Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.[1] (UU PBB beserta perubahannya). Menurut Mardiasmo, Bumi adalah suatu permukaan yang ada dibumi dan memiliki tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi yang ada meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan.[2]
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) adalah pajak atas suatu bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.[3] PBB-P2 awalnya merupakan pajak pusat, tetapi kemudian diserahkan kepada daerah untuk dikelola oleh masing-masing daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mengatur mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sehingga hal tersebut dapat dimaknai bahwa PBB-P2 menjadi pajak daerah.[4]
Pengelolaan PBB-P2 ditingkat daerah menjadi kewenangan dari Dinas Pendapatan Daerah, yang merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Salah satu fungsi dan tugas pokok Dinas Pendapatan Daerah ialah melaksanakan pengalihan PBB-P2. Sehingga dikarenakan PBB-P2 merupakan sumber pendapatan keuangan daerah, maka pengelolaan pajak dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah yang terdapat di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
Dapat diketahui bahwa Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Terakhir, diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Sehingga berkaitan dengan obyek pajak dari PBB-P2 ini, mengacu pada ketentuan Pasal 77 Ayat (1) UU PDRD yang menyebutkan mengenai yang dimaksud obyek pajak, bahwa:
(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 77 Ayat (2) UU PDRD memberikan kategorisasi terhadap yang dimaksud dengan bangunan, sebagai berikut:
(2) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
- jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
- jalan tol;
- kolam renang;
- pagar mewah;
- tempat olahraga;
- galangan kapal, dermaga;
- taman mewah;
- tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
- menara
Sementara itu, ketentuan Pasal 78 UU PDRD juga menyebutkan mengenai subyek pajak dari PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.[5] Dengan demikian yang berkewajiban membayar PBB-P2 bukan saja yang memanfaatkan Bumi dan Bangunan, tetapi juga penyewa atau siapa saja yang memanfaatkan Bumi dan Bangunan.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada wajib pajak.[6] SPPT diterbitkan atas dasar SPOP. Namun, untuk membantu wajib pajak SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada.
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), yang merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk obyek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.[7]
Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.[8] Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif PBB-P2 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan dasar pengenaan pajak (NJOP) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud, yaitu paling rendah sebesar Rp 10.000.000,00 untuk setiap wajib pajak.[9]
Dengan demikian, pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan saat ini diatur dalam UU PDRD. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu pendapatan asli daerah, pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan memperhatikan NJOP yang ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan bersama dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
[1] Widodo, ett all, Pajak Bumi dan Bangunan untuk Para Pratisi, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010.
[2] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit: Andi, Yogyakarta, 2009.
[3] Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[4] Aulia Fitri Rahdania, etc all, Peranan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, Jurnal UNDIP, Volume 6, I, (2017)
[5] Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[6] Pasal 1 Angka 54 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[7] Pasal 79 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[8] Pasal 80 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[9] Penjelasan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanGagal Bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera Tak Kunjung Usai
Perbedaan Yurisprudensi dan Preseden

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.