Masa Percobaan Dalam Pemidanaan

Masa Percobaan dalam pidana penjara, atau yang juga sering disebut dengan pidana bersyarat, adalah salah satu hal yang dapat diberikan kepada seorang Terpidana penjara. Pemberian masa percobaan diberikan dengan syarat-syarat tertentu, seperti tidak melakukan tindak pidana selama masa percobaan, yang jika tidak melakukan maka Terpidana tidak perlu kembali ke penjara. Adanya syarat-syarat tersebutlah yang kemudian menimbukan istilah “masa percobaan”.

Pidana percobaan adalah pidana dengan syarat-syarat tertentu. Pidana percobaan ini diatur dalam Pasal 14a Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:

  • Apabila dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan bahwa hukuman itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, disebabkan karena si Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si Terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH., menjelaskan mengenai pidana bersyarat atau masa percobaan yang diatur dalam Pasal 14a sampai denga Pasal 14f KUHP, yaitu apabila seorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman itu tidak dijalankan melainkan hanya dengan masa percobaan. Kecuali, kemudian ditentukan lain oleh hakim, seperti apabila si terhukum dalam tenggang waktu percobaan melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu tertentu.[1]

Dalam praktiknya hukuman semacam ini jarang sekali dijalankan karena Terpidana akan berusaha benar-benar dalam masa percobaan tidak melakukan suatu tindak pidana dan syarat khusus biasanya dipenuhi. Disamping itu, apabila syarat-syarat dipenuhi, hukuman tidak otomatis dijalankan, tetapi harus ada putusan lagi dari hakim dan ada kemungkinan hakim belum memerintahkan supaya hukuman dijalankan, yaitu apabila misalnya Terpidana dapat meyakinkan hakim bahwa si terhukum dapat dimaafkan dalam hal ini tidak memenuhi syarat-syarat.[2]

Adapun syarat yang harus diperhatikan dalam memberikan masa percobaan terhadap Terpidana, sebagai berikut:

  1. Masa percobaan dapat diterapkan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti
  2. Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP. Sedangkan tindak pidana yang lainnya paling lama dua tahun dengan dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada Terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan dalam masa percobaan
  3. Hakim di samping menetapkan syarat umum bahwa Terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana dapat pula menetapkan syarat khusus, seperti Terpidana diperintahkan untuk membayar ganti rugi kepada korban
  4. Jaksa adalah pejabat yang bertugas mengawasi agar syarat-syarat dipenuhi, dan hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum atau lembaga sosial untuk memberikan bantuan kepada Terpidana agar dipenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan.
  5. Lama waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul jaksa ataupun Terpidana. Hakim dapat mengubah syarat-syarat khusus, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan
  6. Hakim dapat memerintahkan pidana penjara untuk melaksanakan dalam hal Terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bersifat tetap, atau apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maupun karena penjatuhan pidana sebelum masa percobaan dimulai
  7. Perintah melaksankan pidana dapat dilakukan apabila masa percobaan telah habis, kecuali sebelum masa percobaan habis Terpidana dituntut atas tindak pidana yang dilakukan pada masa percobaan dan dijatuhi pidana yang menjadi tetap, maka hakim dalam waktu dua bulan setelah putusan dapat memerintahkan Terpidana melaksanakan pidana.[3]

Syarat atau perjanjian dalam pemberlakuan masa percobaan terdiri dari syarat umum, yakni Terpidana tidak diperbolehkan melakukan perbuatan yang dapat dijatuhi pidana dalam jangka waktu tertentu selama dalam masa percobaan. Maka dari itu, jika hakim harus memberikan syarat umum yang harus dipenuhi Terpidana apabila akan menjatuhkan masa percobaan kepada Terpidana. Sedangkan syarat khusus dapat berupa penggantian sebagian atau seluruh kerugian yang timbul dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, atau dapat pula berbentuk lainnya sesuai kebijaksanaan hakim dengan catatan syarat-syarat tersebut tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik Terpidana. Manfaat dari syarat khusus ini juga terdapat pada penggantian kerugian yang dapat mendukung eksistensi masa percobaan.

Berbeda halnya dengan rumusan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1.2023) yang akan diberlakukan secara efektif pada tahun 2026. Masa percobaan tidak diatur secara rinci seperti dalam Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f KUHP, melainkan UU 1/2023 justru mengatur bahwa masa percobaan dapat diberikan kepada Narapidana yang telah menjalani paling singkat 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun untuk diberikan pembebasan bersyarat. Masa percobaan juga wajib diberikan kepada Terpidana yang memperoleh pelepasan bersyarat.

Selain itu, masa percobaan juga dapat dikenakan pada Terpidana mati selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan syarat yang diatur Pasal 100 UU 1/2023. Pemberian masa percobaan ini sangat bertolak belakang dengan masa percobaan dalam Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f KUHP. Pada dasarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Wirjono, bahwa dalam praktiknya masa percobaan sangat jarang terjadi, sehingga arah kebijakan yang terdapat dalam UU 1/2023 mengenai masa percobaan langsung mengarah pada kebijakan pembebasan bersyarat dan pidana mati.

Terlepas dari hal tersebut, akibat hukum dari masa percobaan dalam KUHP adalah  Terpidana telah diputus untuk menjalani hukumannya namun tidak dikurung di lembaga pemasyarakatan, melainkan di daerah tersendiri untuk diawasi. Apabila Terpidana melanggar syarat umum maupun khusus pada masa percobaan, maka Terpidana dimaksud akan dikirim langsung ke lembaga pemasyarakatan tanpa menjalani sidang terlebih dahulu. Berbeda halnya dengan yang dimaksud dari UU 1/2023 yang mengisyaratkan masa percobaan terbatas pada pembebasan bersyarat dan pidana mati.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.

 

[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 183-184.

[2] Ibid.

[3] Syaiful Bakri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Etalase, Total Media, Jakarta, 2009, halaman 46

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.