Tindak Pidana Malpraktek
Istilah malpraktek tidak ditemukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, namun menurut Institute of Medicine, malpraktek (medical error) didefinisikan sebagai :
“The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning)”[1]
Artinya : suatu kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan, kesalahan tindakan atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan.
Selain itu, malpraktek medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera.[2] Tidak adanya definisi khusus mengenai malpraktek dalam peraturan perundang-undangan menjadikan unsur-unsur suatu perbuatan dapat disebut sebagai malpraktek tidak jelas.
Secara hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis harus berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan). Namun, dalam prakteknya dalam suatu pelayanan kesehatan dikenal resiko medis dan malpraktek medik. Menurut Anny Isfandyarie dalam bukunya yang berjudul “Malpraktek dan Resiko Medik” meyebutkan bahwa khusus didalam pelayanan kesehatan, kelalaian juga dikaitkan dengan pelayanan yang tidak memenuhi standar pelayanan medis atau standar profesi yang dalam prakteknya digunakan untuk membedakan antara resiko medik dengan malpraktek medik. Apabila pelayanan terhadap pasien telah dilakukan sesuai dengan standar prosedur pelayanan medis tetapi pada akhirnya pasien luka berat atau mati, maka disebut dengan resiko medis. Namun bagi pasien yang mengalami luka berat maupun kematian sebagai akibat dokter melakukan pelayanan dibawah standar medis, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai malpraktek.[3]
Undang-undang pokok yang mengatur mengenai seputar hal-hal yang berkaitan dengan subyek dan obyek dalam kesehatan yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU Rumah Sakit) serta UU Kesehatan. Berdasarkan undang-undang tersebut, tidak ditemukan unsur-unsur mengenai suatu tindakan dapat disebut sebagai tindakan malpraktek. Namun, dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa :
- Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;
- Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
- identitas pengadu;
- nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
- alasan pengaduan.
Berdasarkan atas pengaduan tersebut, maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia akan memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 67 UU Praktik Kedokteran. Keputusan tersebut dapat berupa pernyataan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin sebagaimana ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pasal 69 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa apabila dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah, maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dapat memberikan sanksi disiplin berupa :
- pemberian peringatan tertulis;
- rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
- kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran
Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa pengaduan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke Pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka apabila seorang pasien yang mengalami luka berat dan/atau kematian diduga kuat akibat suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, maka pihak yang bersangkutan dapat melakukan laporan dugaan tindak pidana atau melakukan gugatan perdata ke pengadilan. Disisi lain, UU Kesehatan, UU Praktik Dokter dan UU Rumah Sakit tidak mengatur mengenai sanksi terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis, hanya saja dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit disebutkan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Namun, UU Rumah Sakit tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban hukum seperti apa untuk menanggung kerugian yang dialami oleh pasien.
Walaupun, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, dan UU Kesehatan tidak mengatur mengenai sanksi pidana terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis, namun secara generalisir terhadap suatu perbuatan yang terbukti dan memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), maka dapat dipidanakan. Contoh kasus mengenai pidana malpraktek yaitu pidana yang dijatuhkan kepada dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp.OG karena kelalaiannya dalam menangani operasi persalinan (Caesar). Saat penutupan operasi, sang dokter lupa mengambil kasa yang digunakan untuk menutup luka, sehingga kasa tertinggal didalam perut pasien. Hal tersebut mengakibatkan pasien kesakitan dan tak kunjung sembuh. Atas perbuatan lalai yang dilakukannya, dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp.OG dijerat Pasal 360 ayat (1) juncto Pasal 361 KUHP dengan vonis sanksi pidana penjara selama 6 (enam) bulan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Pid/2010. Contoh kasus lain, yaitu dugaan kasus malpraktek yang dilakukan oleh seorang dokter kecantikan yaitu dr. Elisabeth di Makassar. Berawal dari permintaan seorang wanita berinisial ADF ingin memfiller hidungnya yang kemudian disetujui oleh dr. Elisabeth, namun tindakan tersebut mengakibatkan mata sebelah kiri pasien ADF menjadi buta. Kemudian ADF melaporkan dr. Elisabeth kepada polisi dengan dugaan malpraktek. Namun, karena kurangnya bukti sehingga tidak terpenuhinya unsur kesalahan atau kealpaan dalam Pasal 360 ayat (1) KUHP, maka dr. Elisabeth dinyatakan tidak bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 1441/Pid.Sus/2019/PN.Mks
[1] Muhammad Rizky Pontoh, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Resiko Medik dan Malpraktek Dalam Pelaksanaan Tugas Dokter, Jurnal Lex Crimen, Vol. II, No. 7, 2013, hal. 74 https://media.neliti.com/media/publications/3105-ID-penegakan-hukum-pidana-terhadap-resiko-medik-dan-malpraktek-dalam-pelaksanaan-tu.pdf
[2] Riska Andi Fitriono, dkk, Penegakan Hukum Malpraktik Melalui Pendekatan Mediasi Penal, Artikel Ilmiah, https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/download/8724/7814.
[3] Anny Isfandyarie “Malpraktek dan Resiko Medik” dalam Jurnal Ilmiah Muhammad Rizky Pontih, Op cit, hal, 76.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanBedah Mayat/Autopsi Untuk Proses Pemeriksaan Tindak Pidana
Perjanjian Diam-Diam
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.