3 Alasan Mengapa Hakim Tidak Boleh Menjadi Corong Undang-Undang?

Istilah Corong Undang-undang

Mungkin kita pernah mendengar istilah hakim jangan menjadi corong undang-undang atau hakim dalam memutus selayaknya tidak mengunakan kacamata kuda. Istilah-istilah tersebut adalah kritik terhadap hakim yang memutus hanya berdasarkan penafsiran ketentuan perundang-undangan secara literal dan tidak mau menelusuri makna peraturan perundang-undangan lebih dalam, bahkan memutus perkara yang diajukan padanya dengan putusan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima dengan dasar tidak ada ketentuan hukum yang mengatur, padahal dirinya mengetahui bahwa ada nilai keadilan yang harus ditegakkan.

Memang Indonesia adalah negara yang menganut sistem civil law di mana undang-undang adalah sumber hukum utama yang mana menjadi pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Meski demikian, ternyata ada beberapa alasan mengapa hakim-hakim di Indonesia sebaiknya tidak menjadi corong undang-undang sebagai berikut:

Mengapa Hakim Jangan Menjadi Corong Undang-undang

  1. Peraturan Perundang-undangan Dibuat Berdasarkan Nilai-nilai yang Berlaku Umum, Sedangkan Perkara Adalah Permasalahan Konkret

Peraturan perundang-undangan tentunya memiliki keterbatasan di mana tidak mungkin peraturan perundang-undangan tersebut dapat memprediksi segala perkembangan yang akan ada di kemudian hari. Hal ini memungkinkan munculnya masalah-masalah kongkret yang mana belum tentu diselesaikan hanya dengan merujuk pada peraturan perundang-undang. Putusan pengadilan sebenarnya merupakan konkretisasi dari peraturan perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah sebenarnya yang merupakan law in action.

Portalis yang berpendapat bahwa “suatu kitab hukum berapa pun kelihatan lengkap di dalam praktek tidak akan dapat menjawab apabila beribu-ribu masalah yang tidak diduga diajukan kepada hakim. Oleh karena itu undang-undang sekali ditulis tetap seperti apa yang tertulis sebaliknya manusia tidak pernah berhenti bergerak”.[1] Maka dari itu tidak semua permasalahan hukum diselesaikan hanya dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan secara literal, namun hakim harus bisa merumuskan putusan yang mempertimbangkan segala hal yang relevan terkait dengan perkara itu dan melakukan penerapan kaidah hukum sesuai dengan keadaan yang terjadi.

 

  1. Suatu Pasal Tidak Selalu Harus Diartikan Sama Pada Setiap Perkara, Hakim Harus Berani Menggali Hukum Sesuai Nilai-nilai Keadilan yang Tumbuh di Dalam Masyarakat

Dalam praktik, bisa saja ditemui keadaan di mana ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memiliki makna terbuka atau makna yang ganda, sehingga diperlukan peran hakim untuk melakukan penafsiran. Tentunya penafsiran itu tidak dapat dilakukan sembarangan. Hakim juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kewenangan bagi hakim untuk melakukan penafsiran hukum. Hal ini karena kegiatan penafsiran hukum sudah seyogyanya dilakukan oleh hakim sebagai kepanjangan tangan dari pengadilan sebagai lembaga yang memang kompeten untuk melakukannya.

Berdasarkan penafsiran  hukum oleh hakim, maka terciptalah keputusan pengadilan mempunyai nilai autoritatif. Penafsiran dari hakim tersebut tentunya akan sangat bermanfaat bagi perkembangan hukum di mana hasil penafsiran hakim tersebut nantinya dapat digunakan untuk rujukan apabila terjadi perkara yang serupa.

 

  1. Ketika Hukumnya Tidak Ada, Adalah Tugas Hakim Untuk Membuat Penemuan Hukum

Di samping kewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, kewajiban hakim lainnya adalah berdasarkan Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Hal tersebut terkait dengan kemungkinan terjadinya keadaan di mana terjadi kekosongan hukum. Dengan demikian, hakim memiliki kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan penemuan hukum yang mana tetap didasarkan pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan namun tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan dibentuk dengan menetapkan asas-asas yang dianggap paling bermanfaat bagi kepentingan umum di mana tidak ditujukan untuk penyelesaian isu hukum yang kongkret. Hal ini menjadikan peraturan perundang-undangan tersebut lamban terhadap perubahan. Peraturan perundang-undangan merupakan produk dari kebutuhan akan norma dalam kerangka pikiran menurut waktu tempat dan budaya tertentu. Ada saatnya ketika peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak bisa mengakomodir perubahan zaman, maka peraturan perundang-undangan itu akan diganti dengan yang baru atau diubah sebagian.

Pada kenyataannya, terdapat pula peraturan perundang-undangan yang sangat rigid, sehingga untuk merevisi suatu ketentuan pun butuh waktu yang lama karena akan mengganggu filosofi keseluruhan peraturan dimaksud atau bahkan berbenturan dengan filosofi yang terdapat pada peraturan perundang-undangan lainnya. Ada pun transaksi dan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat tidak pernah menunggu sampai peraturan perundang-undangan yang rigid itu direvisi atau diamandemen atau diganti dengan yang baru. Guna menghadapi hal tersebutlah diperlukan hakim yang melakukan penafsiran dan penemuan hukum sehingga dapat membuat hukum yang ada tetap relevan dalam menghadapi isu-isu hukum yang kongkret.

 

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; dan
  2. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005;

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

Untuk mempelajari lebih dalam tentang keweangan hakim, anda dapat membaca artikel berjudul “Kebebasan Kekuasaan Kehakiman”

[1] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 187.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.