Menemukan Suatu Benda dan Memilikinya, Dapatkah Disebut Mencuri?

Pada dasarnya, hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan guna terwujudnya suatu masyarakat yang harmonis, damai dan tentram. Kedamaian dan ketentraman tersebut akan terwujud apabila seluruh komponen yang ada di dalam alam semesta ini patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu, seluruh alam semesta ini terikat dengan hukum agar keharmonisan, kedamaian, dan ketentraman itu terpelihara dengan baik.[1]

Berkaitan dengan hal tersebut, belum terdapat suatu pengaturan dalam konteks hukum pidana terkait dengan menemukan suatu barang pada saat di jalan yang tidak diketahui asal usul barang tersebut atau ketika diambil akan ada tindakan atau tuduhan lain yang melanggar hak orang lain. Seringkali dalam hal ini adanya tindak pidana lainnya yang berkaitan seperti dugaan telah melakukan pencurian ataupun penggelapan. Sehingga perlu untuk mengetahui konsep mencuri dengan menemukan dalam pemaknaan hukum pidana itu sendiri.

Dasar Hukum Pencurian

Pencurian dalam Kamus Hukum adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.[2] Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:

“Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp.900,00,”

Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur objektif yaitu:

  1. Perbuatan mengambil. Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil” barang. Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat.[3]
  2. Objeknya suatu benda. Pada objek pencurian, Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil.
  3. Sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian sisanya dapat berupa milik pelaku itu sendiri.

Sementara mengenai unsur-unsur subjektif dalam tindak pidana pencurian terdiri atas:

  1. Adanya maksud. Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya.
  2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di

Dasar Hukum Penggelapan

Didalam KUHP seseorang yang menemukan barang yang berharga di jalan dan tidak dikembalikan kepada pemiliknya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 372 KUHP yang berbunyi:

Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanayak-banyanya Rp 9.000.000.00,-“

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHPidana ini terdiri dari unsur objektif dan subjektif: Unsur subjektif yakni Unsur kesengajaan; memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau opzettelijk sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan Pasal 372 KUHP mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau delik sengaja.

Sementara unsur objektif terdiri dari:

  1. Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata ‘barangsiapa’ ini menunjukkan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau dadder.
  2. Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki); Menteri Kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
  3. Suatu benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam praktiknya sering disebut ‘benda bergerak’.
  4. Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain.
  5. Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan.

Menemukan Barang Tidak Bertuan dan Prinsip Kebendaan

Dalam hal ini, terdapat pandangan R. Soesilo yang mengomentari ketentuan Pasal 372 KUHP, ia menyatakan sebagai berikut:

“Kadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa itu adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah ‘uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi’ dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.[4]

Pendapat yang sama dinyatakan S.R Sianturi terkait Pasal 372 KUHP bahwa dalam hal menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya, mengenai hal ini perlu dinilai hubungan kejiwaan antara seseorang itu dengan barang tersebut ketika dia menemukan barang tersebut, atau mengetahui barang yang tertinggal tersebut atau menyadari keterbawaan barang tersebut.[5]

Berkaitan dengan barang yang ditemukan di jalan atau ditempat umum lainnya, menurut Subekti, pengambilan suatu benda / Barang temuan yang bergerak dari suatu tempat untuk memiliki benda tersebut mengakibatkan diperolehnya bezit atas benda tersebut.[6] Bezit adalah suatu keadaan lahir dimana seseorang menguasai benda itu seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.[7]

Berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), mengenai benda-benda yang bergerak, orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemilik benda tersebut. Tetapi, seseorang yang merasa kehilangan barang tersebut (dalam jangka waktu tiga tahun) dapat menuntut kembali barangnya yang hilang dari orang yang menguasai barang tersebut. Orang yang menuntut kembali barang tersebut wajib memberikan penggantian kepada orang yang menguasai barang tersebut, jika orang yang menguasai ini membelinya dari tempat yang biasa digunakan untuk memperjualbelikan barang-barang tersebut.[8]

Dengan demikian, apabila menemukan barang atau benda yang tidak bertuan di jalan atau tempat umum lainnya, perlu kiranya memperhatikan asal usul barang tersebut. Dalam hal ini, menemukan barang tidak bertuan tersebut terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti kesengajaan atau niat yang kemudian didukung dengan pengetahuan akan suatu barang atau benda tersebut, untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana. Meskipun seperti itu, dalam KUHPerdata pun menyatakan secara tegas untuk memberikan penggantian atas barang atau benda yang diambil atau ditemukan tersebut.

 

[1] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

[2] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

[3] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu Media, Malang, 2003.

[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995.

[5] SR. SIanturi, Tindak Pidana di KUHP, Alumni, Jakarta, 1983.

[6] Admin, Mengambil Barang Temuan Di Jalan, Artikel, Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Medan Area, 2021.

[7] Pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[8] Pasal 582 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.