Macam-macam Intepretasi Hukum  

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) mengatur bahwa pengadilan dilarang untuk menolak perkara. Larangan tersebut mengakibatkan pengadilan harus menerima perkara apapun yang didaftarkan padanya untuk diperiksa, diadili, dan diputus. Adapun dalam mengadili tersebut, sebagai negara yang berdasar hukum, maka hakim harus menggunakan hukum positif sebagai dasar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus. Tidak jarang pula dalam hukum positif tersebut hakim akan menemukan ketentuan yang tidak jelas atau bahkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, sebagai seorang hakim, salah satu yang tidak dapat dihindarkan adalah menemukan hukumnya.

Secara umum terdapat 2 metode penmukan hukum, yaitu konstruksi hukum sebagaimana artikel sebelumnya tentang analogi hukum,[1] argumentum a contrario, [2]  dan rechtverfijning,[3] serta interpretasi hukum (penafsiran) yang merupakan tindakan untuk menjelaskan ketentuan dalam sebuah Undang-undang, agar ruang lingkup kaedah tersebut dapat diterapkan kepada suatu perkara atau peristiwa.[4] Penafsiran juga dapat diartikan sebagai metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit.

Penafsiran hukum oleh hakim dalam proses peradilan, haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya menemukan dan menciptakan hukum. Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dari ketentuan tersebut secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penafsiran hukum atau penemuan hokum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Adapun metode untuk melakukan interpretasi diantaranya:

 

NoMetode InterpretasiPengertian dan Contoh
1GramatikalPenafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya.

  • Contoh: istilah “pesisir” diartikan sebagai “tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut)”. (lihat:W.J.S. Poerwadarminta, kamus Umum bahasa Indonesia.
2HistorisPenafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undang-undang).

  •  Contoh: Kata-kata “hukum agraria merupakan pelaksanaan dari Manifesto Politik Republic Indonesia” dalam konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok- pokok Agraria, harus ditafsirkan menurut pemikiran soekarno dalam pidatonya tanggal 17 agustus 1960. Ia menyatakan waktu itu, bahwa negara harus mengatur pemilikan tanah dan mempimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong.
3SistematisPenafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya.

  • Contoh:Ketentuan tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Pasal 31-33 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup ditafsirkan sejalan dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative Penyelesaian Sengketa.
4Teleologis SosiologisPenafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Seringkali tujuan kemasyarakatan ini dimaknai secara prakmatis.

  • Contoh: kata-kata”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan bahwa negara tidak lagi harus menopoli sendiri penggelolaannya(fungsi besturen/beheren). Pemerintah sebagai repesentasi negara, cukup mengatur dan mengawasi (fungsi regelen dan tezichthouden) Oleh sebab itu untuk sumber daya air yang notabene sumber hidup masyarakat banyak, tidak perlu harus diusahakan oleh badan usaha milik negara/daerah. H
5Authentik (resmi)Penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan pada bagian penjelasan (memorie van toelichting), rumusan ketentuan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya.

  •  Contoh: “semua kata lingkungan hidup” yang ada dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup harus ditafsirkan sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 1 UU tersebut, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
6EkstentifPenafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan.

  • Contoh: istilah”menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1 Butir 25 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, ditafsirkan secara luas mencakup semua mentri yang bidang tugasnya bersinggungan langsung dengan lingkungan hidup, yaitu Mentri Negara Lingkungan Hidup dan mentri-mentri teknis terkait pada cabinet tersebut (contoh Menteri Kehutanan, Mentri Pertambangan, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan.
7RestriktifPenafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan.

  • Contoh: istilah “ menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1 Butir 25 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya ditafsirkan sebagai Menteri Negara lingkungan Hidup.

Metode-metode interpretasi hukum tersebut, dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan yaitu, the textualist approach (focus on text) dan  the purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua. Menurut Burght dan Winkelman merke pendekatan dengan memperhitungkan keadaan-keadaan tertentu (yang dapat disamakan dengan purposive approach) itu baru diterima luas sesudah Perang Dunia Kedua, itupun setelah melewati proses perdebatan yang panjang di kalangan ilmuan hukum.[5]

[1] https://hukumexpert.com/mengenal-istilah-penologi/

[2] https://hukumexpert.com/argumentum-a-contrario/

[3] https://hukumexpert.com/konstruksi-hukum-penghalusan-rechtsverfijning/

[4] https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=849:penemuan-hukum-oleh-hakim-rechtvinding&catid=108&Itemid=161

[5] Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan dengan Coastal Resources Manajement Project/Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan  Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta 2005, halaman 66-68 (https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=231:penafsiran-undang-undang-dari-perspektif-penyelenggara-pemerintahan&catid=100&Itemid=180,)

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.