Netralitas Pejabat dalam Pemilu 2024 Saat Presiden Jokowi Nyatakan Dirinya Boleh Berpihak Karena Sebagai Pejabat Publik dan Pejabat Politik

Netralitas Pejabat Dalam Pemilu

Beberapa waktu lalu, ramai diperbincangkan tentang jawaban Presiden Jokowi dalam suatu wawancara yang menyatakan dirinya boleh berkampanye karena dirinya adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik.[1] Hal tersebut sontak membuat rakyat terkejut, bahkan beberapa akademisi dan universitas menggelar deklarasi yang isinya memperingatkan Presiden Jokowi tentang etika dan moral pejabat, terutama dalam pemilu.[2]

Jika melihat kembali dalam berita-berita di tahun sebelumnya, ternyata Presiden Jokowi juga telah memberikan pernyataan yang sama pada Mei 2023, bahwa dirinya sebagai Pejabat Publik dan Pejabat Politik dapat memihak.[3] Meski demikian, pernyataannya kali ini tidak dapat luput dari kritikan, mengingat pemilu sudah sangat dekat dan masih lekat di ingatan rakyat ketika anaknya mendaftar sebagai Calon Wakil Presiden. Pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden tidak lain atas dasar putusan judicial review batasan umur Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Tidak hanya karena Ketua Mahkamah Konstitusi adalah ipar dari Presiden Jokowi, melainkan karena telah terbukti pula adanya pelanggaran etik dalam pemeriksaan dan penjatuhan putusan tersebut dalam Mahkamah Konstitusi.

Dalam keterangannya terbaru, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dirinya tidak akan berkampanye.[4] Di samping itu, ia juga mengingatkan kepada seluruh aparatur untuk tetap netral. Seluruh instansi pemerintah juga telah secara tegas melarang para pejabatnya untuk melakukan kampanye, atau dengan kata lain harus bersikap netral. Bahkan, beberapa gerakan sudah dilarang. Kini para pejabat dan Aparatur Sipil Negara harus berhati-hati dalam mengambil foto atau apapun itu.

 

Pengertian Pejabat Publik dan Pejabat Partai

Berdasarkan pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan dirinya sebagai pejabat publik dan pejabat partai, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut “UU Pemilu”), tidak memberikan pengertian ataupun menyebut kedua istilah tersebut. Meski demikian, pengertian pejabat publik dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut “PP 61/2010”) memberikan pengertian pejabat publik sebagai:

Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada Badan Publik.”

Sedangkan Badan Publik diartikan dalam Pasal 1 butir 2 PP 61/2010 yang menyatakan:

Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Dengan demikian, pejabat publik tidak hanya pejabat-pejabat yang ada dalam lembaga eksekutif, melainkan juga lembaga legislatif.

Di sisi lain, pejabat partai adalah setiap orang yang memiliki jabatan dari suatu partai. Presiden Jokowi sendiri merupakan kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (selanjutnya disebut “PDIP”) yang memang telah menjadi salah satu partai yang mengusungnya menjadi presiden sejak tahun 2014.

 

Dasar Hukum Netralitas Dalam Pemilu

UU Pemilu tidak menyebutkan dengan spesifik pengertian netralitas. Hanya saja, dalam Pasal 93 huruf f, disebutkan bahwa Badan Pengawas Pemilu memiliki tugas untuk mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas Kepolisian Republik Indonesia.

Adapun terkait pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam suatu pemilu dapat dilihat dalam Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur:

Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikrrtsertakan:

  1. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstihrsi pada Mahkamah Konstitusi;
  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan pemeriksa Keuangan;
  3. Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
  4. Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
  5. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  6. Aparatur sipil negara;
  7. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  8. Kepala desa;
  9. Perangkat desa;
  10. Anggota badan permusyawaratan desa; dan
  11. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih

Bahkan selanjutnya Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu memberikan hak kepada Presiden untuk melakukan kampanye dengan syarat sebagai berikut:

Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:

  1. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Artinya, seorang Presiden pada dasarnya dapat melakukan kampanye, namun harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya. Sayangnya, bahkan salah satu Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang sedang menjabat Menteri, tetap menduduki jabatannya tersebut meski telah masuk dalam masa kampanye tanpa mengajukan cuti. Padahal seorang Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tentu sedang berkampanye baik langsung maupun tidak langsung.

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya netralitas pejabat dalam pemilu memang hanya diperuntukkan bagi beberapa pejabat publik dalam beberapa jabatan. Namun demikian, Presiden tetap dapat melakukan keberpihakan atau bahkan kampanye dengan tetap harus mematuhi ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, petisi dan deklarasi tersebut tidak lain terjadi karena masuknya Gibran Rakambuming Raka sendiri dalam bursa Capres dan Cawapres sendiri sudah membawa kontroversi, sehingga keberpihakan Presiden Jokowi yang notabene adalah ayahnya pun tentunya menjadi hal yang dipertanyakan oleh banyak pihak.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

[1] https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7157946/ini-aturan-presiden-boleh-kampanye-memihak-yang-disebut-jokowi

[2] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72g6e8x7nzo

[3] Gilang Galiartha, https://www.antaranews.com/berita/3520890/jokowi-saya-pejabat-publik-sekaligus-pejabat-politik

[4] Dian Erika Nugraheny, Ihsanuddin, https://nasional.kompas.com/read/2024/02/07/11360701/jokowi-saya-tidak-akan-berkampanye

 

Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu; Netralitas pejabat dalam pemilu

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.