Memahami Seputar KDRT Fisik dan Psikis

Pengaturan Hukum Mengenai KDRT Fisik dan Psikis di Indonesia
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1] Padahal dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU 1/1974”) menyebutkan bahwa suami dan isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Apabila telah terjadi KDRT dalam sebuah rumah tangga maka tujuan perkawinan menjadi tidak sesuai.
KDRT tidak memiliki pengaturan secara khusus, karena di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”) hanya mengatur secara umum bentuk kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Tujuannya tidak lain untuk mencegah segala bentuk KDRT, melindungi korban KDRT, menindak pelaku KDRT, dan mewajibkan negara dan masyarakat untuk berperan aktif dalam melaksanakan upaya pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pencasila dan UUD 1945.[2] Maka, lahirnya UU PKDRT merupakan wujud konkret komitmen negara dalam menegakkan keadilan, menjamin perlindungan hak asasi manusia, serta menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan sebagai fondasi utama kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pasal 44 dan 45 UU PKDRT menegaskan sanksi pidana bagi pelaku sesuai dengan tingkat luka dan dampak psikis yang ditimbulkan. Hukum ini juga menempatkan tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin hak atas rasa aman.[3] Selain UU PKDRT, instrumen hukum lain yang digunakan untuk menjerat pelaku KDRT fisik dan psikis mencakup terutama Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk kasus dengan unsur kekerasan seksual.
KDRT Fisik, Pengertian dan Bentuknya
KDRT fisik merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarganya dengan cara menimbulkan rasa sakit, luka, atau penderitaan pada tubuh korban. Berdasarkan UU PKDRT, KDRT fisik mencakup tindakan seperti memukul, menendang, menampar, menendang, atau perbuatan lain yang mengakibatkan cedera fisik atau rasa sakit pada korban. Oleh karena itu, bentuk-bentuk KDRT fisik dapat berupa pemukulan dengan tangan atau benda keras, penendangan, penyiksaan menggunakan alat, pencekikan, pembakaran, hingga tindakan yang menyebabkan luka berat atau kematian.
Kekerasan fisik terhadap istri sering kali muncul karena ketimpangan kekuasaan dalam rumah tangga dan budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat Indonesia.[4] Dapat disadari pula bahwa KDRT fisik tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia karena meniadakan rasa aman dan martabat korban dalam lingkungan keluarga.
Prevalensi tertinggi kekerasan fisik di Indonesia menimpa ibu rumah tangga, dengan bentuk kekerasan yang bervariasi dari luka ringan hingga cedera serius yang memerlukan pemeriksaan forensik. Dalam konteks perlindungan hukum, tindakan KDRT fisik dapat dijerat dengan Pasal 44 UU PKDRT serta pasal-pasal dalam KUHP seperti Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Oleh karenanya, perlindungan hukum terhadap korban KDRT fisik memerlukan pendekatan komprehensif, termasuk dukungan psikologis dan sosial, agar korban dapat pulih secara utuh dari dampak kekerasan yang dialaminya.
KDRT Psikis, Pengertian dan Bentuknya
KDRT psikis adalah segala bentuk tindakan yang menyebabkan penderitaan mental, tekanan emosional, atau gangguan psikologis terhadap anggota keluarga. Berdasarkan Pasal 7 UU PKDRT, kekerasan psikis mencakup perbuatan yang menimbulkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, rasa tidak berdaya, atau penderitaan berat pada korban.[5] Kekerasan psikis sering kali bersifat laten dan sulit dibuktikan secara medis karena bentuknya berupa kata-kata kasar, ancaman, penghinaan, dan pengendalian perilaku yang terus-menerus. Lebih lanjut, efek dari kekerasan psikis dapat terjadi lebih destruktif dibanding kekerasan fisik karena berdampak langsung pada stabilitas emosional dan fungsi sosial korban.[6]
Bentuk-bentuk KDRT psikis meliputi penghinaan, intimidasi, pengucilan sosial, pembatasan komunikasi, ancaman perceraian, hingga manipulasi emosional yang bertujuan untuk menundukkan atau mengendalikan korban. Kekerasan psikis dalam rumah tangga kerap muncul sebagai mekanisme dominasi patriarkal yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Dalam kasus ini, pentingnya peran psikiatri forensik dalam mengidentifikasi dampak jangka panjang kekerasan psikis, seperti depresi, trauma, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Secara hukum pelaku KDRT psikis dapat dijerat dengan Pasal 45 UU PKDRT, yang mengatur pidana penjara hingga tiga tahun atau denda bagi siapa pun yang menyebabkan penderitaan mental terhadap pasangan atau anggota keluarga.
Bukti untuk KDRT Psikis
Kekerasan dalam bentuk psikis atau verbal dalam hubungan rumah tangga merupakan bentuk kekerasan yang kurang kasat mata namun tetap dapat memenuhi syarat pembuktian melalui kombinasi alat bukti yang sah. Indikator dampak psikis seperti gangguan kesejahteraan mental, perubahan perilaku, serta tekanan psikologis berulang menjadi fokus utama bagi pengidentifikasian awal oleh aparat hukum, hal tersebut juga melibatkan peran penting keterangan saksi dan keterangan ahli untuk menjelaskan kondisi korban secara ilmiah. Dalam praktiknya, keterangan ahli dari dokter psikiater atau psikolog diperlukan untuk menilai diagnosis, derajat keparahan dampak psikis, serta rekomendasi perlindungan yang relevan bagi korban.
Bukti pendukung utama yang umumnya diajukan meliputi keterangan saksi korban maupun saksi lain yang melihat pola kekerasan, serta keterangan ahli yang memuat analisis secara medis mengenai keadaan psikis korban. Dokumen tertulis seperti surat keterangan medis, rekam medis, laporan psikologi, dan rujukan ke fasilitas kesehatan mental juga menjadi bagian penting untuk memperkuat gambaran psikis korban. Selain itu apabila ada catatan harian korban dan rekaman komunikasi yang menunjukkan pola kekerasan, maka hal tersebut dapat berfungsi sebagai bukti pendukung yang menguatkan kronologi kejadian dan dampaknya terhadap keseharian korban.
Penulis: Nabilah Hanifatuzzakiyah, S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Daftar Pustaka
Badriyah Khaleed. (2018). Penyelesaian hukum KDRT. Yogyakarta: MediaPressindo
Hendriana, R. (2020). The problematics of legal protection toward victims of domestic physical violence in Indonesia. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 499.
Pradinata, V. (2020). Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jurnal Hukum Khaira Ummah, 15(3).
Putri, I. D. (2024). Penerapan hukum pidana terhadap kekerasan fisik pada istri dalam konteks perlindungan korban. Verdict: Journal of Law Science, 3(1).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[1] Badriyah Khaleed, 2018, “Penyelesaian Hukum KDRT”, Yogyakarta: MediaPressindo, hlm. 1.
[2] Vidi Pradinata, 2020, “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 15, No. 3, hlm. 134.
[3] Rani Hendriana, 2020, “The Problematics of Legal Protection Toward Victims of Domestic Physical Violence in Indonesia”, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 499, hlm. 358.
[4] Indah Dwi Putri, 2024, “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Kekerasan Fisik pada Istri dalam Konteks Perlindungan Korban”, Verdict: Journal of Law Science, Volume 3, No. 1, hlm. 3.
[5] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
[6] Rani Hendriana, Op. Cit, hlm. 357
Baca juga:
Penyelidikan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Saksi Putri Candrawati Meminta Ketentuan Sidang Tertutup Dalam Pemeriksaan Saksi Putri Candrawati, Ketentuan Sidang Tertutup Berdasar Ketentuan Perundang-undangan
Pemerkosaan Terhadap Istri
Kasus Istri Marahi Suami: Jaksa Menarik Tuntutan Terhadap Valencya, Apakah Boleh Secara Hukum?
Kasus Novia Widyasari: Apakah Perbuatan Orang Tua Randy Bagus dan Paman Novia dapat Dikenai Sanksi Pidana
Tonton juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
