Macam-Macam Talak

Macam-Macam Talak merupakan beberapa jenis alasan atau tata cara cerai di dalam Hukum Perkawinan Islam. Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas atau melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya. Dalam hukum Islam, hak talak hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada istri (perempuan) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisir daripada jika hak talak diberikan kepada istri.[1]

 

Talak juga diartikan sebagai sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Artinya, ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Khusus untuk perceraian bagi umat Islam, tata caranya diatur dalam UU Peradilan Agama dan KHI.

 

KHI sendiri tidak menjelaskan tentang pengertian perceraian, tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam Pasal 113 KHI sampai dengan Pasal 148 KHI. Melihat isi dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan harus benar menurut hukum. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 115 KHI yang berbunyi sebagai berikut:

“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Berdasarkan Pasal 115 KHI tersebut, maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif KHI adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan di depan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar persidangan maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Talak sendiri terbagi dalam beberapa macam, di antaranya sebagai berikut:

1. Talak Raj’i, talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan suami dapat rujuk kembali kepada istri yang telah ditalak tadi.[2] Hal ini dapat dilihat Pasal 118 KHI yang berbunyi:

Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah

 

2. Talak Ba’in, talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Talak ba’in terbagi lagi menjadi 2 (dua) macam yaitu

a. Talak Ba’in Shughra, adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik dalam iddah-nya maupun sesudah berakhinya masa Talak ini diatur dalam Pasal 119 KHI yang menyatakan bahwa:

  • Talak Ba’in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
  • Talak Ba’in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah
  1. talak yang terjadi qabla al dukhul;
  2. talak dengan tebusan atau khuluk;
  3. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

b. Talak Ba’in Kubro, talak yang menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap mantan isterinya serta menghilangkan kehalalan mantan suami untuk berkawin kembali dengan mantan isterinya. Hal ini diatur dalam Pasal 120 KHI yang menyatakan bahwa:

Talak Ba’in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

 

3. Talak Sunni

Talak sunni adalah talak yang diperbolehkan atau sunnah hukumnya, yang diucapkan 1 kali dan istri belum digauli ketika suci dari haidh. Jika talak yang diucapkan berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali pada waktu yang berbeda dan istri dalam keadaan suci dari haidh serta belum digauli pada tiap waktu suci dari haidh itu 2 (dua) kali dari talak itu telah dirujuk, sedangkan yang ketiga kalinya tidak dapat dirujuk lagi.[3] Talak ini diatur dalam Pasal 121 KHI yang berbunyi:

Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

 

4. Talak Bid’i

Talak yang dilarang atau haram hukumnya dijatuhkan kepada istri ketika dalam keadaan haidh atau suci tetapi setelah digauli dan nifas.[4] Talak ini diatur dalam Pasal 122 KHI yang berbunyi:

Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

 

5. Khuluk

Talak yang terjadi akibat khuluk, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang ‘iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.[5] Talak ini diatur dalam Pasal 124 KHI yang berbunyi:

Khuluk dapat berdasarkan atas alasan perceraian sesuan ketentuan pasal 116.

Pasal 116 KHI yang dimaksud berkaitan dengan dengan alasan-alasan terjadinya perceraian. Adanya khuluk nenunjukkan bahwa apabila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan talak, maka istri juga mempunyai kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan khuluk.

 

6. Li’an

Li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istri berbuat zina dan ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi untuk menguatkan dakwaanya. Li’an merupakan cara penyelesaian lain dalam perkara cerai talak dengan alasan istri berbuat zina yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur ikrar talak biasa. Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Li’an diatur dalam Pasal 126 KHI yang berbunyi:

“Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

 

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa esensi dari talak adalah hak suami untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum islam, yang berakibat hukum putusnya perkawinan antara suami dengan istri yang didasarkan pada masing-masing macam-macam talak. Adapun ketentuan cerai talak diatur dalam Pasal 66 UU Peradilan Agama, dimana suami yang hendak menceraikan istrinya dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang ikrar talak.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif), UII Pers, Yogyakarta, 2011, halaman 105-106

[2] Abdur Rahman I, Perkawinan dalam Syariat Islam, alih bahasa; H. Bashri Iba Ashgary, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman 92.

[3] Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annlisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, halaman 123

[4] Ibid.

[5] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, halaman. 79.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.