaitan dengan pajak karbon, dalam Perpres 98/2021 mengatur mengenai pungutan atas karbon, Pasal 1 Angka 24 menyebutkan bahwa :
Pungutan atas karbon adalah pungutan negara, baik pusat maupun daerah yang dikenakan terhadap barang dan/atau jasa yang memiliki potensi dan/atau kandungan karbon dan/atau usaha dan/atau kegiatan yang memiliki potensi emisi karbon dan/atau mengemisikan karbon yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.[7]
Tata cara mengenai pemungutan atas karbon dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 58 Ayat (1) Perpres 98/2021 menyebutkan bahwa :
Penyelenggaraan NEK melalui pelaksanaan Pungutan Atas Karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c dilakukan dalam bentuk pungutan di bidang perpajakan baik pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, serta pungutan negara lainnya, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim.
Berdasarkan 2 (dua) ketentuan tersebut, pungutan atas pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam perpajakan. Bentuk pungutan atas karbon dilakukan baik ditingkat pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai serta pungutan negara lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pungutan atas karbon tersebut sangat luas, bisa dilakukan ditingkat daerah maupun tingkat pusat serta pungutan tersebut disesuaikan dengan kandungan karbon yang terdapat dalam suatu produk atau barang. Sehingga pengaturannya pun, akan menjangkau kebijakan perpajakan daerah dan pusat kedepannya.
Secara pengawasan, dalam Perpres 98/2021 mengatur mengenai pemantauan dan evaluasi terhadap pengurangan emisi karbon yang bertujuan untuk mencapai target NDC tahun 2030. Dalam Pasal 78 Ayat (2) Perpres 98/2021 mengatur mengenai pemantauan dan evaluasi ini dilakukan terhadap :
- pelaksanaan inventarisasi GRK;
- pelaksanaan Mitigasi Perubahan Iklim;
- pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim;
- penyelenggaraan NEK;
- pelaksanaan kerangka transparansi; dan
- pelaksanaan pembinaan.
Pemantauan dan evaluasi ini dilakukan oleh Menteri untuk pemantauan dan evaluasi nasional, Gubernur untuk pemantauan dan evaluasi provinsi, Bupati/Walikota untuk pemantauan dan evaluasi kabupaten/kota dan Pelaku Usaha untuk pemantauan dan evaluasi perusahaan di area usaha dan/atau kegiatannya.
Dengan demikian, pengaturan pajak karbon belum sepenuhnya mengatur terkait dengan tata cara pemungutan. Ketentuan perpajakan yang terdapat dalam UU 7/2021 hanya memberikan pengaturan secara umum mengenai pajak karbon. Sementara dalam Perpres 98/2021 lebih mengatur mengenai proses penyelenggaraan nilai ekonomi karbon terhadap penekanan emisi gas rumah kaca. Mengenai pungutan atas karbon sendiri tidak diatur terkait tata cara pemungutannya. Berkaitan dengan pengawasan atas pajak karbon, belum terlihat pengaturannya dari 2 (dua) ketentuan tersebut. Pasalnya, penerapan mengenai pajak karbon tersebut diberlakukan ditingkat pusat dan daerah. Sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan pajak karbon ini harus jelas dan tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan lainnya.
[1] Kontan.co.id, Mengenal Lebih Dekat Pajak Karbon yang Bakal Diterapkan pada 1 April 2022, https://nasional.kontan.co.id/news/mengenal-lebih-dekat-pajak-karbon-yang-bakal-diterapkan-pada-1-april-2022#:~:text=Pajak%20karbon%20akan%20ditetapkan%20secara,(COe2)%20atau%20satuan%20setaranya.
[2] Ibid.
[3] Kemenkeu RI, Pajak Karbon Sebagai Instrumen Pengendali Perubahan Iklim, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pajak-karbon-sebagai-instrumen-pengendali-perubahan-iklim/
[4] Endra Wijaya Pinatuh, Pajak Karbon, Indonesia Wajib Memulai, https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-karbon-indonesia-wajib-memulai
[5] Pasal 1 Angka 2 Perpres 98/2021
[6] Pasal 2 Ayat (1) Perpres 98/2021
[7] Pasal 1 Angka 24 Perpres 98/2021
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengurus PPPSRS Rumah Susun Campuran
Laporan Roy Suryo Atas Ucapan Menteri Agama
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.