Mic Dimatikan Dalam Gedung DPR: Musyawarah Dan Tata Cara Rapat Paripurna DPR

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, kali ini ia kembali mematikan mikrofon anggota DPR yang sedang berbicara mengenai sanksi bagi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dimatikannya microfon tersebut berawal dari Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Amin AK yang sedang menyampaikan pendapatnya. Dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Selasa, 24 Mei 2022, Amin AK menyebut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum mengatur tidak pidana seksual secara komprehensif.[1] Aksi Puan Maharani tersebut tentunya mendapat banyak sorotan dari masyarakat luas. Lantas bagaimanakah tindakan Puan Maharani tersebut apabila dinilai dari segi hukum?

  1. Pengaturan mengenai rapat musyawarah DPR RI

Keberadaan DPR merupakan bagian dari penegakan konstitusi di Indonesia, dalam hal ini DPR memiliki kewenangan untuk membentuk, membahas, menyusun dan mengesahkan suatu perundang-undangan sebagaimana kewenangannya yang dimaksud dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sehingga berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, maka DPR RI perlu mengadakan suatu pembahasan bersama dalam membentuk, membahas, menyusun dan mengesahkan suatu perundang-undangan tersebut.

Mengenai musyawarah atau rapat yang diselenggarakan oleh DPR RI dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 142 Ayat (1) dan (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib (Peraturan DPR 1/2020), yang menyebutkan bahwa:

  • Pembahasan rancangan undang-undang (dua) tingkat pembicaraan;
  • 2 (dua) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden; dan
  2. Tingkat II dalam rapat paripurna DPR.

Diketahui bahwa diadakannya rapat paripurna DPR RI, apabila hasil pembicaraan tingkat I atas pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan komisi, gabungan komisi, badan legislasi, badan anggaran atau panitia khusus dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II untuk mengambil keputusan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 Ayat (1) Peraturan DPR 1/2020. Rapat Paripurna DPR RI adalah rapat Anggota yang dipimpin oleh pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR RI.[2]

Rapat Paripurna sendiri terdapat dalam Pasal 256 Peraturan DPR 1/2020, yang menyebutkan bahwa:

  • Rapat paripurna DPR adalah rapat anggota yang dipimpin oleh pimpinan DPR dan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang Pimpinan DPR.
  • Rapat paripurna DPR merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR, kecuali rapat paripurna DPR pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (3);
  • Setiap rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diawali dengan sesi penyampaian aspirasi daerah pemilihan dari setiap anggota;
  • Selama penyelenggaraan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semua alat kelengkapan DPR dilarang mengadakan rapat atau kegiatan lain;
  • Dalam setiap pembukaan rapat paripurna DPR, lagu kebangsaan Indoensia Raya wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan;
  • Dalam rapat paripurna, setiap anggota diberi waktu untuk bicara atau mengajukan pertanyaan paling lama 5 (lima) menit dan bagi juru bicara diberi waktu paling lama 7 (tujuh) menit dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebijaksanaan ketua rapat.
  1. Pengaturan mengenai tindakan mematikan mic saat rapat DPR

Perlu diketahui bahwa sifat rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup. Mengenai tata cara rapat di DPR, diatur dari ketentuan Pasal 279 sampai dengan Pasal 286 Peraturan DPR 1/2020. Mengenai topik permasalahan mengenai hak bersuara dalam persidangan paripurna dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur terkait tata cara permusyawaratan Pasal 292 sampai dengan Pasal 300 Peraturan DPR RI 1/2020. Berkaitan dengan microfon yang dimatikan oleh Ketua Rapat Puan Maharani, merupakan hak dari Ketua Rapat yang terdapat dalam Pasal 296 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa:

  • Ketua rapat dapat membatasi lamanya pembicara melakukan interupsi sebagaiman dimaksud pada ayat (1)

Mengenai innterupsi yang dimaksud berupa meminta penjelasan tentang persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan, menjelaskan persoalan yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan/atau tugasnya, mengajukan usul prosedur mengenai persoalan yang sedang dibicarakan, atau mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara.[3] Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 295 Peraturan DPR RI 1/2020, juga memberikan kewenangan terhadap Ketua Rapat sebagai berikut:

  1. Ketua rapat dapat memperpanjang dan menentukan lamanya perpanjangan waktu anggota rapat berbicara;
  2. Ketua rapat memperingatkan pembicara untuk mengakhiri pembicaraan apabila seorang pembicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan dan/atau menyampaikan suatu hal yang tidak relevan dengan agenda rapat.

Dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Peraturan DPR RI 1/2020 tidak terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa ketua rapat dapat mematikan microfon pembicara, dalam ketentuan Pasal 294 Peraturan DPR RI 1/2020 mengatur masalah ini sebagai berikut:

  1. Anggota rapat berbicara setelah dipersilahkan oleh ketua rapat
  2. Pembicaran dalam rapat tidak boleh diganggu selama berbicara.

Namun, dalam Peraturan DPR RI 1/2020, tidak mengatur mengenai sanksi apabila adanya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR RI saat sedang mengikuti proses persidangan. Dalam hal ini, mematikan microfon pembicara yang dilakukan oleh Puan Maharani sebagai Ketua Rapat, dapat diasumsikan bahwa perbuatan tersebut merupakan gangguan terhadap pembicara. Mengenai perbuatan mematikan microfon tersebut melanggar etika dalam persidangan, sehingga akan menimbulkan konflik antar sesama anggota DPR RI.

Sehingga penegakan terhadap peraturan terkait tata tertib ini haruslah sungguh-sungguh dilaksanakan dan dijalankan karena hal ini bukan hanya kepentingan politik saja melainkan juga kepentingan masyarakat Indonesia. Namun demikian, terdapat pula sumber yang mengatakan bahwa microfon yang biasa digunakan angota rapat dalam ruang paripurna memang telah diatur untuk hanya menyala selama 5 menit.[4] Atas hal tersebut, apabila anggota berbicara lebih dari 5 menit, maka secara otomatis microfon akan mati. Dengan demikian, matinya microfon apabila anggota berbicara lebih dari 5 menit, maka tidak berarti ketua rapat mematikan microfon.

 

[1] Asep Saripudin, Lagi, Puan Maharani Matikan Mic Saat Anggota DPR Singgung Sanksi LGBT, Netizen: Bahaya Kalau Jadi Presiden, https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-144561732/lagi-puan-maharani-matikan-mic-saat-anggota-dpr-singgung-sanksi-lgbt-netizen-bahaya-kalau-jadi-presiden?page=2

[2] Dewan Perwakilan Rakyat,Bagian Persidangan Paripurna, https://www.dpr.go.id/setjen/index/id/Tentang-BAGIAN-PERSIDANGAN-PARIPURNA

[3] Pasal 296 Ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib

[4] Radityo Priyasmoro, Puan Diduga Kembali Matikan Mikrofon Anggota Saat Rapat, Ini Penjelasan DPR, https://www.liputan6.com/news/read/4971266/puan-diduga-kembali-matikan-mikrofon-anggota-saat-rapat-ini-penjelasan-dpr

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.