Menikah Lagi Tanpa Sepengetahuan Istri, Adakah Pidannya?

Menikah Lagi Tanpa Sepengetahuan Istri tidak jarang menjadi topik yang banyak dipertanyakan. 27 Oktober 2023 adalah hari yang bersejarah bagi perempuan dengan inisial IAA. bagaimana tidak, IAA rela melakukan perjalanan jauh ke Kelurahan Sei Sikambing Kecamatan Petisah, Medan, Sumatera Utara untuk menemui suaminya dengan inisial ADP yang sedang melakukan proses ijab kabul pernikahan dengan perempuan lain atas nama Octa tanpa izin terlebih dahulu kepada IAA selaku istri pertama[1]. Berita itupun viral di sosial media dan banyak mendapatkan komentar-komentar masyarakat. Lantas bagaimana sih tinjauan hukum dari berita tersebut?

 

Tinjauan pertama adalah terkait pernikahan seorang laki-laki untuk yang kedua kalinya ketika dirinya masih terikat dalam hubungan pernikahan yang pertama. Pernikahan di Indonesia menganut asas monogami yang selaras dengan Pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan), yang mengatur bahwa:

  • Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
  • Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sehingga, perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah beristri haruslah memenuhi persyaratan. Syarat utamanya yaitu sang suami harus dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Sedangkan suami yang tidak dapat berlaku adil atau tidak dapat memenuhi syarat utama tidak diperkenankan memiliki istri lebih dari seorang.[2]

 

Pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki yang ingin beristri lebih dari seorang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Apabila pernikahan kedua, ketiga, keempat seorang suami tidak disertai dengan izin dari Pengadilan Agama maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.[3] Lebih lanjut, tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57 menjelaskan ketentuan Pengadilan Agama memberikan izin suami beristri lebih dari seorang apabila:

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

 

Hal yang tidak kalah penting selain perizinan poligami dari Pengadilan Agama, yaitu izin dari istri serta kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.[4] Pernyataan izin dari istri tersebut dapat dilakukan secara tertulis ataupun secara lisan, yang kemudian digunakan suami untuk mengajukan permohonan beristri lebih dari seorang kepada Pengadilan Agama.

 

Tidak hanya ditinjau berdasar hukum keperdataan, peristiwa tersebut juga dapat  ditinjau dari sudut pandang hukum pidana. Suami yang menikah tanpa izin dari Pengadilan Agama adalah melanggar ketentuan Pasal 279 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang selanjutnya disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

  • Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang sah untuk itu; barangsiapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk itu.
  • Jika melakukan perbuatan yang diterangkan, menyembunyikan kepada pihak lainnya bahwa perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Sayangnya tidak dipungkiri, banyak para suami yang melakukan pernikahan kedua, ketiga, dst tanpa meminta izin kepada istrinya atau bahkan mengaku belum pernah menikah. Pengakuan seorang laki-laki yang menyatakan belum pernah menikah padahal sudah pernah melakukan perkawinan sebelumnya maka termasuk dalam pemalsuan identitas atau salah sangka pada diri suami atau istri. Perkawinan yang demikian dapat diajukan pembatalan perkawinan sesuai dengan Pasal 27 Ayat (2) UU Perkawinan.

 

Selanjutnya seseorang yang sengaja melakukan pemalsuan identitas sebagaimana Pasal 66 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang berbunyi “setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain”. Sanksi hukum bagi seseorang yang melanggar ketentuan Pasal di atas dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah)[5].

 

Kemungkinan lainnya seorang lak-laki yang ingin beristri lebih dari seorang dapat juga memberikan pengakuan duda dengan memberikan bukti putusan pengadilan. Bukti pengadilan tentang status dudanya yang belum tentu kebenarannya harus diperiksa lebih lanjut dan memerlukan konfirmasi kepada lembaga peradilan terkait. Sedangkan, apabila laki-laki tersebut terbukti memalsukan bukti pengadilan tentang status dudanya maka laki-laki tersebut termasuk memalsukan dokumen. Perilaku seperti dijelaskan tersebut juga melanggar ketentuan KUHP, UU Administrasi Kependudukan, dan/atau UU PDP seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

 

Pasal 263 KUHP menjelaskan “barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

 

Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) memberikan ketentuan pula terkait pemalsuan dokumen, bahwa: “setiap penduduk yang sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.

 

Dapat disimpulkan bahwa suami yang melakukan perkawinan tanpa izin istri sebelumnya dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana Pasal 27 Ayat 2 UU Perkawinan dan dapat dilaporkan secara pidana berdasarkan Pasal 279 Ayat (1) dan (2) KUHP dengan pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Adapun suami yang menikah dengan adanya dugaan pemalsuan identitas/status duda palsu maka dapat dilaporkan secara pidana berdasar pada Pasal 263 KUHP dengan pidana penjara paling lama 6 (enam tahun), Pasal 93 UU Adminduk dengan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda maksimal 50 (lima puluh) juta rupiah , dan Pasal 66 UU PDP dengan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah).

 

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

 

[1] https://www.instagram.com/p/CzLevUwJXim/

[2] Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam

[3] Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam

[4] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[5] Pasal 68 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.