NOVUM
Istilah novum atau novi berasal dari bahasa latin yang berarti sesuatu yang baru atau fakta baru, termasuk juga keadaan hukum yang baru. Istilah lengkap novum dalam bahasa latin yaitu noviter perventa yang berarti fakta baru yang ditemukan, yang biasanya diperbolehkan untuk diajukan ke dalam suatu kasus meskipun setelah proses pembelaan dilakukan atau selesai.[1] Novum merupakan salah satu alasan atau keadaan tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali. Pengertian novum menurut Pasal 263 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah:
“apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, unsur novum sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali pada intinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) unsur, antara lain sebagai berikut:[2]
- Unsur keadaan baru
Selama ini novum sering disalah artikan sebagai bukti baru. Pada kenyataannya, novum menurut ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP disebut dengan istilah keadaan baru. ruang lingkup keadaan baru tidak hanya terbatas pada bukti baru saja, namun lebih luas daripada itu. Bukti baru dapat disebut sebagai novum, tetapi novum tidak dapat disebut sebagai bukti baru saja. Novum yang berupa bukti baru adalah sejumlah bukti baru sebagaimana ditentukan secara limitatif oleh undang-undang.
Menurut KUHAP, bukti dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu alat bukti dan barang bukti. Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP dibagi menjadi lima jenis yaitu:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk; dan
- Keterangan terdakwa.
Sedangkan barang bukti (corpus delicti) menurut para sarjana hukum seperti Ansori Sabuan, Syarifuddin Petanase dan Ruben Achmad mendefinisikan barang bukti sebagai barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa bukti yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan adalah minimal 2 (dua) alat bukti. Berdasarkan hal tersebut, maka hakim dalam hal menjatuhkan pidana apabila permohonan Peninjauan Kembali didasarkan pada novum berupa bukti baru dalam bentuk alat bukti, maka hakim juga terikat dengan ketentuan minimun pembuktian. Jika bukti baru tersebut berupa ditemukannya barang bukti baru, maka barang bukti tersebut terlebih dahulu di konversikan kedalam bentuk alat bukti agar memiliki kekuatan pembuktian yang sah.
- Unsur menimbulkan dugaan kuat
Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP menyatakan bahwa novum yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah novum dengan keadaan yang dapat menimbulkan dugaan kuat, dimana jika keadaan itu diketahui sewaktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Dalam menilai novum yang diajukan, hakim juga terikat dengan fakta-fakta atau keadaan-keadaan yang terungkap saat persidangan sebelum putusan berkekuatan hukum tetap berlangsung. Menurut Komariah Emong Sapardjaja, novum tidak pernah sama antara satu dengan yang lainnya karena dapat berupa apa saja, oleh karena itu sebaiknya novum yang diajukan benar-benar merupakan hal baru yang bersifat susbtansial, yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan.
Novum yang diterima sebagai dasar atau alasan pengajuan Peninjauan Kembali harus memiliki kualitas meniadakan kesalahan apabila diajukan oleh terpidana sebagai pemohon Peninjauan Kembali. Jika pemohon Peninjauan Kembali bukan terpidana atau ahli warisnya yang berkepentingan, maka novum yang diajukan harus memiliki kualitas yang pantas dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh novum yang menimbulkan dugaan kuat untuk mengarah pada syarat putusan bebas adalah jika seorang terpidana tindak pidana pembunuhan yang dipidana berdasarkan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengajukan novum berupa surat hasil laboratorium yang menunjukkan bahwa korban telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum terpidana membunuhnya. Novum yang diajukan tersebut dapat menyebabkan unsur “menghilangkan nyawa orang lain” menjadi tidak terpenuhi.
Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 14/1985) menyatakan bahwa permohonan Peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan salah satunya sebagai berikut:
“b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;”
Selanjutnya Pasal 69 huruf b UU 14/1985 menyatakan bahwa tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari salah satunya untuk:
“b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;”
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata”, terdapat 4 (empat) bagian yang dapat dijelaskan terkait dengan Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b UU 14/1985, yaitu:[3]
- Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini terbatas hanya pada bentuk Alat Bukti Surat.
- Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini, harus bersifat menentukan.
- Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan pejabat yang berwenang.
- Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.
Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata yang diajukan dengan alasan telah ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan (novum) yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk harus melakukan penyumpahan terhadap Pemohon Kasasi atau Penemu Novum mengenai hari, tanggal dan tahun ditemukannya novum tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b UU 14/1985. Penyelenggaraan pengambilan sumpah tersebut tidak perlu dilakukan dalam sebuah persidangan. Pengadilan wajib membuat berita acara penyumpahan tersebut dan selanjutnya wajib dikirimkan ke Mahkamah Agung.[4]
[1] Ajeng Tri Wahyuni. “Kualifikasi Keadaan Baru (Novum) Sebagai Dasar Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali: Analisa Putusan MA No. 109/PK/PID/2007; Putusan No. 57/PK/PID/2005; dan Putusan No. 39/PK/PID/2006”. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok. 2008. Hal. 59.
[2] Ibid. hal. 63, 78
[3] Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. “Tentang PK (Peninjauan Kembali)”. 2009. https://new.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4a0bd93d0f7ac/tentang-pk-peninjauan-kembali-/
[4] Made Rawa Aryawan (Panitera Mahkamah Agung RI). “Kapita Selekta Kebijakan Penanganan Perkara Mahkamah Agung RI: Penegasan Ulang Beberapa Ketentuan Terkait Penanganan Perkara di Pengadilan”. 2017. Hal. 5.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanAlat Bukti CCTV dan/atau Rekaman
Penangkapan Munarman, Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI),...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.