Mantan Narapidana Kasus Korupsi Kembali Aktif Menjadi Anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

AKBP Raden Brotoseno mantan narapidana kasus korupsi kembali aktif menjadi anggota Polri dengan menjabat sebagai staf di Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) Polri. Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri mengonfirmasi Brotoseno saat ini bertugas sebagai staf di Divisi TIK Polri, bukan sebagai penyidik. Eks terpidana korupsi itu dinilai memenuhi syarat administratif dan substantif untuk mendapatkan hak remisi dan pembebasan bersyarat sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 3 Tahun 2018. Setelah dinyatakan bebas, Brotoseno dapat kembali bertugas di kepolisian karena hasil sidang kode etik memutuskan dia tidak dipecat dari Polri.[1]
Awal perkara korupsi yang dilakukan Brotoseno terungkap dalam operasi tangkap tangan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri pada 17 November 2016 saat menjabat Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Pada 14 Juni 2017, Brotoseno dijatuhi vonis lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Brotoseno terbukti menerima suap Rp 1,9 miliar dan menerima lima tiket pesawat Batik Air kelas bisnis seharga Rp 10 juta, ia dipidana berdasarkan dakwaan pertama, yakni melanggar pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.[2]
Keberadan Kepolisian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002). Dalam Pasal 1 Angka 1 UU 2/2002 menyebutkan bahwa kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menjadi seorang anggota Kepolisian, harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) UU 2/2002 yang berbunyi sebagai berikut:
- warga negara Indonesia;
- beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
- berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
- sehat jasmani dan rohani;
- tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;
- berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
- lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.
Sebelum diangkat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, seorang calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[3] Dalam UU 2/2002 mengatur terkait dengan pembinaan profesi terkait dengan etika tiap anggota kepolisian dalam hal menjalankan pekerjaannya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 34 yang menyebutkan bahwa:
- Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
- Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.
Kode Etik Profesi Polri diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 14/2011) yang mana menyebutkan bahwa Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.[4]
Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sanksi yang dikenakan dapat berupa hal-hal sebagai berikut yang diatur dalam Pasal 21 Perkap 14/2011 yang menyebutkan bahwa:
- perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
- kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
- kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
- dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun;
- dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun;
- dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
- PTDH sebagai anggota Polri.
Dalam Perkap 14/2011, hukuman sanksi bagi anggota Kepolisian terdapat sanksi administratif dalam bentuk Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang benwenang terhadap seorang Anggota Polri karena telah terbukti melakukan Pelanggaran KEPP, disiplin, dan/atau tindak pidana. Dalam Pasal 22 Ayat (1) Perkap 11/2014 menyebutkan bahwa.[5]
- pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
- pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
Dengan demikian sanksi dan hukuman atas pelanggaran yang dibuat oleh Anggota Kepolisian dapat dilihat pada Perkap 14/2011. Dalam ketentuan tersebut, juga terdapat sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat, apabila melakukan tindak pidana yang mana perbuatannya diancam pidana penjara 4 (empat) tahun.
[1] Dhafintya Noorca, Raden Brotoseno Eks Napi Korupsi Kembali ke Polri Namun Bukan Jadi Penyidik, https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/raden-brotoseno-eks-napi-korupsi-kembali-ke-polri-namun-bukan-jadi-penyidik/
[2] Aryo Putranto Saptohutomo, Pengamat Sebut Polri Bakal Makin Dicurigai jika Brotoseno Tak Dipecat, https://nasional.kompas.com/read/2022/06/06/07010041/pengamat-sebut-polri-bakal-makin-dicurigai-jika-brotoseno-tak-dipecat?page=all
[3] Pasal 22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[4] Pasal 1 Angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
[5] Pasal 22 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKlub Belajar Bersama Persiapan UPA
Pencabutan Gugatan Perdata: Syarat, Prosedur, dan Akibat

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.