Mural dan Ancaman Pidana yang Membayangi

Beberapa hari terakhir, publik diramaikan dengan berita adanya mural bergambar wajah mirip Presiden Joko Widodo yang bagian matanya ditutupi tulisan “404:Not Found”. Mural tersebut terletak di sekitar wilayah Batuceper, Tangerang, Banten tepatnya diterowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Sekarno Hatta.[1] Mural tersebut menjadi viral sehingga diketahui oleh kepolisan dan jajaran aparat terkait. Polisi dan jajaran aparat terkait kemudian menghapus mural itu dan menimpanya menggunakan cat warna hitam.[2] Kepolisian memburu dan mengancam akan mempidanakan pelaku pembuat mural. Hal tersebut  menuai kritik dari warganet yang mengannggap bahwa langkah kepolisian berlebihan dan dinilai mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai tindakan penghapusan mural yang dilakukan oleh kepolisian merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi karena semakin menyempitnya ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat serta pemerintah bersikap anti kritik.[3]

Karya mural diruang publik sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Mural biasanya digunakan untuk mempercantik tampilan dinding atau permukaan luas yang bersifat permanen. Berdasarkan sejarahnya, mural merupakan karya seni yang telah ada sejak 30.000 (tiga puluh ribu) Sebelum Masehi (SM).[4] Karya seni mural pertama kali ditemukan di sebuah dinding gua di Chauvet, Prancis. Lukisan dinding tersebut terus bermunculan hingga dizaman Paleolitik Atas seperti yang ditemukan di Mesir pada 3150 SM, di Pompeii pada 100 SM hingga 79 SM dan di Milan pada 1700-1600 SM.[5] Seiring berjalannya waktu, karya seni mural mengalami perkembangan hingga muncullah teknik seni mural modern yang dipelopori oleh Diego Rivera, David Siqueiros dan Jose Arozco dari Meksiko.[6] Seniman mural juga mulai beralih pada media dinding diluar ruangan sebagai sarana untuk menyampaikan ekspresi sosial serta biasanya digunakan untuk menyampaikan kritik sosial dalam bentuk seni.

Mural yang dilukiskan di dinding terowongan Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta merupakan bentuk kritikan pelukis terhadap Presiden Joko Widodo. Menurut pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna, mural 404 Not Found Jokowi itu dibuat untuk mengkritik presiden Jokowi sebagai sosok yang memegang kendali terkait persoalan Covid-19 di Indonesia. Hal tersebut menjadi ancaman ketika kepolisian memburu pelaku dan menyatakan ancaman pidana terhadap pelakunya.[7] Namun, Polres Metro Tangerang Kota kemudian menegaskan bahwa kepolisian tidak akan menindaklanjuti kasus tersebut, karena mural tersebut masuk dalam ranah peraturan daerah dengan pelanggaran terhadap pasal ketertiban umum dan tidak memenuhi unsur pidana.[8] Walaupun sebelumnya diberitakan bahwa kepolisian melakukan penyelidikan terhadap pembuat mural, namun saat ini kepolisian menegaskan bahwa tidak akan menindaklanjuti temuan mural bergambar wajah Presiden Joko Widodo tersebut. Saat ini mural tersebut telah dihapus oleh petugas keamanan dan ketertiban Kecamatan Batu Ceper, Tangerang.[9] Mural tersebut dianggap melanggar ketentuan dalam Peraturan Walikota Tangerang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Pendapat di Muka Umum di Kota Tangerang dan dalam Perda tersebut tidak ada sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku.

Namun, berbeda halnya apabila kritikan melalui karya mural dilakukan terhadap lambang negara. Disebutkan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU 24/2009) bahwa lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila. Larangan terhadap lambang negara Indonesia diatur dalam Pasal 57 UU 24/2009 yang menyatakan sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang:

    1. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina,atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
    2. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
    3. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
    4. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sanksi terhadap orang yang melakukan pelanggaran terhadap lambang negara dapat diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 68 dan Pasal 69 UU 24/2009 yang menyatakan bahwa:

Pasal 68

Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud alam Pasal 57 hurud a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:

    1. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
    2. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
    3. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka mural yang melanggar aturan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 57 juncto Pasal 68 dan Pasal 69 UU 24/2009 dapat diancam dengan pidana penjara denda sebagaimana ketentuan dalam undang-undang tersebut. Berbeda hal dengan mural yang menggambarkan wajah menyerupai Presiden Joko Widodo, sebelumnya Polisi menyatakan bahwa Presiden merupakan lambang negara.[10] Namun, berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa Presiden bukan lambang negara Indonesia, sehingga pembuat mural mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan “404:Not found” tidak dapat dikenakan sanksi pidana sebagai bentuk pelecehan terhadap lambang negara sebagaimana ketentuan dalam UU 24/2009.

Selain itu, apabila terdapat pengaduan dari korban yakni Joko Widodo sebagai Presiden selaku penguasa umum atas mural tersebut, maka pembuat mural dapat dikenakan Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila tidak ada aduan dari pihak terkait. Pasal 207 KUHP menyatakan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Namun, hal tersebut tidak dapat digunakan ancaman pidana terhadap pembuat mural apabila tidak ada pengaduan dari korban yang dalam hal ini adalah Presiden selaku penguasa umum, sebab Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 memutuskan bahwa penggunaan Pasal 207 KUHP harus dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht) atau dalam artian Pasal 207 KUHP merupakan delik aduan.

[1] https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/15/172900965/ramai-soal-mural-mural-dihapus-begini-sejarah-mural?page=all

[2] Ibid.

[3] https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/611e5ce994b74/pakar-nilai-pembuat-mural-jokowi-404-not-found-tidak-bisa-dipidana

[4] https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210817151231-241-681522/sejarah-mural-goresan-indah-penampung-resah

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/611e5ce994b74/pakar-nilai-pembuat-mural-jokowi-404-not-found-tidak-bisa-dipidana

[8] https://www.merdeka.com/peristiwa/tak-memenuhi-unsur-pidana-kasus-mural-jokowi-404-not-found-dihentikan-polisi.html

[9] Ibid.

[10] https://www.kompas.tv/article/201697/polisi-buru-pembuat-mural-jokowi-404-not-found-undang-undang-tidak-sebut-presiden-lambang-negara

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.